Korupsi Penyebab Robohnya Sekolah

Departemen Pendidikan Nasional akan mengucurkan dana alokasi khusus sebesar Rp 1,3 triliun untuk perbaikan sarana pendidikan, terutama merehabilitasi bangunan sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah yang memprihatinkan. Rencananya dana tersebut akan dibagikan kepada 425 kabupaten/kota di seluruh Indonesia dengan prioritas pada daerah-daerah tertinggal dan wilayah perbatasan negara (Kompas, 14 Maret 2005).

Belakangan, terkait tekad pemerintah untuk mempercepat penuntasan perbaikan bangunan sekolah yang rusak parah selama tiga tahun, jumlah tersebut kemungkinan akan ditambah menjadi Rp 3,5 triliun per tahun. Dana tersebut dimaksudkan untuk perbaikan sekitar 800.000 ruang kelas SD di Tanah Air yang tergolong rusak berat, yang secara keseluruhan membutuhkan dana Rp 12 triliun hingga Rp 13 triliun (Kompas, 4 Mei 2005).

Banyaknya gedung sekolah yang rusak-bahkan roboh-menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung bisa diselesaikan pemerintah. Menurut Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, 70 persen dari 150.000 SD negeri dalam kondisi rusak parah. Padahal, dana yang dialokasikan-baik dari pemerintah maupun masyarakat-tidak sedikit. Sebagai contoh, dari hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Solo (Jawa Tengah), orangtua siswa SD setiap tahunnya mengaku ditarik biaya untuk bangunan sekolah rata-rata Rp 150.000.

Setidaknya ada dua sebab mengapa banyak sekolah di Indonesia yang tidak layak pakai. Pertama, belum adanya pemetaan yang baik mengenai kondisi sekolah di Indonesia. Padahal, data mengenai sekolah yang kondisinya masih sehat atau sudah sakit akan sangat membantu dalam menentukan prioritas alokasi dana: mana yang harus direhabilitasi, diperbaiki, atau cukup dirawat.

Saat ini pola perbaikan gedung sekolah sepertinya masih bersifat tambal sulam. Per- baikan atau rehabilitasi baru dilakukan setelah sekolah tidak bisa lagi digunakan atau roboh.

Kedua, korupsi. Sama seperti proyek infrastruktur lainnya, rehabilitasi bangunan sekolah sangat rawan korupsi. Malah praktik korupsi sudah terjadi sebelum sekolah direhabilitasi. Menurut pengakuan beberapa kepala sekolah di Tangerang dan Garut, pengajuan proposal rehabilitasi umumnya mentok jika tidak diiringi dengan uang pelicin bagi oknum tertentu di dinas pendidikan.

Untuk menghindari korupsi dalam proyek rehabilitasi sekolah, Depdiknas memakai pola baru dengan mengucurkan dana dalam bentuk block grant. Dana langsung dikucurkan kepada sekolah penerima sehingga tidak bisa lagi disunat. Akan tetapi, pola baru pendanaan tersebut malah melahirkan pola baru pula dalam korupsi.

Model potongan dana diganti dengan uang sogokan. Dana rehabilitasi memang langsung turun ke sekolah, tetapi untuk mendapatkan dana tersebut sekolah harus melewati proses seleksi yang dilakukan oleh pejabat dinas pendidikan, baik kecamatan maupun kabupaten/kota. Pada tahap inilah biasanya sekolah yang ingin lolos seleksi mesti menyetor sejumlah uang tertentu kepada para penyeleksi.

Setelah dana rehabilitasi cair, tidak sedikit orang-orang dari dinas-terutama kecamatan-datang ke sekolah. Beragam alasan mereka, seperti menanyakan kesiapan proses pembangunan, tetapi umumnya berujung meminta jatah proyek. Selain itu, banyak pula kepala sekolah yang berinisiatif memberi uang tanda terima kasih sekaligus investasi agar sekolahnya bisa terus dipertimbangkan menerima dana proyek-proyek lainnya. Walaupun harus mengeluarkan uang sogokan dan investasi dalam jumlah banyak, kepala sekolah mengaku tidak merasa rugi.

Segala biaya yang dikeluarkan kepala sekolah untuk mendapatkan proyek diganti oleh dana yang diterima. Walaupun dalam pencairan dana melibatkan komite sekolah, biasanya tidak berfungsi banyak. Komite hanya dijadikan sebagai pelengkap persyaratan untuk mencairkan dana.

Praktik korupsi tidak berhenti pada uang terima kasih. Sisa dana kembali berkurang pada tahap pelaksanaan proyek. Pelaku utamanya berganti menjadi kepala sekolah dan kontraktor. Pola yang digunakan adalah me-mark up biaya atau menurunkan kualitas barang bangunan, misalnya membeli bahan yang berbeda mutunya dengan spesifikasi yang telah ditentukan.

Tak mengherankan jika bangunan sekolah tidak kuat bertahan lama dan setiap tahun selalu ada yang roboh. Tersedianya dana yang besar untuk melakukan rehabilitasi pun tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya jawaban. Apabila praktik korupsi belum bisa diberantas, sebesar apa pun anggaran yang disediakan tidak akan pernah mencukupi.

UPAYA pemerintah mengubah pola pendanaan dengan sistem block grant terbukti tidak cukup efektif. Seakan-akan pelibatan komite sekolah di tingkat sekolah dan dewan pendidikan di tingkat kabupaten/kota bisa dijadikan jaminan tidak akan ada lagi korupsi. Umumnya komite sekolah maupun dewan pendidikan menjadi bagian dari jemaah korupsi karena pembentukannya dilakukan oleh birokrasi.

Justru yang sering kali diabaikan adalah sosialisasi dan partisipasi masyarakat. Mulai dari Departemen Pendidikan Nasional hingga sekolah cenderung tertutup. Partisipasi masyarakat hanya ditekankan pada mobilisasi dana. Masyarakat diwajibkan ikut menyumbang rehabilitasi dan pembangunan gedung sekolah, tanpa diberi informasi berapa dana yang sudah dimiliki sekolah dan dari mana saja sumbernya. Akhirnya, dana dari masyarakat maupun pemerintah tidak jelas menguap ke mana.(Ade Irawan Program Manager Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Indonesia Corruption Watch (ICW))

Tulisan ini diambil dari Kompas, 9 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan