Korupsi Proyek Strategis
Saturday, 08 April 2017 - 00:00
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengatakan, korupsi adalah salah satu penyebab utama biaya infrastruktur menjadi sangat mahal. Maka, menjadi sangat penting untuk mengawasi keseluruhan proses pembangunan tersebut.
Pernyataan ini bisa diletakkan dalam dua konteks. Pertama, tentang prioritas agenda pembangunan yang dicanangkan oleh rezim Joko Widodo-Jusuf Kalla melalui berbagai proyek strategis nasional. Kedua, adanya dugaan korupsi dalam proyek-proyek skala besar yang mulai diungkap penegak hukum, khususnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sebut saja kasus pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) yang diduga merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun. Modus korupsi ini sebetulnya sangat konvensional terkait dengan suap untuk memuluskan proyek dan menaikkan harga satuan (mark up) berkali lipat di atas harga wajar.
Belajar dari kasus ini, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap seluruh proses pengawasan proyek pembangunan. Tidak hanya yang dibiayai APBN/APBD, tetapi juga pengadaan yang dilakukan oleh perusahaan negara/daerah. Ini karena belakangan mulai bermunculan kasus korupsi yang melibatkan perusahaan negara, sebut saja Garuda Indonesia (Rolls-Royce) dan terakhir operasi tangkap tangan KPK terhadap Direktur Utama PT PAL.
Pengawasan lemah
Salah satu problem serius yang perlu dibenahi dalam kegiatan pengadaan adalah ketidakmampuan pengawasan dalam memitigasi risiko korupsi. Selama ini sistem pengadaan selalu "dicap" bersih karena telah menggunakan dan memanfaatkan instrumen teknologi informasi.
Sistem pengadaan secara elektronik atau lebih dikenal sebagai Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) pada dasarnya hanya memutus hubungan langsung antara pejabat pengadaan dan pihak ketiga. Padahal, tipologi korupsi di sektor pengadaan jauh lebih kompleks.
Jika dirunut, secara garis besar ada lima tahapan dalam pengadaan yang rawan terjadi korupsi, yaitu perencanaan anggaran, persiapan pengadaan, pelaksanaan pengadaan, serah terima pekerjaan dan pembayaran, serta pengawasan dan pertanggungjawaban.
Dalam kasus KTP-el, misalnya, tindak pidana korupsi telah terjadi sejak di tahapan perencanaan anggaran di parlemen. Dalam persidangan, tampak peran beberapa pihak untuk memastikan proyek KTP-el dianggarkan di dalam APBN. Jika menggunakan instrumen pengawasan pengadaan konvensional, bahkan sistem LPSE, proses di parlemen ini sama sekali tidak tersentuh.
Pada tahapan perencanaan dan persiapan pengadaan KTP-el, diduga telah terjadi penggelembungan harga (mark up) atas harga satuan. Dugaan ini semakin menguat ketika dalam perjalanan terjadi proses penambahan anggaran yang tak wajar.
Kesimpulan sementara adalah sistem pengadaan secara elektronik hanya membatasi pertemuan pejabat publik dengan pihak ketiga dalam proses teknokrasi pengadaan. Di luar itu, pejabat publik dan pihak ketiga pada prinsipnya tidak dapat dihalangi untuk bertemu dan membuat kesepakatan apa pun.
Proyek strategis nasional
Problem pengadaan yang pelik ini kemudian berhadapan dengan misi pemerintah untuk menyukseskan beragam proyek strategis nasional bernilai triliunan rupiah. Pada satu sisi, Presiden berupaya memproteksi pejabat publik melalui pemberian kewenangan "diskresi" untuk membuat keputusan, di sisi lain hal ini justru dipandang membuka peluang terjadinya tindak pidana korupsi secara masif.
Hal tersebut bisa dilihat dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang mengarahkan semua kementerian/lembaga/pemerintah daerah/BUMN/BUMD untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional melalui berbagai terobosan, mulai dari pemangkasan prosedur hingga kebijakan "diskresi".
Jaminan presiden terkait risiko hukum terhadap kebijakan diskresi telah dirumuskan sedemikian rupa melalui perpres ini. Dalam hal terjadi hambatan dalam proses percepatan pembangunan proyek strategis nasional dimungkinkan untuk menggunakan diskresi sesuai Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), berdasarkan alasan-alasan obyektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, serta dilakukan dengan itikad baik dan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan (pasal 28).
Ada dua hal fatal yang berpotensi menjadikan proyek strategis nasional sebagai ladang korupsi. Pertama, penggunaan diskresi tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan. Kedua, menempatkan "penyalahgunaan wewenang" sebagai bagian dari diskresi.
Tindak pidana korupsi
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sangat jelas bahwa penyalahgunaan kewenangan adalah bagian dari unsur tindak pidana korupsi. Namun, dalam perpres/inpres ini Presiden justru memberikan "proteksi hukum" dengan menggunakan kepolisian dan kejaksaan sebagai alat untuk "melokalisasi" penyalahgunaan diskresi sebagai pelanggaran administratif. Penegak ditempatkan sebagai "front desk" untuk meneruskan pengaduan masyarakat terkait penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang untuk diteruskan kepada pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah (pasal 31).
Dalam tahapan tertentu, kebijakan ini memang sengaja ditujukan untuk mengebiri tugas-tugas penegakan hukum. Dan pada saat yang bersamaan, diakui atau tidak, Presiden telah menciptakan peluang impunitas baru bagi para koruptor.
Dengan situasi semacam ini, pemerintah, khususnya Presiden, harus segera merevisi kebijakan terkait pelaksanaan proyek strategis nasional, termasuk di dalamnya mengambil langkahlangkah taktis agar proyek strategis nasional tidak justru menjadi bancakan baru bagi para politisi, birokrasi, dan pebisnis korup.
REZA SYAWAWIPENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 April 2017, di halaman 7 dengan judul "Korupsi Proyek Strategis".