Korupsi Penyelenggaraan Haji

Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis (22/5/2014), secara mengejutkan menetapkan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun 2012-2013.

KPK menduga Suryadharma Ali menggunakan dana haji untuk membayari pejabat Kementerian Agama dan keluarganya naik haji serta melakukan penggelembungan harga (mark up) katering, pemondokan, dan transportasi jemaah haji.

Ada banyak celah
Penetapan Menteri Agama sebagai tersangka korupsi jelas sangat ironis. Menteri Agama yang seharusnya panutan bagi pranata pemerintahan dan masyarakat justru tersandung kasus korupsi.

Suryadharma Ali adalah Menteri Agama kedua yang tersandung kasus korupsi terkait penyelenggaraan haji di Kementerian Agama (Kemenag).  Sebelumnya Menteri Agama periode 2001-2004, Said Agil Husin Al Munawar, juga tersangkut korupsi dalam pengelolaan dana abadi umat yang berasal dari setoran haji, sebesar Rp 275,9 miliar. Pada 2006, Said Agil dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi dan dihukum penjara selama 5 tahun.

Aroma korupsi terkait penyelenggaraan haji sesungguhnya bukan hal yang baru. Pada 2010, KPK pernah melakukan kajian dan menemukan sejumlah titik rawan korupsi pengelolaan ibadah haji yang dikelola Kemenag. Komisi anti korupsi ini juga memberikan 48 rekomendasi yang harus dibenahi oleh Kemenag agar tidak terjadi lagi peluang korupsi dalam penyelenggaraan haji. Sayangnya tak semua rekomendasi tersebut dilaksanakan oleh Kemenag.

Lalu, pada 2013, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melansir adanya dugaan penyalahgunaan penggunaaan dana haji. Dari setoran ongkos naik haji (ONH) Rp 80 triliun, bunga bank sebanyak Rp 2,3 triliun diduga diselewengkan. PPATK juga menemukan dugaan transaksi mencurigakan di Kemenag senilai Rp 230 miliar yang tidak jelas penggunaannya.

Bahkan, sejak 2004, Indonesia Corruption Watch sudah mengungkapkan setidaknya ada empat celah potensi korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Pertama, pengelolaan dana setoran awal calon haji, baik yang reguler maupun khusus (ONH plus). Untuk dapat nomor antrean keberangkatan, calon haji harus membayar biaya haji yang telah ditentukan pemerintah. Jumlah setoran ongkos haji yang mencapai Rp 9 triliun per tahun dan bunga bank yang diperoleh berpotensi disalahgunakan.

Penentuan besaran ongkos biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) selama ini ditentukan bersama oleh Kemenag dan DPR. Mekanisme yang tidak transparan dan akuntabel itu menyebabkan terjadinya kongkalikong dan potensi suap-menyuap dalam menentukan biaya haji  yang cenderung naik setiap tahun.

Kedua, pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan haji. Pengadaan yang berpotensi terjadinya kolusi dan korupsi adalah pengadaan transportasi darat dan udara di Arab Saudi, katering, pemondokan, hingga asuransi untuk jemaah haji. Proses pengadaan yang tertutup cenderung membuat mereka yang dekat dengan pejabat di Kemenag dan DPR yang akan menjadi pemenang. Karena proses pengadaan yang sarat kolusi dan korupsi,  pada akhirnya berdampak terhadap pelayanan haji kepada para jemaah menjadi kurang memuaskan.

Ketiga, penggunaan dana abadi umat (DAU) yang berasal dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji. Sudah rahasia umum, DAU jadi dana taktis atau nonbudgeter di Kemenag yang sering digunakan untuk kepentingan atau kegiatan yang bersifat pribadi. Kriteria penggunaan dan mekanisme pertanggungjawabannya yang tidak jelas membuka peluang terjadinya penyalahgunaan. Tahun 2005-2006, hasil penghitungan ICW menyebutkan potensi DAU yang berpotensi  korupsi mencapai 10 juta dollar AS.

Keempat, selain tiga celah tersebut, penyalahgunaan lain yang juga muncul, antara lain, penggunaan dana haji untuk memfasilitasi kolega ataupun kerabat pejabat di lingkungan kementerian untuk menunaikan ibadah haji dan pemberian gratifikasi kepada anggota DPR yang melakukan pengawasan pelaksanaan haji di Arab Saudi.

Langkah KPK dalam mengusut kasus korupsi penyelenggaraan haji layak diapresiasi dan seharusnya dijadikan momentum dalam upaya membersihkan Kemenag dari korupsi. Upaya ini dapat dilakukan dengan aspek penindakan dan sekaligus pencegahan.

Pada aspek penindakan, selain Suryadharma Ali, KPK juga harus menuntaskan dan menjerat semua pelaku yang juga diduga terlibat ataupun menikmati praktik korupsi dalam penyelenggaraan haji. Mereka yang diduga kuat terlibat korupsi pelaksanaan haji harus dituntut seberat-beratnya agar memberikan efek jera bagi pelaku dan memberikan peringatan bagi yang lain untuk tidak melakukan tindakan serupa.

Perlu badan khusus haji
Adapun dari aspek pencegahan, penting dilakukan upaya perbaikan tata kelola penyelenggaraan haji dan sekaligus mencegah praktik korupsi serupa terulang di masa mendatang. Kemenag harus kooperatif dalam melaksanakan semua rekomendasi KPK dalam memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji.

Penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang sebaiknya tidak lagi dikelola oleh Kemenag, tetapi sudah saatnya ditangani oleh badan khusus haji yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Badan khusus haji ini nantinya harus dikelola secara profesional dan akuntabel.

Selama proses pembenahan pengelolaan haji dilakukan, perlu dilakukan penghentian sementara atau moratorium pendaftaran calon haji dan setoran dana haji seperti pernah diwacanakan KPK sejak 2012. Dengan komitmen dan dukungan semua pihak, masyarakat berharap penyelenggaraan ibadah haji di masa mendatang berjalan lebih baik dan tidak lagi tercemar oleh praktik korupsi.

Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
 

Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Juni 2014

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan