Korupsi Sisminbakum; Bos Rekanan Depkum Kena 4 Tahun

Yohanes Waworuntu, Dirut PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), perusahaan yang menjadi rekanan Depkum dan HAM, harus tetap berada di tahanan. Sebab, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin (28/10) memvonis dia empat tahun penjara dalam kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Depkum dan HAM.

''Majelis memerintah terdakwa tetap berada di dalam tahanan,'' kata hakim Ida Bagus Dwiyantara saat membacakan putusan di PN Jakarta Selatan kemarin. Selain pidana penjara, terdakwa dijatuhi denda Rp 200 juta subsider empat bulan kurungan.

Bukan hanya itu. Terdakwa juga harus membayar uang pengganti kerugian negara Rp 3,56 miliar. Uang itu harus dibayarkan paling lambat sebulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Majelis hakim menyatakan, Yohanes telah terbukti bersama-sama melakukan pungutan dengan dalih biaya akses kepada notaris dalam layanan Sisminbakum. Hakim menyatakan ada ikatan kerja sama antara terdakwa, ketua Koperasi Pengayoman Pegawai Depkeh dan HAM (KPPDK), Dir­jen Administrasi Hukum Umum, dan Menkeh HAM kala itu.

''Terdakwa mendapat legalitas untuk melakukan pungutan de­ngan dalih access fee yang besarannya telah ditentukan sebelumnya,'' kata hakim. Jumlah pungu­tannya Rp 1,35 juta di luar biaya penerimaan negera bukan pajak (PNBP) Rp 200 ribu.

Pungutan biaya akses sejak April 2001 hingga November 2008 mencapai Rp 420,37 miliar. Dari penerimaan itu, 90 persen di antaranya menjadi bagian PT SRD sebesar Rp 379,34 miliar. Sisanya menjadi bagian KPPDK. ''Perbuatan terdakwa telah terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi,'' tutur hakim Ida Bagus. Seharusnya, kata dia, penerimaan itu disetorkan kepada kas negara.

Menanggapi putusan itu, kuasa hukum Yohanes, Alvin Suherman, menyatakan akan mengajukan banding. Dia menilai, putusan majelis diwarnai banyak kejanggalan. Misalnya, uang pengganti Rp 3,56 miliar yang harus diba­yarkan oleh Yohanes. ''Itu gaji dia. Itu hak dia sebagai karyawan,'' kata Alvin setelah sidang.

Pertimbangan majelis hakim, lanjut dia, tak sesuai dengan fakta-fakta dalam sidang. Alvin menilai, putusan tersebut mengandung kontradiksi. ''Hakim menyebutkan, terdakwa mendapat legalitas (melakukan pungutan). Tapi, juga menyebutkan itu sebagai perbuatan melawan hukum. Ini kontradiktif,'' tuturnya.

Yohanes tidak bisa menutupi keheranannya atas putusan tersebut. ''Putusan hakim sama sekali tidak menyebutkan nama Har­­tono Tanoesoedibjo. Dia itu think tank-nya,'' katanya. (fal/dwi)

Sumber: Jawa Pos, 29 Oktober 2009

----------------

Dirut PT SRD Dihukum 4 Tahun Penjara

Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika Yohanes Waworuntu dihukum 4 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/10). Majelis hakim yang diketuai Ida Bagus Dwi Yantara menilai Yohanes terbukti korupsi bersama-sama terkait biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum atau Sisminbakum.

Yohanes dan penasihat hukumnya, Alfin Suherman, terlihat kaget saat hakim memutuskan hukuman itu. Seorang wanita, kerabat Yohanes, yang mengikuti jalannya sidang menangis. Hukuman itu lebih rendah setahun dibandingkan dengan tuntutan jaksa.

Yohanes juga dihukum membayar denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan dan hukuman tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp 3,56 miliar, yang jika tidak dibayar harus diganti dengan kurungan selama 1 tahun.

Majelis hakim menghitung uang pengganti itu dari gaji yang diterima Yohanes sebagai Dirut PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) pada kurun waktu April 2001-November 2008. PT SRD adalah pelaksana Sisminbakum.

Yohanes menyatakan, ia akan mengajukan banding atas putusan itu. Pasalnya, ia tidak pernah mendirikan PT SRD. PT didirikan Hartono Tanoesudidjo. Ia baru bergabung pada 2 September 2001 sehingga tak tahu perjanjian proyek Sisminbakum.

”Soal uang pengganti, itu gaji saja. Saya kerja profesional. Ada apa? Itu hak saya,” katanya.

Alfin menambahkan, putusan majelis hakim itu sungguh aneh. ”Pak Yohanes dikatakan memperoleh kewenangan untuk mengelola Sisminbakum dan memungut biaya akses, tetapi disebutkan melawan hukum,” kata dia lagi.

Selain itu, proyek Sisminbakum seluruhnya memakai uang PT SRD. Karena itu, Alfin menilai tidak ada kerugian negara.

Jaksa Mursito dan Zuhandi menyatakan pikir-pikir atas putusan itu. Menurut Zuhandi, pertimbangan majelis hakim hanya Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga hanya mempersoalkan keuangan negara. Padahal, jaksa juga membidik Yohanes dari Pasal 12 huruf (e) UU No 20/2001 yang mengubah UU No 31/1999, yakni memungut uang secara paksa dari pengguna Sisminbakum.

Pertimbangan majelis hakim, pungutan Rp 1,35 juta per pemohon badan hukum pengguna Sisminbakum yang diakses secara elektronis tak bisa dilakukan. Pasalnya, ada aturan yang digunakan pemerintah mengenai pungutan. Namun, selaku Dirut PT SRD, Yohanes memiliki legalitas untuk melaksanakan Sisminbakum.

Sepanjang April 2001-November 2008, uang yang terkumpul dari biaya akses Rp 420,37 miliar. Setelah dikurangi pajak Rp 3,327 miliar, 90 persennya masuk ke PT SRD, 6 persen ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), dan 4 persen ke Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman (KPPDK).

Tentang perbuatan turut serta atau bersama-sama melakukan, majelis melihat ada jalinan kerja sama antara Menteri Hukum dan HAM, Dirjen AHU, Ketua KPPDK, dan terdakwa. (idr)

Sumber: Kompas, 29 Oktober 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan