Koruptor Jadi Bintang TV

Pemberantasan korupsi memasuki babak baru. Setelah berbagai kebijakan dan metode ditempuh, kali ini muncul gagasan yang sudah mulai diwujudkan. Para koruptor ditayangkan di televisi. Mereka akan bergiliran menjadi bintang TV. Bagaimana efektivitasnya dan apa implikasinya?

Koruptor yang Kabur
Salah satu tujuan penayangan para koruptor adalah mengajak masyarakat membantu pihak berwajib menangkap kembali para penjahat itu. Ini akan berjalan lebih efektif apabila mereka masih berkeliaran di negeri ini. Bila mereka sudah kabur ke luar negeri, kerja sama melalui Interpol dan hubungan baik dengan negara-negara lain jauh lebih penting.

Tapi sebagai usaha, mungkin itu dianggap tidak ada salahnya dan tidak ada ruginya. Barangkali mereka kembali ke Indonesia. Tapi dalam soal ini, tentu peran imigrasi lebih besar. Penguatan kapasitas imigrasi dalam mendeteksi dan mengetahui para koruptor tentu menjadi hal penting. Hal ini tentu berkorelasi dengan data lebih lengkap dari lembaga penegak hukum.

Koruptor yang kabur adalah hasil interaksi beberapa faktor dan bukan disebabkan faktor tunggal. Mereka tidak kabur hanya karena kelihaian atau adanya kelengahan yang berwajib. Terkadang kerangka hukum yang ada memberikan celah kepada para tersangka, terdakwa, atau terpidana korupsi untuk kabur ke luar negeri.

Kerangka hukum yang ada berkaitan dengan acara pidana dan hubungan koordinasi serta lintas kewenangan antarlembaga yang memberikan peluang itu tentu telah dipelajari dengan masak-masak untuk bisa kabur.

Dalam melakukan kejahatan, para penjahat sering mempelajari situasi, kondisi, dan rutinitas di sekitar calon korban. Begitu pula dalam melakukan aksi kaburnya, tentu semua aspek (termasuk) kelemahan dalam hukum dan miskoordinasi antaraparat menjadi bagian yang dipelajari dengan matang.

Yang ingin penulis katakan di sini adalah bahwa penayangan para koruptor di TV hanya dampak kegagalan kita untuk menjaga mereka agar tidak kabur dari jeruji besi. Hal itu juga merupakan dampak adanya titik-titik kelemahan baik pada aturan hukum maupun penegaknya.

Jadi, upaya tersebut mesti diimbangi dengan menutup berbagai celah hukum serta kurangnya kapasitas dan koordinasi penegak hukum. Karena kalau sudah ada koruptor kabur, biasanya, masing-masing berkutat menyalahkan lembaga lain atau masing-masing merasa tidak punya dasar hukum dalam melakukan suatu tindakan.

Implikasi
Ketika membuat gagasan itu, mungkin ada tujuan lain, yaitu mencegah agar orang tidak melakukan korupsi supaya tidak ditayangkan sebagai koruptor. Hal itu lebih dikenal sebagai special deterrence (yakni agar si pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya) dan general deterrence (yakni agar siapa saja yang melihat hal itu tidak akan meniru perbuatan jahat tersebut).

Bahkan, lebih jauh lagi, sebenarnya bisa juga memperluas jangkauan deterrence tadi karena bisa juga diharapkan setiap orang tua akan menasihati anak-anaknya agar kelak tidak menjadi koruptor karena membuat malu keluarga. Begitu juga para istri akan mengingatkan suami agar tidak korup di pekerjaannya.

Masalahnya adalah pada definisi dan cakupan korupsi itu sendiri. Penayangan koruptor memang diiringi rekam jejak korupsinya serta jumlah kerugian negara. Persoalannya, masih banyak jenis lain korupsi yang definisi dan cakupannya tidak dipahami masyarakat. Implikasinya, banyak orang tidak merasa melakukan korupsi atau melanggar undang-undang korupsi karena perbuatannya sudah lazim dilakukan.

Korupsi bisa seribu satu wajah, sementara yang ditayangkan mungkin hanya beberapa macam korupsi. Ada baiknya dilakukan peningkatan upaya seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebarluaskan buku kecil yang menuntun masyarakat mengetahui wajah korupsi dalam berbagai seginya.

Jadi, di televisi tidak cukup penayangan para koruptor, tapi juga pengenalan dan penyadaran kepada masyarakat tentang apa saja yang masuk cakupan korupsi yang mesti dihindari karena jika dilakukan, mereka akan bernasib sama dengan koruptor yang kini ditayangkan.

Masalahnya lagi, tujuan itu tidak mempan bagi orang-orang yang tidak memiliki rasa malu melakukan korupsi dan menjadi bintang TV karena korupsi. Di sinilah upaya lebih besar harus dilakukan, yaitu menumbuhkan mental antikorupsi, malu korupsi, dan budaya bersih dari korupsi. Tentu saja upaya tersebut tidak bisa dilakukan hanya oleh Kejaksaan Agung, kepolisian, atau KPK.

Topo Santoso, staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Depok, saat ini juga menjadi advisor Partnership for Governance Reform in Indonesia (Kemitraan) di Jakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 20 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan