Korupsi Sebagai Gaya Hidup

Di Tanah Air ini, ternyata korupsi telah menjadi tren dan gaya hidup. Banyak orang begitu nikmat dan enjoy melakukan korupsi. Sedemikian banyak manusia yang melakukan korupsi, dari pusat sampai daerah. Koruptor-koruptor ini terutama adalah manusia yang menduduki jabatan strategis dalam berbagai institusi negara dan pemerintahan, dari bawah sampai atas.

Korupsi telah menjadi virus ganas di Tanah Air yang menyebar ke berbagai wilayah dengan kecepatan tinggi dan sungguh menakjubkan. Di mana-mana, orang yang menduduki jabatan strategis pada institusi negara/pemerintahan, berlomba-lomba melakukan korupsi. Secara bangga, gagah berani, dan riang gembira, mereka berpacu menjarah uang negara dan rakyat.

Tidak ada rasa malu dan bersalah lagi memerankan diri sebagai koruptor yang tentunya sama persis dengan garong dan maling. Di balik pakaian yang rapi dan trendi, para koruptor di negeri ini sebenarnya adalah garong dan maling kelas kakap, bahkan superkakap. Di negeri ini, korupsi telah dilakukan secara terbuka dan terang-terangan.

Imbauan moral, bahkan dengan menyertakan wacana agama dan Tuhan sekalipun, tidak bisa mengubah perilaku para koruptor menjadi jujur dan baik kembali. Para koruptor telah mengidap krisis moral yang sangat parah dan ketumpulan hati nurani yang akut, sehingga faktor agama dan Tuhan sekalipun tidak punya ruang dalam basis kesadaran mereka. Justru agama dan Tuhan dijadikan kedok untuk melakukan korupsi. Ingat, Departemen Agama adalah salah satu institusi pemerintahan yang tingkat korupsinya sangat tinggi!

Karena imbauan moral dan gerakan sosial tidak mampu membendung laju korupsi, maka penegakan hukum secara tegas adalah salah satu cara yang paling mungkin. Hukum harus memaklumkan vonis berat kepada para koruptor. Bila perlu para koruptor dihukum mati. Inilah salah satu cara menghentikan terutama secara paksa laju para koruptor yang merajalela di negeri ini.Tapi, nyatanya sungguh ironis, institusi (penegak) hukum, aparat-aparat dan para pelakunya, ternyata juga dijangkiti virus korupsi dan kolusi.

Praktik jual-beli hukum dan perkara, telah menjadi pemandangan yang biasa di negeri ini. Siapa yang kuat (kekuasaan, materi), dialah yang akan menguasai lapangan hukum dan peradilan. Dalam sejarah negeri ini, sebagaimana juga lapangan-lapangan kehidupan yang lain, institusi hukum dan peradilan telah menjadi ajang korupsi dan kolusi yang kian mengganas, bahkan hingga kini.

Jaringan korupsi di negeri ini merupakan mafia tingkat tinggi yang sulit dilawan dan diberantas dan telah mengangkangi institusi hukum dan peradilan. Jika di masa Orde Baru, korupsi lebih banyak dilakukan lingkaran eksekutif dan kroni-kroninya, maka di era kini (yang katanya era reformasi) korupsi telah menyebar dan merata di lembaga legislatif (juga yudikatif), dari pusat sampai daerah.

Di era reformasi skala korupsi jauh lebih luas, lebih sistematis, dan lebih canggih. Di era reformasi, korupsi semakin nggegirisi karena juga dilakukan oleh manusia-manusia sampah yang mengatasnamakan dirinya sebagai wakil rakyat. Tentu saja kondisi saat ini jauh lebih parah dibandingkan zaman Orde Baru. Di era reformasi inilah justru terjadi megakorupsi (korupsi maha luas dan maha besar).

Korupsi di negeri ini merupakan lingkaran setan yang sulit ditebas. Mengapa? Soalnya jaringan korupsi telah sedemikian luas dan dalam, serta antara para koruptor satu dengan koruptor lainnya saling membantu, bekerja sama, dan saling melindungi. Para koruptor saling melindungi, karena korupsi merupakan fenomena gunung es, jika satu atau sekelompok orang terbongkar, maka kelompok-kelompok lain yang bahkan jauh lebih besar, akan terbongkar pula.

Tak pelak, korupsi bukanlah sekadar kultur dan kebudayaan, melainkan telah menjadi peradaban yang mendarah daging di tubuh bangsa ini. Korupsi telah menjadi tren dan gaya hidup, sama seperti fenomena perceraian di kalangan para artis dan selebriti. Jangankan merasa salah dan berdosa, manusia Indonesia justru bangga melakukan korupsi dan menikmatinya.

Jika korupsi telah menjadi peradaban di negeri ini, mungkin kita relevan untuk menatap manusia Indonesia secara antropologis, dibandingkan misalnya dengan manusia Jepang. Dalam fenomena korupsi dan ketimpangan sosial-politik lainnya, manusia Indonesia agaknya adalah sosok yang berwatak hipokrit, tamak, korup, tidak jujur, tidak sportif, dan semacamnya.

Sementara sebaliknya, manusia Jepang adalah manusia yang bertolak belakang dengan watak-watak negatif itu. Di Jepang, manusia-manusia yang menduduki jabatan strategis tidak melakukan korupsi. Selain itu, para pejabat negaranya akan mundur secara sportif jika melakukan hal-hal yang menurut akuntabilitas publik dinilai cacat dan salah.

Di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya, jangankan para pejabatnya mundur secara sportif, bahkan sudah didemonstrasi secara radikal sekalipun, para pejabat-pejabat itu tetap bertahan dan mencoba mencari pembenaran atas tindakan-tindakannya. Padahal tindakan-tindakan pejabat ini jelas-jelas merupakan upaya menyalahgunakan wewenang, jabatan, dan kekuasaan.

Padahal tindakan pejabat itu merupakan kesalahan moral dan sosial yang fatal dan sulit termaafkan. Jangankan mundur dari jabatannya secara sadar dan sportif, para pejabat, elite politik, dan penguasa negeri ini justru bergandengan dengan militer dan aparat untuk menghalau dan menyerang para demonstran. Sungguh berat beban yang ditanggung bangsa ini, karena wabah korupsi (hampir?) mustahil untuk diberantas.

Padahal, jika hukum bisa ditegakkan dan para koruptor terutama yang kelas kakap dan super kakap ditangkap, dihukum berat, dan dituntut mengembalikan kekayaan yang dikorupsinya, maka bisa jadi bangsa ini tidak terpuruk, terutama secara ekonomi. Harta negara dan rakyat yang telah dijarah para koruptor di negeri ini telah sedemikian besarnya, sehingga jika dikembalikan tentu saja bisa (agak) menyejahterakan rakyat (bawah).

Sampai di sini, cukup relevan untuk memodifikasi pemikiran Hasballah M Saad (salah satu aktivis dan pemikir HAM) yang cukup menarik, bahwa paradigma pembangunan yang hanya berorientasi pada peningkatan laju/perbaikan ekonomi bukanlah satu-satunya cara strategis untuk mengangkat kesejahteraan bangsa ini.

Menurut Hasballah, ada cara lain yang lebih ampuh, yaitu menegakkan hukum tanpa pandang bulu dan menjerat para koruptor terutama kelas kakap dan superkakap agar mengembalikan kekayaan negara dan rakyat yang telah dijarah. Jika mafia korupsi (atau secara umum: ketimpangan sosial politik dan patologi kekuasaan) di negeri ini bisa diberantas, maka sudah barang tentu bangsa yang kaya dengan berbagai kekayaan alam ini akan menjadi makmur dan sejahtera.

Dalam situasi lingkaran setan korupsi seperti dipaparkan di atas, maka salah satu jalan yang (mungkin) realistis adalah menggalang kekuatan rakyat progresif untuk memberantas korupsi dan melawan segala bentuk ketimpangan sosial-politik yang makin menjadi-jadi di era Megawati. Para elite politik terutama yang berada di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif jelas-jelas sudah tidak bisa diharapkan lagi.

