Korupsi Peradilan Anak Cucu Tubulus
Perdagangan putusan hakim adalah sejarah korupsi paling tua. Dalam sejarah Kekaisaran Romawi yang penuh skandal dan intrik, korupsi senantiasa mewarnai kenaikan dan kejatuhan para kaisar. Walau penyuapan hakim secara terorganisasi baru muncul saat Pericles menyeret rivalnya Kimon, jenderal dan negarawan masyhur Athena, ke pengadilan pada 463 SM.
Ini bukan berarti pembenaran historis dan kultural atas realitas judicial corruption, yang nyaris tak terjamah. Sebab, bagaimanapun, pertukaran uang dan kekuasaan dalam sejarah bangsa mana pun, sejak organisasi kemasyarakatan mulai dikenal, tidak pernah diterima, dan senantiasa dikutuk.
Hanya, memang, korupsi tidak pernah bisa ditaklukkan karena pengaruhnya begitu kuat, dan hukumannya selalu lebih rendah dari benefit yang ditawarkannya. Koruptor tidak pernah merasa mencuri karena mereka tidak membuat larangan yang harusnya mereka buat. Koruptor tidak pernah merasa takut karena aparat hukum sudah memperoleh keuntungan darinya.
Sifat metastasis korupsi peradilan itu pengaruhnya lebih gawat dari yang dibayangkan. Korupsi telah menyerang hampir seluruh sistem sosial dan negara yang paling utama. Sehingga, kebenaran dan kejahatan tampak tidak memiliki batas-batas wilayah yang jelas di bawah aturan yang layu. Kekuasaan dan keadilan, seperti zaman Yunani kuno, jatuh ke tangan mereka yang berharta.
Keadilan menjadi ukuran mata uang. Sengketa hukum bisa dirundingkan mulai di tangan pengacara, polisi, jaksa, hingga hakim. Jika tidak berhasil mempengaruhi hakim di pengadilan pertama atau banding, di MA ada jasa yang bisa membantu agar perkara jatuh ke tangan anggota majelis hakim favorit. Bunyi putusan bisa fluktuatif sesuai dengan transaksi. Kesaksian Susan Rose-Ackerman mencatat, putusan pengadilan di sini selalu dimenangkan the highest bidder. Meski ia tidak secara tegas mengatakan gedung pengadilan telah di-ruilslag jadi balai lelang.
Sebab-musabab korupsi peradilan sering didalihkan pada standar gaji yang rendah, sistem rekrutmen dan karier yang kolutif, dan sistem pengawasan internal dan sanksi yang tidak berjalan. Sistem administrasi pengadilan yang tidak transparan juga sering berbuah manipulasi putusan hakim. Adapun sistem kontrol eksternal, seperti mekanisme praperadilan, menjadi tak berguna di tangan hakim yang korup.
Hanya memang harus dicatat, korupsi dan keterpurukan dunia hukum kita justru bertalian dengan masalah politik. Era kegemilangan penegakan hukum pada tahun 1950-1959, saat para pencuri dan koruptor tak berkutik, roboh seketika, saat Presiden Soekarno mengikrarkan Dekrit Presiden.
Kejaksaan Agung, yang dihormati saat itu, seketika kehilangan pengaruhnya ketika Mr. Soeprapto dicopot dari kursi Jaksa Agung karena dinilai Presiden Soekarno tidak sejalan dengan agenda revolusi. Dan Mahkamah Agung, simbol penting trias politica, juga sekonyong-konyong menghamba pada penguasa.
Sejak itu dunia peradilan kita kehilangan kehormatannya, dan belum ada tanda-tanda akan pulih dalam waktu dekat. Tiga kali pengangkatan hakim agung di MA sejak era reformasi, untuk mengganti mereka yang pensiun, belum juga mengubah keadaan. Beberapa putusan MA dalam kasus Tommy Soeharto, Akbar Tandjung, atau PT Taspen, misalnya, malah lebih buruk dari putusan pengadilan di bawahnya. Bagaimana bisa mengoreksi polisi, jaksa, dan hakim di bawahnya kalau hakim MA lebih parah kualitasnya. Bukankah ini suatu indikasi sistem seleksi hakim agung oleh Ketua MA dan DPR bermasalah?
Dalam catatan sejarah, belum pernah ada hakim kotor yang dijatuhi hukuman. Kendati Undang-Udang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, misalnya, memberikan kewenangan yang sangat besar kepada Ketua MA dan Menteri Kehakiman menguras hakim busuk. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pernah mencoba menyentuh hakim agung yang dilaporkan memeras pencari keadilan. Tapi, sebelum tugasnya selesai, lembaga itu keburu dibubarkan oleh MA sendiri dengan alasan legalitas.
Memang, hakim yang paling busuk sekalipun tak akan pernah merasa gentar menyalahi prosedur dan memelintir kaidah-kaidah hukum, sekaligus memamerkan hasil curiannya, selama mereka sadar tak akan ada yang mengadili mereka selain dirinya sendiri. Arwah Hostilius Tubulus, yang dijatuhi hukuman seusai menjual keputusannya dalam pengadilan pembunuhan (142 SM), barangkali boleh merasa iri dari liang lahatnya yang gelap dan lembap, karena anak cucunya bernasib lebih baik. (Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch)
Tulisan ini diambil dari majalah Tempo, No. 14/XXXIV/30 Mei-05 Juni 2005