Korupsi tak (Pasti) Berlalu

Seperti telah diprediksikan banyak orang, Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung akhirnya membebaskan Akbar Tandjung. Dalam putusan mereka, majelis hakim agung menerima permohonan kasasi dan menyatakan Akbar Tandjung tidak bersalah melakukan korupsi dengan menyalahgunakan wewenang sebagai Menteri Sekretaris Negara.

Pada hari yang sama, di negara berbeda, Wang Huazhong, mantan Wakil Gubernur Provinsi Anhui di Cina, menjalani eksekusi hukuman mati setelah diputuskan bersalah dalam kasus korupsi dan kasasinya ditolak. Wang, 56 tahun, pada Desember 2003 dinyatakan bersalah atas tuduhan korupsi senilai 287.000 dolar AS. Ia mengajukan kasasi tetapi ditolak dan hidupnya berakhir oleh jarum suntik mematikan.

Lain ladang, lain belalang. Lain di Indonesia, lain di Cina. Jelas, Cina serius memberantas korupsi, tetapi bagaimana dengan Indonesia? Semula ada harapan putusan MA bisa dianggap refleksi keseriusan pemerintah untuk memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Tanpa mengedepankan sisi politis. Kenyataannya, Akbar bebas, dan publik pun semakin yakin bahwa di negeri ini yang namanya koruptor itu akan aman-aman saja. Sederet nama telah membuktikannya.

Fakta kian terbentang, Akbar menyusul nama-nama Paul Sutopo, Hendrobudiyanto, Heru Supraptomo (ketiganya mantan direktur Bank Indonesia) yang dilepas dari semua tuntutan hukum (13/1) dalam dakwaan kasus korupsi penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Ia bernasib sebaik Fadhilah Budiono, bupati Sampang, yang divonis bebas atas kasus korupsi yang dianggap merugikan negara Rp 1,2 miliar. Ketua DPR itu seberuntung Tabrani Ismail, mantan direktur pengolahan Pertamina, yang juga divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meski negara dinilai menanggung kerugian Rp 1,56 triliun.

Nama itu memperpanjang daftar para tokoh yang pernah menjadi terdakwa korupsi dan kemudian dinyatakan bebas, seperti Leonard Tanubrata (mantan direktur Bank Umum Nasional), Syahril Sabirin (mantan gubernur Bank Indonesia), Samadikun Hartono (mantan Komut PT Bank Modern), Hendra Rahardja (mantan Komut PT Bank Harapan Santosa), dan Ida Bagus Oka (mantan Gubernur Bali), Pande Lubis (mantan Wakil Kepala BPPN), dan Nurdin Halid (mantan Ketua Puskud Sulsel).

Kebebasan mereka merupakan gambaran proses hukum berlangsung sesuai prosedur, tetapi hasilnya tidak memenuhi kaidah keadilan. Publik pun mempertanyakan, di manakah hukum berdiri tatkala negeri ini sudah dililit korupsi, tetapi hukum belum juga menunjukkan kekuatannya? Tak berlebihan jika kemudian muncul asumsi bahwa membawa tersangka korupsi ke meja hijau sekadar membangun kepercayaan masyarakat ada keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Perkara hasilnya tak sesuai keinginan masyarakat, itu urusan belakang, toh yang akan dicemoohkan oleh masyarakat hanyalah aparat hukum.

Benar juga apa yang dikatakan sosiolog antikorupsi dari AS macam Robert Klitgaard, masyarakat jangan terlalu banyak berharap dari proses hukum itu. Dalam berbagai kasus di negara-negara korup, langkah represif --di antaranya lewat proses hukum-- terhadap para tersangka korupsi hasilnya tak lebih bagus jika dibandingkankan cara komprehensif. Pendekatan komprehensif ini tak sekadar jangka pendek, tetapi butuh waktu lama dengan cara mengubah sistem yang ada.
Ada sebuah contoh kebobrokan sistem di Indonesia dan selayaknya segera diubah agar banalisasi korupsi bisa diatasi. Sebuah survai Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menyebutkan besarnya pungutan ilegal dalam pengurusan birokrasi dan perizinan mencapai 60,62% dari biaya resmi yang seharusnya dikeluarkan. Semisal proses pengurusan perizinan yang berhubungan dengan birokrasi bertarif resmi Rp 100.000, kenyataan yang harus dikeluarkan seseorang mencapai sekira Rp 160.000. Artinya, ada pengutan ilegal Rp 60.000 (persisnya disebutkan 60,62% tadi). Atau telah terjadi korupsi oleh oknum birokrat senilai Rp 60.000. Angka ini cuma perumpamaan. Nilai riil untuk perizinan tentu cukup tinggi.

Ini bukan survai main-main. Kesahihannya jelas di atas polling SMS yang belakangan ini marak dilakukan media. Survai ini melibatkan 5.140 manajer dan pengusaha yang bekerja di perusahaan daerah, nasional, dan asing. Mereka tersebar di 156 kabupaten dan 44 kota di seluruh Indonesia.
Kembali ke saran sosiolog antikorupsi tadi, justru sistem inilah yang patut diubah. Dalam kasus survai KPPOD, proses perizinan seyogyanya ditelaah ulang. Lubang-lubang yang berpotensi mengundang korupsi sudah barang tentu semustinya ditutup rapat.

Cara itulah yang dipandang lebih efektif ketimbang proses hukum. Apalagi kenyataannya sekadar menjadi sarana rehabilitasi nama para tersangka korupsi. Proses hukum pula yang kian meyakinkan dugaan bahwa di negeri ini para koruptor senantiasa keluar sebagai pemenang!
**
KORUPTOR di Indonesia memang aman mempraktikkan kebiasaan buruk mereka. Sebagian besar koruptor menikmati apa yang disebut impunity (tiada sanksi hukum). Koruptor juga senantiasa merasa tak bersalah karena mereka menganggap bukan pencuri atau perampok. Publik juga bersalah gara-gara menempatkan korupsi sebagai kejahatan kerah putih, sebuah eufemisme yang memposisikan mereka dalam nuansa elite. Lagi pula korban korupsi tak berwajah. Siapa yang merasa menjadi korban langsung? Acapkali korupsi dikaitkan dengan kerugian negara, tetapi siapakah negara ini? Inilah yang membuat koruptor merasa tak bersalah karena mereka tak merugikan siapa-siapa.

Hal lain, koruptor tak takut berdosa atas perbuatan korupsi. Mereka menganut pemahaman pragmatis terhadap ajaran agama. Dalam Islam, lantaran bukan syirik, koruptor itu yakin yang mereka lakukan sekadar dosa kecil. Noktah dosa ini seolah-olah bisa dihapus dengan puasa Ramadhan, haji, bahkan shalat, maupun beramal.
Tidak jarang koruptor disukai koleganya karena murah hati. Sebagian uang hasil korupsi diamalkan dengan cara membangun masjid, membangun panti asuhan, atau membiayai seseorang naik haji. Koruptor ini merasa aman karena uang hasil korupsi tak dimakan sendiri. Inilah mekanisme silih yang kerap dilakukan koruptor.
**
PAPARAN di atas menggambarkan betapa esensial vonis terhadap Akbar Tandjung. Setelah Akbar bebas, apakah kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi akan menghentikan kemenangan koruptor itu? Sikap skeptis terhadap KPK di masyarakat bukan satu-satunya kendala. Fakta bahwa korupsi telah membudaya merupakan problem sulit bagi KPK.

Ibarat akar tanaman, korupsi merambat ke mana-mana, menembus dinding gedung pemerintah yang dipadati birokrat terwabah kleptokrasi. Tindakan ini dipahami sebagai tingkah orang berkuasa yang lantaran jabatannya merasa sesuatu yang diambilnya secara tidak sah seolah-olah merupakan haknya (Stanislav Andreski, 1966). Maka, penguasa itu dengan tenang mengambil apapun yang sesungguhnya bukan hak mereka tanpa rasa bersalah.

Akar korupsi itu juga meretakkan tembok gedung parlemen di mana kebanyakan politisi menyelewengkan posisinya. Mereka berpolitik bukan mengemban amanat rakyat, tetapi menggelembungkan kantong-kantong pribadi. Filsuf politik Hannah Arendt mengingatkan aktivitas politik yang kemudian memperoleh inspirasi terbesarnya dari aspirasi terhadap keabadian duniawi, kini turun ke tingkat aktivitas rendah yang tunduk kepada kebutuhan. Di satu sisi ditakdirkan untuk mengobati pelbagai konsekuensi perbuatan dosa manusia, dan di sisi lain untuk memenuhi keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan kehidupan duniawi yang legitimate.

Buktinya sudah ada, sekitar 180 anggota DPRD di pelosok tanah air dinyatakan sebagai tersangka dalam berbagai kasus korupsi. Apa jadinya jika legislatif diharapkan menjadi instrumen kontrol terhadap kebobrokan birokrasi, ternyata malah terperangkap banalisasi korupsi?

KPK musti memberikan pengawasan dengan panoptikum (alat yang dapat menangkap atau melihat semua benda sekaligus, red) kepada institusi rawan korupsi. Keinginan publik bahwa jika terbukti melakukan korupsi lebih bagus dihukum mati agaknya patut dipertimbangkan. Kenyataan sanksi ini bukanlah berlebihan. Cina dan Vietnam telah membuktikan hukuman mati efektif memberangus korupsi.
Dalam jangka pendek justru dibutuhkan kepekaan KPK. Seharusnya, tatkala ribut-ribut Beddu Amang atau Syahril Sabirin dan Ary Suta, KPK segera ambil alih kasus ini. Jangan berdalih keterbatasan sarana teknis, KPK belum bertindak apa-apa. Inilah kesempatan bagi KPK untuk menunjukkan diri kehadirannya bukan meneruskan cerita kegagalan lembaga yang sebelumnya ada.

Kalau saja KPK bisa menghajar tokoh-tokoh itu, masyarakat punya harapan bagus terhadap upaya pemberantasan korupsi. Gerakan anti-korupsi tak sekadar menghiasi halaman koran, tetapi sudah mewarnai kehidupan riil.(TOTO SUPARTO, aktivis pada Jaringan Peduli Gerakan Antikorupsi, konsultan media, studi di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, Selasa, 17 Februari 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan