Koruptor di Sekitar Skandal BI; Siapa Menyusul setelah Aulia Pohan

Beberapa saat setelah pembacaan vonis untuk mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah, KPK mengumumkan empat tersangka baru. Salah satunya menyentuh orang terdekat presiden -besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Di satu sisi apresiasi dan dukungan patut diberikan kepada institusi tersebut. Terutama karena lambat laun hukum mulai ditegakkan, bahkan menyentuh lingkar Istana. Meskipun tentu bukan tanpa catatan.

Namun, kenapa hanya Aulia Pohan? Nanti pertanyaan itu diperkirakan akan muncul, baik dari Aulia Pohan, tim kuasa hukum, atau bahkan keluarga presiden, seperti halnya yang diutarakan oleh Burhanuddin Abdullah dalam pembelaan yang dibacakan untuk dirinya. Kenapa hanya saya, sementara ini adalah kebijakan kolektif, dan semua dewan gubernur BI telah menyetujuinya?

Seperti diketahui, setelah lewat enam bulan sejak penahanan Burhanuddin Abdullah, akhirnya KPK menentukan sikap dalam polemik status besan presiden tersebut. Aulia Pohan dan tiga dewan gubernur lainnya ditetapkan sebagai tersangka baru (Jawa Pos, 30/10). Sebelumnya sudah tiga mantan dewan gubernur yang juga jadi tersangka.

Namun, bagaimana status mantan dewan gubernur lainnya? Apakah karena dua di antara mereka masih menjabat di posisi cukup tinggi saat ini hingga KPK belum merasa cukup yakin menyentuh atau ada perspektif lain di pikiran pimpinan KPK? Tentu, itu pertanyaan serius yang harus dijawab KPK.

Merujuk pada dokumen Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI I hingga IV, sesungguhnya nama-nama yang patut dijadikan tersangka cukup jelas. Poin itu menjadi bukti yang sulit dipatahkan. Sebab, hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pun meyakini kebenarannya sebagai fakta persidangan yang kuat. Bahwa, konstruksi korupsi BI di level kebijakan terletak pada persetujuan penyediaan dan pencairan Rp 100 miliar dana BI -YPPI, yang melawan hukum. Sebut saja, Anwar Nasution (AN) dan Miranda Gultom (MG).

Fakta persidangan jelas memperlihatkan indikasi keterlibatan mantan dewan gubernur yang sekarang menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu. Tanpa berpretensi melanggar presumption of innocence, dokumen surat memperlihatkan Anwar hadir dan menyetujui keputusan pada RDG I (20 Maret 2003) yang menyetujui permohonan dana bantuan hukum untuk tiga terdakwa korupsi BLBI.

Kemudian, RDG III (22 Juli 2003) yang menghasilkan persetujuan BI tentang penyaluran Rp 100 miliar kepada YPPI sebagai peningkatan modal. Kita tahu untuk poin ini, dana YPPI memang ditujukan sebagai kamuflase untuk kepentingan penyelesaian BLBI secara politis di DPR serta diseminasi revisi UU BI. Lantas, pada RDG IV (22 Juli 2003), keputusan tentang realisasi dana dan pembentukan Panitia Sosial Kemasyarakat (PSK) merupakan kamuflase dua aliran dana haram tersebut.

Demikian juga Miranda. Dia tercatat hadir dan menyetujui hasil RDG I. Khusus poin itu, publik tentu sulit melupakan skandal lain yang terkait dengan penyerahan diri dan pengakuan Agus Chondro ke KPK perihal pemilihan deputi senior BI. Apakah KPK mempertimbangkan penetapan dua mantan dewan gubernur itu sebagai tersangka ke depannya? Ini adalah ujian terpenting dalam konteks penuntasan kasus besar di jantung institusi perbankan Indonesia.

Konstruksi BI

Kasus BI secara utuh sesunguhnya memperlihatkan potret riil persekongkolan pusat-pusat kekuasaan untuk melindungi kepentingan masing-masing. Secara sederhana, kasus itu dapat dipilah menjadi dua fase, di level kebijakan dan level implementasi.

Level pertama berbicara tentang sebuah desain pengusulan, persetujuan, dan kesepatakan mencairkan dana BI -YPPI Rp 100 miliar kepada berbagai pihak. Karena itu, orang-orang yang terkait di situ adalah para pengambil kebijakan, yakni gubernur BI dan sejumlah dewan gubernur. Sebagai sebuah kebijakan kolektif yang disetujui bersama, melekat di sana pertanggungjawaban kolektif.

Level kedua, berada di wilayah ke mana dana haram tersebut mengalir. Membaca fakta persidangan dan sejumlah dokumen yang didapatkan ICW, setidaknya dana tersebut mengalir kepada 52 anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004; oknum di Kejaksaan Agung, dan sejumlah advokat. Asal-muasal skandal itu tidak terpisahkan dari upaya menyelamatkan sejumlah mantan petinggi BI dari jerat hukum megakorupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kemudian terbukti, Kejaksaan Agung bahkan mengeluarkan SP3 untuk salah seorang tersangka BLBI tersebut. Dan, DPR satu kata saat menyikapi BLBI secara politis.

Dengan begitu, mudah dipahami, penyelesaian kasus BI punya arti strategis yang bahkan melewati konstruksi satu kasus tersebut. Dengan demikian, penuntasan skandal ini adalah keniscayaan bagi KPK.

Sampai saat ini, sayangnya keseriusan KPK untuk masuk lebih jauh di level kedua masih dipertanyakan. Baru segelintir dari 52 anggota komisi IX yang disentuh. Bahkan, dua di antara mantan legislator yang diindikasikan kuat menerima aliran dana BI masih bisa nyaman duduk di kabinet SBY-Kala. Karena itu, terlepas dari prestasi KPK ketika menetapkan Aulia Pohan sebagai tersangka, supremasi hukum dan independensi KPK masih diuji.

Jika benar, hukum adalah panglima dan jika benar KPK tidak bisa diintervensi, maka dua menteri aktif ini tentu hanya soal kecil, kecuali sejumlah oknum di KPK tidak menghendaki terjeratnya pihak yang masih menjabat. (*)

 Febri Diansyah , peneliti hukum dan anggota badan pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta.

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 3 Oktober 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan