Korupsi Sektor Pertambangan

Komisi Pemberantasan Korupsi pada 23 Agustus 2016 telah menetapkan Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara, sebagai tersangka korupsi. Selama periode 2009-2014, Nur Alam diduga menerima suap senilai lebih dari Rp 60 miliar terkait dengan pemberian izin usaha pertambangan di Kabupaten Buton dan Bombana.

Pemberian izin penggunaan lahan, termasuk usaha pertambangan—sebagaimana dilakukan Nur Alam—saat ini kerap menjadi modus kepala daerah untuk mengeruk keuntungan pribadi. Praktik ini umumnya muncul di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam dan erat berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada).

Setiap menjelang pilkada di wilayah kaya sumber daya alam, muncul kecenderungan peningkatan pemberian izin usaha pertambangan. Izin diberikan kepala daerah kepada pihak investor. Sayangnya, pemberian konsesi kepada investor tambang tersebut tidak gratis, sering kali disertai dengan ada imbal jasa (kickback) dalam bentuk suap atau gratifikasi. Untuk setiap izin yang dikeluarkan, nilai imbal jasanya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Banyak kasus

Nur Alam sesungguhnya bukan orang pertama yang dijerat KPK karena terlibat korupsi di sektor pertambangan. Sebelumnya, sudah ada Adriansyah, politisi PDI-P yang juga mantan bupati. Adriansyah terbukti menerima suap lebih dari Rp 1 miliar dari Andrew Hidayat, bos PT Mitra Maju Sukses, setelah memuluskan izin usaha tambang di Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

Tahun 2015, Adriansyah dinyatakan terbukti melakukan korupsi dan dijatuhi hukuman 3 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta.

Pelaku korupsi di sektor pertambangan tidak saja orang, tetapi juga korporasi atau perusahaan. Tahun 2013 Badan Pemeriksa Keuangan pernah melaporkan 26 perusahaan pertambangan atas dugaan korupsi dengan memanfaatkan hutan secara ilegal. Laporan yang disampaikan ke Bareskrim Mabes Polri tersebut diduga menyebabkan kerugian negara Rp 90,6 miliar. Sayangnya, proses hukum atas laporan korupsi yang disampaikan BPK tersebut tidak jelas perkembangannya hingga saat ini.

Praktik korupsi di sektor pertambangan sungguh mengkhawatirkan. KPK mengidentifikasi, dari sekitar 11.000 izin tambang yang ada di seluruh Indonesia, 3.772 izin dinilai bermasalah dan dicurigai terjadi korupsi yang melibatkan kepala daerah sebagai pemberi izin.

Akurasi data

Akibat data produksi batubara yang tidak akurat, negara kehilangan sumber penerimaan dari sektor pertambangan Rp 28,5 triliun. Nilai tersebut akan berlipat apabila dihitung dari kerugian ekologis yang ditimbulkan dari keluarnya izin yang bermasalah.

Munculnya praktik korupsi di sektor pertambangan pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari buruknya pengelolaan sumber daya alam ini mulai dari hulu hingga ke hilir. Hasil kajian KPK pada tahun 2014 memetakan 10 persoalan terkait pengelolaan pertambangan. Masalah tersebut antara lain adalah renegosiasi sejumlah kontrak pertambangan, peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang mineral dan batubara, penataan kuasa pertambangan atau izin usaha pertambangan, serta peningkatan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Lima persoalan lain adalah pelaksanaan kewajiban pelaporan secara reguler, pelaksanaan kewajiban reklamasi dan pasca tambang, penerbitan aturan pelaksana UU No 4/ 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, pengembangan sistem data dan informasi, pelaksanaan pengawasan, dan pemaksimalan penerimaan negara.

Jadikan prioritas

Melihat besarnya kerugian keuangan negara dan ekologis yang ditimbulkan, maka pemberantasan korupsi di sektor pertambangan sebaiknya menjadi prioritas dari KPK dan juga pemerintah.

Sebagai langkah penindakan, KPK perlu menelisik kembali ada tidaknya dugaan korupsi di balik keluarnya 3.772 izin usaha pertambangan yang diduga bermasalah tersebut. Jika ditemukan adanya dugaan korupsi, maka selain izin usaha pertambangan tersebut harus dicabut, pelakunya wajib diproses secara hukum. Untuk memberikan efek jera, KPK perlu melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menjerat pelaku korupsi di sektor pertambangan.Selain menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pelaku juga perlu dimiskinkan dengan regulasi tindak pidana pencucian uang.

Harus pula dilakukan upaya sistematis untuk mencegah korupsi di sektor tambang ini terjadi kembali di masa mendatang. Kerja sama dan koordinasi dari KPK ataupun semua pihak penting dilakukan untuk memastikan bahwa langkah pencegahan korupsi di sektor pertambangan dapat dilaksanakan dengan baik.

Untuk menjawab sepuluh masalah pengelolaan pertambangan, program yang diinisiasi KPK, seperti Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA), sebaiknya dijalankan secara konsisten dan dengan komitmen yang tinggi. Apalagi nota kesepakatan dan Rencana Aksi Bersama GNPSDA—di dalamnya juga terdapat rencana aksi pencegahan di sektor pertambangan—telah ditandatangani 29 pemimpin kementerian dan lembaga sejak Maret 2015.

Izin kembali ke gubernur

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, juga perlu didorong untuk percepatan penyerahan izin usaha pertambangan dari bupati kepada gubernur. Pelimpahan izin usaha pertambangan dari tingkat kabupaten ke provinsi diyakini mampu mengurangi munculnya korupsi ataupun izin tambang yang bermasalah.

Apalagi pelimpahan itu merupakan perintah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam UU tersebut dinyatakan paling lambat dua tahun setelah regulasi disahkan, pemerintah kabupaten/kota tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberikan izin usaha pertambangan.

Pada akhirnya upaya pemberantasan korupsi sektor pertambangan harus diletakkan sebagai mandat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Dalam ketentuan tersebut jelas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

KPK dan semua pihak harus mencegah agar kekayaan alam Indonesia tidak dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran koruptor.

EMERSON YUNTHO, ANGGOTA BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH

----------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas, Jumat, 16 September 2016, dengan judul “Korupsi Sektor Pertambangan”.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan