Korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum; Biaya Akses Sisminbakum Tidak Pernah Dibicarakan dengan DPR

Biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum tidak pernah dibicarakan dengan DPR. Padahal, biaya akses itu merupakan hasil perjanjian perdata antara PT Sarana Rekatama Dinamika dan Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman yang dibebankan kepada masyarakat.

Hal itu terungkap dalam sidang perkara korupsi biaya akses Sisminbakum dengan terdakwa mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Romli Atmasasmita di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (17/6). Mantan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menjadi saksi di persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Syahril Sidik.

Anggota majelis hakim, Haswandi, menanyakan biaya akses yang dibebankan kepada pemohon badan hukum sebesar Rp 1,35 juta. Ia mengutip keterangan Yusril di sidang.

”Saksi menyatakan, ini perjanjian perdata antara swasta dan koperasi. Namun, isinya diberlakukan kepada orang lain. Apakah soal biaya ini dibicarakan dengan DPR? DPR kan perwakilan rakyat,” ujar Haswandi.

Yusril mengatakan, ”Saya sebagai menteri tak pernah membicarakan itu dengan DPR.”

Dakwaan jaksa terhadap Romli menyebutkan, 90 persen dari biaya akses Sisminbakum untuk PT SRD dan 10 persen ke KPPDK. Dari 10 persen itu, 60 persen diserahkan ke Ditjen AHU dan 40 persen untuk KPPDK.

Jaksa penuntut umum, antara lain beranggotakan Ali Mukartono, Kuntadi, Syahnan, dan Fadil, menanyakan pembagian biaya akses tersebut. Namun, Yusril mengatakan tidak tahu.

Jaksa juga menanyakan aturan yang mendasari diberlakukannya biaya akses sebesar Rp 1,35 juta per pemohon badan hukum itu. Pertanyaan diulang beberapa kali sampai ditengahi majelis.

Yusril akhirnya mengatakan, ”Tidak tahu.” Ditanya hakim terkait penunjukan langsung PT SRD, Yusril menyatakan, sulit mencari investasi tahun itu. Namun, ia tak mengikuti kesepakatannya. (idr)

Sumber: Kompas, 18 Juni 2009

{mospagebreak title=Dihukum, 4 Mantan Deputi Gubernur BI Banding} 

Dihukum, 4 Mantan Deputi Gubernur BI Banding
by : Melati Hasanah Elandis

Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta kemarin menjatuhkan hukuman penjara dan denda kepada empat mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, yakni Aulia Tantowi Pohan, Maman Soemantri, Bun Bunan Hutapea, dan Aslim Tajuddin. 

Aulia Tantowi Pohan divonis hukuman penjara empat tahun enam bulan serta denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. Sementara Maman Soemantri, Bun Bunan Hutapea dan Aslim Tajuddin divonis masing-masing empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan. 

Atas putusan majelis hakim yang diketuai Kresna Menon tersebut, Aulia melalui kuasa hukumnya OC Kaligis menyatakan banding. Ketiga terpidana lain juga mengajukan banding. 

"Sampai saat ini saya merasa tidak bersalah sehingga tidak bisa menerima putusan majelis hakim. Jadi saya memutuskan banding," kata Aslim menyampaikan kekecewaannya. 

Sebelumnya, jaksa menuntut keempat terdakwa masing-masing dengan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider enam bulan penjara. 

Keempat terpidana itu dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyetujui Rapat Dewan Gubernur BI tanggal 3 Juni 2003. Rapat tersebut memutuskan untuk menyetujui aliran dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar untuk bantuan hukum sejumlah mantan direksi dan Gubernur BI serta untuk percepatan amandemen Undang-Undang BI kepada DPR.

"Semestinya para terdakwa sebagai Dewan Gubernur BI harus menunda bantuan dana sampai anggaran tahun depan karena BI sedang defisit," kata Kresna Menon dalam pembacaan pertimbangan majelis hakim. 

Terdapat pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam sidang kemarin. Ketua Majelis Hakim meyakini keempat terdakwa melakukan penyalahgunaan wewenang secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun, majelis hakim akhirnya memutuskan para terdakwa hanya terbukti secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dan mendakwa mereka dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Keputusan sidang tidak menyebutkan keharusan membayar uang pengganti senilai Rp100 miliar oleh para terdakwa. Pasalnya, majelis hakim menganggap para mantan Dewan Gubernur BI tersebut tidak mengambil keuntungan pribadi dari aliran dana YPPI.

Menanggapi vonis kliennya, OC Kaligis menyatakan beberapa kejanggalan dalam putusan majelis hakim. Menurutnya, majelis hakim tidak mempertimbangkan keterangan saksi ahli tentang Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2008 tentang Yayasan.

Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, ada indikasi uang BI dalam YPPI bukanlah uang negara. "Rapat Dewan Gubernur dibuat bersama-sama tetapi kenapa Anwar Nasution dijadikan pengecualian," kata Kaligis. 

Pengacara Bun Bunan Hutapea, Irianto Subiakto, juga mengungkapkan ketidakpuasan terhadap putusan majelis hakim. "Tidak konsisten soal penyebutan keuangan negara," kata Irianto. 

Para terdakwa yang merupakan Dewan Gubernur, menurut Irianto, tidak memiliki kewenangan apa pun dalam kasus tersebut.     

Sumber: JurnalNasional, 18 Juni 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan