Korupsi Pemadam Kebakaran; Selingkuh Pengusaha-Penguasa
Kamis (7/1) siang. Sidang Pengadilan Tipikor dengan agenda pemeriksaan terdakwa pengadaan mobil kebakaran di 22 daerah, Hengky Samuel Daud, hampir berujung. Ketua Majelis Hakim Maryana menyampaikan agenda sidang berikutnya pada 14 Januari 2010 tentang pembacaan tuntutan jaksa.
Tiba-tiba, terdakwa mengacungkan tangan dan menyela. ”Mohon izin bicara,” Hengky memulainya seperti biasa dengan kata-kata formal dan sopan, lalu dia melanjutkan, ”Pada 14 Januari 1955 telah lahir seorang bayi di muka bumi ini dalam keadaan bersih.”
”Siapa itu?” tanya Maryana, dengan nada serius.
”Samuel Hengky Daud!” jawab Hengky, tak kalah serius.
Jawaban itu mengundang tawa seluruh majelis hakim, jaksa, dan para pengunjung sidang. Hengky tak hirau, dia meneruskan pernyataannya, tetap dengan nada serius, ”Saya berharap di hari ulang tahun nanti, saya dituntut bebas!”
Itulah Hengky. Terdakwa yang selalu tampil sendirian tanpa didampingi kuasa hukum ini terkesan kocak dan lugu. Namun, pria yang selalu mengenakan jaket dan celana hitam serta sepatu hitam licin, dengan perawakan gempal dan rambut tipis gaya militer, sangat ”lihai”. Hengky juga licin dan pernah menjadi buron sehingga KPK butuh waktu lebih dari dua tahun untuk menangkapnya.
Pada akhirnya, Hengky divonis 15 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti Rp 82,6 miliar subsider hukuman penjara tiga tahun. Namun, kasus ini masih jauh dari usai.
Karena Hengky, puluhan pejabat di 22 daerah terseret korupsi berjemaah dan beberapa di antaranya sudah divonis bersalah, misalnya mantan Wali Kota Makassar Baso Amiruddin Maula, mantan Gubernur Riau saleh Djasit, mantan Wali Kota Medan Abdillah dan wakilnya, Ramli Lubis, serta mantan Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan.
Beberapa penyelenggara lainnya menjadi tersangka dan menunggu sidang, seperti mantan Kepala Otorita Batam, yang sekarang Gubernur Kepulauan Riau, Ismeth Abdullah.
Kasus Hengky juga menyeret mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. Seperti disebutkan hakim dalam sidang vonis Hengky, Hari Sabarno disebut turut serta sejak awal dalam korupsi ini. Sejauh ini, Hari masih berstatus saksi.
Namun, kasus ini belum selesai. ”KPK terus mengembangkan dan bisa jadi akan ada tersangka baru,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi.
Korupsi birokrasi
Bagaimana Hengky bisa sedemikian menggurita hingga berhasil menyuplai mobil damkar di 22 daerah dan mengeruk untung Rp 228 miliar?
Semuanya bermula pada suatu hari pada September 2002, ketika Hengky menemui Direktur Jenderal Otonomi Daerah Depdagri kala itu, Oentarto Mawardi. Hengky meminta Oentarto membuat sandi berupa radiogram untuk memuluskan penjualan mobil damkar ke daerah. Oentarto sendiri mengenal Hengky dari Hari Sabarno.
Saat sidang vonis Hengky, Hakim Maryana menyebutkan, Hari yang mengenalkan Hengky kepada Oentarto agar dibuatkan radiogram itu. ”Ini ada rekanan saya tolong dibantu,” kata Maryana menirukan ucapan Hari.
Lalu, Oentarto membuatkan radiogram bernomor 027/1496/OTDA/2002 tertanggal 13 Desember 2002. Isinya, meminta kepala daerah di Indonesia untuk segera menyediakan alat damkar, lengkap dengan lampiran spesifikasi kendaraan yang harus dibeli. Spesifikasi yang hanya dimiliki perusahaan milik Hengky, PT Istana Sarana Raya dan PT Satal Nusantara.
Setelah penerbitan radiogram, Hengky beberapa kali mengikuti Hari Sabarno kunjungan ke daerah dan rapat kerja dengan kepala daerah se-Indonesia. ”Dalam rapat kerja nasional atau rapat gubernur, terdakwa hadir. Saksi Hari Sabarno memperkenalkan terdakwa kepada gubernur yang hadir sebagai rekanan pengadaan damkar dan meminta agar terdakwa dibantu,” lanjut Hakim.
Berbekal radiogram dan lampiran tersebut, Hengky ”memaksakan” dagangannya ke semua daerah. ”Dan, surat tersebut juga dibawa Hengky untuk menemui sejumlah kepala daerah agar memilih perusahaan terdakwa sebagai rekanan dan membeli barangnya dengan harga yang dia tentukan sendiri, bahkan digelembungkan harganya,” kata jaksa penuntut umum KMS Roni.
Di beberapa daerah, Hengky mengirim terlebih dulu mobil damkarnya, sebelum mengirim penawaran penjualan. Beberapa daerah yang tidak menganggarkan pengadaan mobil damkar mengubah anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan.
Tak hanya menikmati keuntungan dari hasil memaksakan penjualan barangnya ke daerah, Hengky juga mendapat pembebasan bea masuk impor sebesar Rp 10,6 miliar. Pembebasan itu diperoleh karena mobil damkar disebutkan diimpor oleh Departemen Dalam Negeri.
Kasus korupsi damkar ini, menurut Koordinator Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Fahmi Badoh, adalah contoh nyata tentang korupsi birokrasi, yaitu tindakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi/kelompok/kroni yang dilakukan oleh birokrasi berkaitan dengan pelaksanaan fungsi birokrasi yang berkolaborasi dengan pengusaha.
”Praktik korupsi damkar ini sebenarnya lazim terjadi pada era Orde Baru. Di mana pusat memiliki peran penting dalam menyetir pengadaan barang di daerah,” kata Fahmi. Hal ini senada dengan pengakuan Hengky di pengadilan bahwa dia telah menjadi rekanan Kementerian Dalam Negeri lebih dari 20 tahun dan menggunakan pola sama dalam pengadaan. Bahkan, draf radiogram yang dibuat Oentarto berasal dari format yang dimilikinya dalam proyek-proyek sebelumnya.
”Anehnya, pola ini ternyata masih terjadi di era desentralisasi keuangan pusat ke daerah. Walau aturan sudah berubah, pola korupsi pengadaan barang ternyata belum banyak berubah,” tambah dia.
Fahmi menambahkan, dalam konteks desentralisasi, sebenarnya daerah bisa menolak proyek dari pusat. ”Tetapi karena logika proyek masih dipahami sebagai logika keuntungan, mereka (pejabat daerah) menyeretkan diri. Dan nyatanya, beberapa di antaranya memang mendapat upeti dari Hengky,” kata dia.
Keppres No 18/2000 dan Keppres No 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, menurut Fahmi, masih memiliki celah disiasati. ”Di dalam keppres, yang dianggap sebagai publik hanyalah kalangan asosiasi bisnis sehingga pengawasan publik secara luas sulit,” kata dia.
Lemahnya pengawasan publik, tambah Fahmi, rentan memunculkan kongkalikong antara pengusaha serta pihak pengadaan jasa dan pengadaan lelang. ”Bahkan, beberapa kelompok bisnis biasanya ikut merumuskan anggaran dan nantinya kelompok bisnisnya yang akan mengelolanya,” kata dia.
Kasus ini memberi pelajaran berharga mengenai pentingnya melibatkan publik dalam mengawasi pengadaan barang dan jasa sehingga perselingkuhan terlarang antara pengusaha dan penguasa tak lagi terjadi....[Ahmad Arif]
Sumber: Kompas, 13 Februari 2010