Koruptor Mendadak Miskin

Belakangan ini muncul kembali wacana mengenai bagaimana agar perilaku korupsi bisa berkurang. Dalam wacana tersebut cenderung disimpulkan bahwa sanksi yang diterapkan terhadap koruptor terlalu rendah. Karena itu, muncul beberapa usulan, di antaranya sanksi (hukuman) terhadap koruptor harus ditambah, bahkan diusulkan penerapan hukuman mati. Selain itu, ada pula usulan agar para koruptor menggunakan seragam khusus, tujuannya tidak lain agar sang koruptor menjadi malu karena telah merugikan keuangan negara.

Berbagai usulan tersebut pada dasarnya merupakan sikap atas maraknya korupsi yang tampaknya tak terbendung. Sayangnya, usulan semacam ini kurang sejalan dengan era demokratisasi sekarang. Penerapan hukuman mati jelas sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Sedangkan pemberian seragam khusus untuk koruptor sangat rentan terjerembap pada tindakan merendahkan martabat manusia. Selain itu, usulan tersebut juga belum melihat lebih jauh lagi aspek-aspek lain di luar aspek hukum mengapa korupsi terus saja marak.

Kalau dilihat dari aspek hukum, tampaknya kita sudah memiliki sarana hukum yang lebih dari cukup. Delik korupsi sudah dirumuskan dengan mencakup begitu banyak perbuatan yang digolongkan sebagai tindakan merugikan keuangan negara. Struktur hukum yang bobrok telah cukup diatasi dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dari segi kebijakan, pemerintah kita mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk memberantas korupsi.

Kenyataannya, dari sarana yang dinilai lebih dari cukup tersebut, korupsi masih terus marak dan tampaknya orang masih belum takut berbuat korup. Jadi, perlu dipikirkan apa sebenarnya yang membuat koruptor takut. Kalau disorot lebih jauh, perilaku korupsi tersebut, selama ini, sangat jarang dilakukan seorang gelandangan. Bisa jadi karena dia memang tidak memiliki kesempatan untuk melakukannya. Sebaliknya, korupsi banyak dilakukan oleh pejabat, pengusaha, bahkan intelektual. Bisa jadi juga karena mereka inilah yang mempunyai kesempatan dan akses terhadap kekayaan negara. Jadi, korupsi ini pada dasarnya merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

Untuk kejahatan yang dilakukan orang-orang kalangan tersebut, Lev Nikolayevich Tolstoy, dalam cerpennya The Death of Ivan Ilich, menggambarkannya dengan pepatah Prancis: il faut que jeunesse se passe. Pepatah tersebut, menurut Tolstoy, kira-kira berarti: dilakukan dengan tangan bersih, kemeja bersih, dan yang terpenting dilakukan masyarakat kelas atas, artinya direstui oleh orang-orang yang berkedudukan tinggi.

Jika pepatah tersebut kita kontekskan dengan kejahatan korupsi di Indonesia, sedikit bisa dipahami mengapa M.S. Kaban merasa bahwa dana yang mengalir kepadanya merupakan suatu kelaziman. Begitu pula aliran dana ke sejumlah anggota DPR, misalnya dana untuk mengegolkan sebuah RUU, untuk pemekaran wilayah, atau untuk alih fungsi hutan. Tindakan-tindakan tersebut jelas telah merugikan kekayaan negara atau merupakan perbuatan korupsi lainnya, misalnya suap, gratifikasi, dan sebagainya. Karena dianggap direstui oleh orang-orang yang berkedudukan tinggi, tindakan itu dianggap tidak tabu atau sah-sah saja. Itulah kira-kira gambaran tentang korupsi berjemaah.

Hal yang paling membahayakan lagi dari praktek korupsi di Indonesia adalah ketika korupsi itu dianggap sebagai bagian dari perilaku bisnis. Dalam artian, mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya sementara sanksi hukum, misalnya penjara atau denda, dianggap sebagai suatu risiko bisnis. Mencuri kekayaan negara senilai triliunan rupiah merupakan keuntungan yang luar biasa jika dibandingkan dengan risiko penjara 5 tahun--ditambah denda--dan biaya-biaya lain untuk pengacara, menyogok jaksa, dan menyogok hakim, karena sisanya masih berlimpah setelah uang tersebut dicuci.

Orang yang melakukan tindakan semacam ini bisa dianggap sebagai pahlawan keluarga karena menyelamatkan anggota-anggota keluarganya dari jurang kemiskinan dan keterpurukan, juga menyelamatkan bisnis-bisnis lainnya. Tidak begitu jadi masalah dia masuk penjara, asalkan anggota keluarganya menjadi sejahtera serta serba berkecukupan. Ambil contoh kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Biaya yang dikeluarkan untuk pengacara, sogok untuk jaksa, hakim, dan mungkin juga beberapa anggota DPR dan pejabat negara lainnya, jika dihitung-hitung masih menyisakan begitu banyak keuntungan. Jadi, tidak menjadi masalah juga seandainya masuk penjara, toh bisnis-bisnis lainnya masih bisa dikontrol dan dijalankan dari dalam penjara. Sanksi hukum dianggap sebagai risiko bisnis.

Dari praktek-praktek korupsi tersebut, dapat dikatakan hukuman penjara, malu, bahkan mati sekalipun, tidak akan membuat takut atau jera, asalkan bisa kaya atau menyejahterakan keluarga. Sudah sangat jelas bahwa orang korupsi karena ingin kaya dan tidak ingin miskin. Dari sini diketahui bahwa sebenarnya mengalami kemiskinan merupakan sesuatu yang cukup ditakuti koruptor. Karena itu, salah satu hukuman yang patut dipikirkan adalah bagaimana menjadikan koruptor itu mengalami situasi miskin mendadak karena telah merugikan kekayaan negara. Misalnya, sanksi berupa ganti rugi sebesar tiga kali lipat dari nilai yang dikorupsi. Pastilah hukuman itu cukup membuat koruptor miskin seketika.

Lagi pula, korupsi itu sangat terkait dengan kerugian kekayaan negara, jadi sudah sepatutnya negara menuntut ganti kerugian. Tentu saja konsep ganti kerugian sebagaimana diatur dalam hukum perdata yang dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Dengan demikian, yang menanggung ganti rugi tersebut bukan cuma sang koruptor, tapi juga para ahli warisnya.

Selain lebih manusiawi dan juga dapat mengembalikan kekayaan negara, bahkan memperoleh keuntungan, sanksi hukum tersebut dapat memicu para anggota keluarga untuk mengingatkan bapak atau ibunya atau anggota keluarga lainnya agar tidak korupsi, karena mereka juga dapat miskin mendadak karena ulahnya tersebut. Sanksi hukum semacam ini dijamin dapat membuat jera.

Fajrimei A. Gofar,   Peneliti pada Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Jakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 4 September 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan