Korupsi Puteh, Menguji Kesetiaan Pemerintah [13/07/04]

Setelah sekian lama terhambat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh sebagai tersangka kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2 merek PLC Rostov buatan Rusia. Pengadaan helikopter senilai Rp 12,5 miliar itu dianggap KPK telah merugikan negara sekurang-kurangnya Rp 4 miliar. Jika dibandingkan dengan harga beli TNI AD terhadap pesawat yang sama pada 2002 Rp 3,5 miliar, negara dipastikan mendera kerugian paling sedikit Rp 6 miliar (Koran Tempo, 3 Juli).

Keputusan KPK sebenarnya hanya sesuatu yang tertunda, sebab fenomena korupsi di NAD telah memuncak dalam perhatian publik sejak pertama kali Puteh menjabat gubernur, November 2000. Keberhasilannya menduduki posisi tertinggi di Aceh juga tak lepas dari masalah politik uang yang bermain saat sidang pemilihan di DPRD NAD (Kompas, 1 Oktober 2002). Sayang, korupsi dan kolusi yang berlangsung di DRPD Tingkat I sampai hari ini masih selamat dari penyelidikan hukum. Dengan terkuaknya megakorupsi di pemerintahan NAD, semoga akan mengeliminasi elite politik busuk, berganti dengan kekuatan representatif yang lebih reformis dan menyelesaikan masalah.

Puncak gunung es
Lambatnya pembongkaran kasus korupsi di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, telah melahirkan beberapa asumsi. Dari kalangan aktivis prodemokrasi dan LSM, sikap pemerintah membiarkan merebaknya praktek korupsi terbesar di tingkat provinsi ini mengindikasikan pusat juga menangguk keuntungan tidak terampilnya gerak roda pemerintahan di NAD.

Sejak UU Otonomi Khusus disahkan pada September 2001, kewenangan, mandat, perencanaan dan pengelolaan anggaran daerah NAD diserahkan secara otonom kepada pemerintah daerah. Besarnya APDB (Rp 6,7 triliun pada 2003 dan 2004) tentu menggiurkan pihak mana pun untuk mengambil peran istimewa itu, apalagi di tengah konflik berkepanjangan. Seperti termuat dalam laporan lembaga antikorupsi Aceh, ada delapan kasus sebesar Rp 211,8 miliar sepanjang 2001-2002 yang melibatkan langsung Ir. Abdullah Puteh sebagai aktor utama. Beberapa di antaranya adalah penyimpangan dana pembangunan Rp 98,8 miliar (2001), proyek tanpa tender pemerintah NAD Rp 50,27 miliar (2002), dan kredit ilegal kepada anggota DPRD NAD Rp 4,05 miliar (2002).

Fenomena korupsi akhirnya tak terkendali lagi, seperti terlihat mata dari rencana pembangunan jalan Ladia Galaska, sebuah proyek prestisius yang membelah hutan Leuser dan menghabiskan anggaran tidak kurang dari Rp 1,5 triliun. Proyek tersebut sampai hari ini masih belum diresmikan oleh Presiden Megawati, tetapi anehnya anggaran pembangunan telah mengucur. Jika tak ada aral melintang, sejumlah Rp 200-300 miliar akan dikucurkan lagi pada kalender APBN September mendatang.

Tanggapan masyarakat dan LSM yang menolak keras dilanjutkan proyek ini sama sekali tak ditimbang hati. Atas nama membuka isolasi dan tersedianya anggaran, Komisi IV DPR menutup mata tentang proyek yang menjadi biang korupsi dan berdampak buruk terhadap lingkungan itu (Koran Tempo, 1 Juli). Laporan terakhir dari koalisi NGO lingkungan menunjukkan Rp 26,9 miliar anggaran proyek telah diselewengkan dalam berbagai bentuk (Media Indonesia, 7 Juli).

Meskipun demikian, terbukanya celah dari kasus helikopter ini memberi kesempatan luas untuk mengintip jaringan korupsi yang dikomandoi Abdullah Puteh di provinsi seribu satu konflik ini, yang berdasarkan investigasi telah melibatkan tidak hanya struktur birokasi dan pemerintahan daerah, tapi hingga ke pusat. Sikap menghalang-halangi pemeriksaan yang ditunjukkan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno sedikit-banyak memperkuat indikator jaring laba-laba itu.

Kemungkinan pascapemilu
Isu negatif memang dimunculkan terkait dengan terbongkarnya skandal korupsi skala nasional ini. Beberapa cerita miring merebak di kalangan kelompok aktivis antikorupsi, seperti kepentingan menjerat Puteh tak lain hanyalah skenario konsumsi pemilu atau karena berakhirnya masa jabatan Gubernur NAD 2005.

Namun, jika dicermati, isu itu dimunculkan sebagai antipropaganda untuk membentengi para koruptor, baik di daerah maupun di Jakarta. Tantangan paling besar dalam membongkar kasus korupsi ini bukanlah di Aceh, tetapi di pemerintahan pusat. Pemerintahan Megawati harus mampu membuktikan di waktu sempit ini dengan upaya tidak hanya menonaktifkan Puteh sebagai Gubernur dan Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD) NAD, tapi juga mendorong terbukanya proses peradilan yang transparan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat. Tanggung jawab memang berada di tangan hakim, tetapi tanpa ada upaya serius dari pemerintah untuk mendukung proses penegakan keadilan, kasus korupsi (hampir selalu) akan berakhir dengan basa-basi formal hukum.

Puteh tentu tak akan bersedia mundur dengan sukarela. Ia mengetahui betul code of ethics setiap koruptor bahwa jalan paling aman menghadapi sangkaan korupsi adalah tetap bertahan dalam jabatan sembari secara simultan mempengaruhi obyektivitas lembaga penyidikan dan peradilan. Seorang presiden, gubernur, Kepala Dinas Kehutanan, atau pejabat pemerintahan mana pun yang didakwa korupsi akan mudah mengaburkan penyelewengannya dengan menyusun strategi legalitas atas kebijakan yang diambil. Akhirnya, proses penyimpangan hanya terbaca sebagai kesalahan realisasi atau ketidaktepatan mekanisme prosedural yang dijalankan. Tak ayal lagi, yang akan bergetah dan tercoret tinta tentu saja pejabat bawahan. Di posisi puncak lagi-lagi lolos dan didoakan selamat dan berbahagia.

Menuduh pemerintahan Megawati sebagai lokomotif korupsi tidaklah bijaksana. Pemahaman umum kita menalar, budaya korupsi telah bermetamorfosis sangat panjang dan curam dalam kehidupan politik bangsa. Jikapun ingin menyebut siapa yang menjadi supervisor korupsi adalah Orde Baru yang berhak menyandangnya--kekuasaan yang mempertahankan dirinya secara otoriter dan narsistik.

Walaupun demikian, karena Megawati hingga di akhir masa jabatan tak kunjung mampu menonjolkan kinerja antikorupsi, kita menjadi berhak menilai bahwa pemerintahan sekarang juga gagal mengemban amanat sebagai orde yang bersih dan demokratis. Cara tuntas menyingkirkan benalu adalah menebang batang pohon tempat benalu memintal dirinya, bukan sekadar memangkas pucuk-pucuk bunganya.

Pemilu kali ini memiliki ruang pertarungan nilai yang lebih luas, akankah calon presiden yang tersisa mau mengadopsi visi dan membangkitkan keberanian untuk memenjarakan koruptor? Konsentrasi penilaian semestinya tak lagi terperangkap dalam dikotomi sipil-militer yang semakin lama semakin tidak signifikan. Lebih realistis mengharapkan hadirnya seorang tokoh yang kita dorong bersama untuk menyelesaikan masalah korupsi dan mengoperasi tumor ganas yang mencengkeram pundak bangsa ini.

Andai pilihan yang muncul pun bukan kehendak sempurna, kita harus menyemangati diri bahwa pemerintahan terpilih adalah sebuah legitimasi yang lahir dari rahim sejarah politik baru yang mau dan mampu memberantas korupsi serta menyingkirkan koruptor di jajaran pemerintahan. Permasalahan di Aceh akan menemukan jalan keluarnya sendiri--tentu saja dengan dialektika positif sejarah--jika saja ada keberanian untuk menyingkirkan para penjahat dana publik. Mereka itulah yang tak pernah takut menyengsarakan rakyat dengan menumpuk kekayaan demi kesenangan pribadi dan istri tercinta. (Teuku Kemal Fasya, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 13 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan