Korupsi Petahana
Menarik membaca hasil jajak pendapat Kompas terkait status para kepala daerah (petahana) yang ingin mencalonkan diri lagi dalam pemilihan kepala daerah.
Mayoritas publik menilai bahwa ada potensi penyalahgunaan fasilitas negara (76,3 persen), penyalahgunaan jabatan (72,4 persen), dan penyalahgunaan anggaran/kebijakan (69,5persen) yangsangat mungkindilakukan oleh petahana (Ko m p a s , 22/8). Potensi penyalahgunaan ini diantisipasi pemerintah dan DPR dalam revisiUndang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi tersebut berisi klausul bahwa calon kepala daerah mengundurkan diri sejak pendaftaran bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang masih menduduki jabatannya (Pasal 58 Huruf q UU No 12/2008).
Mundurnya petahana adalah sejak pendaftarannya sebagai calon kepala daerah. Namun, ini ternyatadimaknai berbedaoleh Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-VI/2008 membatalkan Pasal 58 Huruf(q) UU No 12/2008 danmenyatakan bahwa pasalitu bertentangandengan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi berpandangan syarat mundur bagi petahana menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) atas masa jabatan kepala daerah selama lima tahun dan sekaligus menyebabkanperlakuan taksama Menarik membaca hasil jajak pendapat Kompas terkait status para kepala daerah (petahana) yang ingin mencalonkan diri lagi dalam pemilihan kepala daerah.
(unequal treatment) antarsesama pejabat negara. Putusan ini tentu saja harusdianggap benarsebelum ada putusan hukum yang sama guna membatalkannya.
Wacana bahwa calon kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tidak sedang menduduki jabatan yang sama kembali digagas oleh DewanPerwakilan Daerah (DPD) dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah. Halini tidakterlepas dari fakta bahwa hampirsemua petahana memanfaatkankekuasaandan kewenanganuntukkepentingannya (Kompas, 16/8).
Korupsi Pilkada
Undang-undang hanya memaknai petahanajika kepaladaerah atau wakil kepala daerah mencalonkan diridalam pemilihanumum kepaladaerahberikutnya. Seharusnya petahana juga mencakup semua jabatan publik yangberpotensi padapraktik penyalahgunaan kekuasaanuntuk kepentingan calon tertentu.
Dalam konteks yang lebih luas, korupsi sesungguhnyaharus dimaknai sebagai bentuk penyalah gunaanwewenang publikuntuk kepentingan pribadi. Hal ini menjadisangat pentingagartak ada ruangkosong atauwilayah abu-abu untuk mendefinisikan korupsi.
Pilkadamenjadi tempatyang sangat rawanterjadinya praktik penyalahgunaan kekuasaan. Jika ditelisiklebih lanjut,praktikpenyalahgunaan kekuasaan oleh petahana dapat dikategorikan dalam dua bagian.
Pertama, penyalahgunaankewenangan dalamhal pembuatan keputusan. Modusnyabisa bermacam-macam, seperti menggunakan program dan anggaran dalam APBD untuk kepentingan salahsatu partaipolitik,menggunakan jabatandan kewenangan untuk memengaruhi bawahan dan koleganya, hingga penggunaandana taktisuntuk partaipolitik ataumasyarakat tertentu yang tidak terkait kedinasan.
Kedua, penyalahgunaan fasilitas jabatan. Modusyang sering terjadi, misalnya,penggunaan mobil dinas dan biaya perawatan untuk kepentingankampanye, rumah dinasdan perlengkapannya untuk menunjang kegiatan kampanye, hinggamenggunakan forum-forum tertentu seperti rapat dinas, kunjungan kerja ke daerah, dan pembagian sembako murah yang dibiayaiAPBD. Intinya, semua kegiatan pemerintah dimanipulasidan diarahkan sebagai kampanye terselubung.
Semua praktik penyalahgunaankekuasaan tersebutakhirnya menjadi bumerang bagi pelaksanaandemokrasi ditingkatlokal. Pilkada kerapberujung pada sengketadi MahkamahKonstitusikarena pelanggaranbegitu masif terjadi. Putusan untuk melakukan penghitungan suara ulang hingga pemungutan suara ulangakhirnya menjadipilihan dengan konsekuensimembengkaknya anggaran.
Batasi Petahana
Penyalahgunaan kekuasaan ini tentu hanya bisadilakukan oleh calonkepala daerahyangmemiliki akseskekuasaan yangsangat luas. Petahanamenjadi aktor yangpaling seringmelakukan praktik tersebut.
Maka, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan untuk meminimalkan praktik penyalahgunaan kekuasaan,terutama oleh petahana.
Pertama, penting untuk merumuskan syarat yang lebih ketat bagi siapa sajayang memiliki jabatan publik untuk mencalonkan diri dalam pilkada. RUU Pilkada yang sedang digarap saat ini menjadi pintu masuk yang paling baik untukmerumuskan syarat tersebut. Hal yang paling penting adalah bagaimana membuat rumusansyarat untukmembatasi petahanaagar tidakmenggunakan kekuasaannya.
Kedua, di tingkat penyelenggarapilkada, baikKomisiPemilihan Umum daerah maupun panitia pengawaspemilu, hendaknya melakukanpengawasan secara maksimal.Penyalahgunaan kewenangan dalampengambilan keputusan danpenyalahgunaan jabatan seharusnya bisa diusut sebagaibentuk pelanggaranpilkada atau bahkan dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Penyalahgunaan wewenang publik baik itu dalam konteks anggaran maupunkeputusan yang menguntungkan pribadi ataukelompok tertentudalam rumusan UU Tindak Pidana Korupsi sebetulnya telah terpenuhi. Hanyasaja, kendalanyaadalah kemampuan penegak hukum untuk menggiringnyasebagai tindak pidana korupsi.
Penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pada awal pemilihan padahakikatnya tidak hanya merusaksistem demokrasi, tetapi jugaberkontribusi menanamkan benih-benih korupsi di tingkat lokal.
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Tulisan ini disalin dari Kompas, 25 Agustus 2011