Jangankan diharapkan untuk memperbaiki bangsa ini, para elite politik justru semakin menghancurkan dan memerosokkan bangsa ini ke jurang kehancuran. Berdasarkan pengalaman sejarah umat manusia dari waktu ke waktu, demokrasi dan keadilan tidak pernah jatuh dari langit, dan tidak akan diberikan secara cuma-cuma dan sukarela oleh kekuasaan (atau kelas yang berkuasa) yang otoriter dan korup.

Untuk itu, rakyat harus menggalang kekuatan untuk merebut dan memperjuangkan demokrasi dan keadilan. Tidak ada alasan lagi bagi gerakan rakyat pro-demokrasi untuk menunggu perubahan, melainkan harus aktif menggerakkan perubahan menuju revolusi sosial-politik yang progresif.

Kekuatan rakyat progresif bisa merupakan koalisi yang kritis dan strategis antar berbagai komponen gerakan rakyat radikal, bisa berupa buruh, petani, nelayan, mahasiswa, aktivis sosial, aktivis LSM, dan sebagainya. Kita sudah tidak bisa berharap lagi kepada partai politik yang (cukup) besar dan mapan, karena selama ini kerja mereka hanya berbagi-bagi kue kekuasaan untuk diri sendiri dan kelompoknya.

Selama ini, komponen masyarakat yang paling kritis dan paling progresif adalah para mahasiswa yang tak kenal lelah melakukan gerakan radikal untuk melawan segala bentuk ketimpangan sosial-politik dan patologi kekuasaan, khususnya fenomena korupsi, dari pusat sampai daerah.

Para mahasiswa dan kaum muda merupakan kekuatan moral dan sosial untuk melawan segala bentuk otoriterisme, ketidakadilan, penindasan, dan penyalahgunaan kekuasaan. Para mahasiswa dan kaum muda, seperti yang kita lihat dalam aksi dan demonstrasi mereka, merupakan salah satu penyuara aspirasi dan corong hati nurani rakyat yang penting.

Di era otonomi daerah, ternyata korupsi bukan semakin berkurang, melainkan justru semakin menggila dan merajalela. Untuk itu bisa dimaklumi jika kekuatan-kekuatan pro-demokrasi lokal terutama yang dikomandoi para mahasiswa dan aktivis LSM terus bergerak untuk melawan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan ketimpangan sosial-politik di daerah.

Di era otonomi daerah, kasus money politics (politik uang) dalam berbagai peristiwa, terutama pemilihan para pejabat daerah dan pejabat publik lainnya, semakin bersimaharajalela. Tidak jarang, gerakan pro-demokrasi lokal harus berhadapan dan berbenturan dengan jaringan partai politik, karena parpol merupakan pelaku yang diuntungkan dalam proses bagi-bagi kue kekuasaan di daerah.

Karena sejarah pemerintahan di Tanah Air dari waktu ke waktu merupakan proses pembusukan, maka mungkin tidak ada cara lain: gerakan rakyat progresif harus mampu memicu revolusi yang mendasar dan melakukan manuver untuk mengganti para pejabat dan elite politik yang otoriter dan korup. Ide potong satu generasi merupakan hal yang masuk akal, karena semua elite politik di negeri ini adalah orang-orang yang telah tercemar virus Orde Baru yang ganas dan akut.

Setidaknya akan ada harapan baru yang agak berbinar jika generasi muda (khususnya kaum mahasiswa) yang jujur, demokratis, dan menyuarakan hati nurani rakyatlah yang tampil ke depan memimpin negeri ini dan menggantikan para elite politik yang bermental Orde Baru, dan telah tumpul hati nuraninya. Dari sinilah diharapkan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dalam kurun waktu tertentu bisa diberantas sampai ke akar-akarnya. Dari sinilah korupsi yang telah menjadi penyakit parah bangsa ini bisa dihalau dan dilenyapkan. (Staf Pengajar SMU Muthahhari Bandung.)

Tulisan ini diambil dari Republika, Rabu, 10 September 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan