Korupsi (Politik) Tebang Pilih
Tidak biasanya bekas wakil presiden sekaligus Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Hamzah Haz berbicara tentang korupsi,
Tidak biasanya bekas wakil presiden sekaligus Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Hamzah Haz berbicara tentang korupsi, apalagi tokoh yang satu ini selalu hati-hati dalam mengeluarkan statement. Namun, pada perayaan hari ulang tahun partai politik berlambang Ka'bah itu (Minggu, 5 Februari), dia tampil beda dengan pernyataan kritisnya terhadap langkah kebijakan pemberantasan korupsi yang tengah marak dilakukan di negeri ini. Menurut dia, pemberantasan korupsi yang dilakukan sekarang ini bersifat tebang pilih, ditujukan kepada mereka yang melakukan korupsi kecil-kecil saja.
Pernyataan itu kontan direspons oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang hadir dalam acara itu bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla. Presiden merasa terpukul dengan pernyataan itu sehingga perlu segera menunjukkan sejumlah kasus yang menjadi korban kebijakan pemberantasan korupsinya selama setahun lebih memimpin negeri ini.
Walaupun motivasi dan nuansa politik akan selalu ada dalam ucapan seorang politikus ulung, Hamzah tentu saja juga punya data dan argumen kuat sehingga perlu menyampaikan itu secara terbuka. Semuanya bisa menjadi fakta yang juga tak terbantahkan.
Presiden Yudhoyono sebenarnya tak perlu lagi meminta data tentang sejumlah kasus indikasi korupsi terabaikan yang dijadikan dasar Hamzah menyatakan sikapnya. Soalnya, sudah ada file di kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, ataupun kepolisian. Hanya, kalau pihak-pihak pemegang file sekaligus pemilik otoritas berkeputusan untuk memprosesnya atau tidak, tak ada satu pihak pun di luar mereka yang bisa berbuat apa-apa. Singkatnya, semua pihak harus pasrah menjadi penonton dalam proses seleksi kasus indikasi korupsi yang dilakukan penyidik.
Kalau Hamzah berada pada posisi Yudhoyono, tentu saja kekurangan yang dilakukan dalam pemberantasan korupsi sekarang ini akan menjadi bagian dari prioritasnya. Saya membayangkan Hamzah akan terus meminta pihak kejaksaan dan kepolisian langsung menangani sejumlah kasus tersebut. Sebaliknya, kalau saya jadi Yudhoyono, saya sudah pasti akan langsung meminta Hamzah mempresentasikannya kepada saya dan semua jajaran yang terkait dalam pemerintahan (terutama kejaksaan, kepolisian, KPK, dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dalam rangka memperoleh data yang valid. Tentu tak akan cukup kalau hanya saya meminta data kepada Hamzah.
Namun, lagi-lagi kalau saya jadi Yudhoyono, apabila sejumlah pihak yang memiliki otoritas penanganan kasus-kasus korupsi itu ternyata memang bersikap pilih kasih dalam menjalankan tugasnya, langsung akan saya nonaktifkan sekaligus saya proses secara hukum sebagai pejabat pemerintah yang menoleransi korupsi. Soalnya, bukan mustahil, jajaran kejaksaan, kepolisian yang terkait, KPK, dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadikan mereka yang terindikasi terlibat korupsi itu sebagai proyek empuk-nya untuk memperkaya diri dengan membagi-bagi harta haram itu.
Namun, itu hanyalah berandai-andai. Tak mungkin Hamzah akan menempati posisi Yudhoyono, apalagi saya. Hanya, kita berharap agar Presiden Yudhoyono bisa menggunakan kritik dan masukan atas kebijakannya sebagai input untuk kemudian melakukan koreksi secara mendasar atas langkah-langkah yang diambilnya selama ini. Presiden tak boleh bersikap resisten terhadap segala kritik yang konstruktif karena setiap kritik merupakan bagian dari solusi.
Yang terpenting diingat Yudhoyono, secara teoretis, sikap resisten merupakan ekspresi nyata keengganan untuk berubah. Sementara itu, untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik atau untuk melakukan pemberantasan korupsi secara lebih sistematis dan berkeadilan, haruslah terus-menerus mendengar suara stakeholder bangsa ini, terutama mereka yang peduli dengan upaya membangun pemerintahan yang bersih (clean government).
Implementasi agenda pemberantasan korupsi memang tidaklah dilakukan secara partisipatif (bottom up) sebagaimana implementasi program pembangunan. Untuk mewujudkan agenda ini, diperlukan figur yang memiliki derajat integritas dan komitmen kuat, yang dilakukan mulai pemaksaan secara politik dan hukum dari atas. Figur dimaksud harus terbebas dari kepentingan dan jebakan dari kekuatan politik tertentu yang sudah memiliki akar dan berada dalam jeratan gurita konspirasi. Yudhoyono memang, kita percaya, merupakan salah seorang yang tepat untuk itu. Hanya, apakah ia juga bisa melepaskan diri dari jebakan kepentingan para aktor pelaku masa lalu dan masa kini yang memiliki jaringan politik kuat? Selain itu, apakah mereka sudah memiliki hubungan dengan para penegak hukum yang masuk jaringan konspirasi itu?
Pertanyaan terakhir ini sebenarnya hendak menjelaskan keberadaan korupsi politik (political corruption) yang bisa menjadikan pihak penentu kebijakan terjebak dan tak berdaya dalam melakukan pengusutan kasus-kasus korupsi. Inti dari korupsi politik, mengacu pada S. Guhan (1997), adalah penyalahgunaan jabatan oleh seorang pejabat publik yang terkait dengan jaringan partai politiknya di luar; segala kebijakannya cenderung memberikan keberuntungan kepada pihak-pihak yang menjadi dukungan politiknya.
Pada saat yang sama, di antara sesama pelaku korupsi terjadi upaya saling melindungi, saling memahami, atau saling menoleransi, sehingga sulit untuk berlaku adil dalam menangani kasus korupsi yang terjadi. Kekuatan politik yang menjadi kendaraan bersama pun haruslah selalu terisi bensinnya dengan dukungan dana dari hasil penyalahgunaan jabatan yang sedang diduduki. Jaringan korupsi politik yang saling melindungi ini sudah pasti bukan saja mereka yang incumbent, melainkan juga mereka yang sudah retired.
Kalau di antara para konco itu berada dalam jaringan kekuasaan, sudah pastilah akan selalu muncul kesulitan untuk mewujudkan pemberantasan korupsi yang benar-benar berkeadilan. Ketika suatu kasus korupsi hendak diungkap oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang peduli, pastilah jalannya tak akan mulus, tak akan langsung direspons, apalagi diproses. Soalnya, tempat melaporkannya adalah lembaga penyidik yang juga dikuasai oleh konco sang koruptor yang melakukan itu. Bahkan yang kemudian dipersulit adalah mereka yang melaporkan kasus korupsi itu: diminta melengkapi datanya, diminta untuk jadi saksi, dan macam-macam alasan.
Padahal sebenarnya, ketika suatu instansi memegang otoritas untuk menyelidiki dan menyidik, kewajiban merekalah menindaklanjuti kasus yang dilaporkan oleh masyarakat itu. Soalnya, memang mereka sudah memperoleh alokasi pembiayaan dari pemerintah. Parahnya lagi, dalam konteks masyarakat kita, pemberantasan korupsi juga secara psikologis terhalang oleh budaya masyarakat harmoni. Budaya ini mengajarkan agar pola hubungan sosial damai-damai saja, dan menghindari konflik di antara para elite dalam menjalankan tugasnya. Padahal pemberantasan korupsi memerlukan ketegasan figur untuk mengambil sikap sehingga konflik psikopolitik sudah pasti akan selalu menyertainya.
La Ode Ida, Sosiolog dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 13 Februari 2006