Korupsi Pasar

Membaca tajuk Kompas (13/6/03) berjudul Kok Heran Ada Manipulasi Dokumen Impor saya mengiyakan. Dan, ketika saya membaca kalimat dalam tajuk, hal itu lebih hebat karena terjadi pada semua tingkatan dan dilakukan semua orang, termasuk kalangan swasta dan pengusaha, saya juga mengiyakan. Seperti bunyi tajuk itu, saya juga tidak paham mengapa banyak orang heran.

Sebagaimana diketahui, dadakannya adalah statistik impor yang tidak sesuai fakta. Apakah itu gejala baru? Tidak, ia gejala lama yang baru diungkap. Statistik adalah bahasa angka untuk menafsirkan fakta, tetapi ia bukan fakta itu sendiri. Di Indonesia, jurang antara statistik dan fakta selebar seperti jarak antara pengadilan korupsi dan fakta keluasan korupsi. Dan, perkara manipulasi dokumen merupakan soal korupsi yang luas dalam relasi bisnis-pemerintah. Cuma, dalam hal itu kita selalu terkecoh.

Dua kecohan

Kecohan pertama terjadi dalam hal definisi. Meski gejala menunjukkan bahwa apa yang terjadi menyimpang dari definisi, masih saja kita memahami korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik bagi kepentingan pribadi... yang disebabkan oleh tindakan semau gue pejabat negara (World Bank 1997).

Dengan definisi itu, dengan cepat kita lalu menunjuk aparatur negara (bahkan seluruh lembaga negara) per definisi sebagai korup. Dalam kasus dokumen impor (juga setelah menimbang faktor perbedaan hitungan), target empuk bagi penyebabnya adalah para pegawai Bea Cukai (BC). Para pegawai BC tentu bukan malaikat. Kita semua tahu cacat besar pada kinerja instansi itu.

Tentang apa yang faktual terjadi, contoh yang dimuat Kompas (12/6) mungkin berguna. Importir Indonesia membeli barang dari Jepang senilai 100.000 dollar AS. Bekerja sama dengan pengusaha di Singapura, ia masukkan dulu barang itu ke kawasan berikat Singapura tanpa kena bea masuk. Dengan kolusi, pengusaha di Singapura menerbitkan invoice bukan senilai 100.000 dollar AS, tetapi 25.000 dollar AS. Jadi, hanya nilai 25.000 dollar AS di atas kertas yang diterima petugas BC di Indonesia. Verifikasi? Dalam wawancara yang saya lakukan dengan puluhan pelaku bisnis tahun 1998, siasat meniadakan verifikasi yang sering dipakai adalah suap.

Apa status manipulasi nilai 100.000 dollar AS menjadi 25.000 dollar AS yang dilakukan para importir itu dengan atau tanpa kerja sama dengan petugas BC? Korupsi. Suap juga dengan mudah dilakukan karena kekuatan finansial bisnis. Bahkan badan seperti Bank Dunia (yang biasanya punya bias memihak bisnis) dan PBB akhirnya mengakui definisi korupsi mereka telah ketinggalan zaman. Sebabnya, ...sektor bisnis menguasai sumber daya (uang) yang tidak tertandingi kelompok-kelompok lain, seperti buruh, konsumen, atau lingkungan hidup (Human Development Report 2002).

Kecohan kedua rupanya bersifat akademis. Andaikan Anda peneliti yang mau melihat pola korupsi dalam relasi bisnis-pemerintah. Lalu Anda datang ke para pelaku bisnis membawa kuesioner yang sudah disusun rapi, atau bertanya berapa bapak/ibu harus bayar pungutan tak resmi ketika mengurus Nomor Pendaftaran Wajib Pajak (NPWP)?

Dengan mengandaikan keterusterangan, pelaku bisnis itu segera menjawab: sekian juta atau sekian puluh juta. Lalu Anda membuat kategorisasi jawaban. Seterusnya, komputer Anda menunjukkan, 67 persen, 73 persen atau 99 persen pelaku bisnis ada dalam kategori kena pungutan liar plus rincian jumlahnya. Begitulah kebanyakan survei dilakukan. Mereka yang pernah sedikit belajar filsafat ilmu-ilmu sosial akan tertawa masam.

Metode itu membantu, namun masih jauh dari statusnya sebagai indikator fakta. Pertama, premisnya berupa epistemologi satu arah. Maksudnya, korupsi dilihat sebagai soal pegawai pemerintah yang mengeruk rente dari bisnis. Kedua, pakailah sedikit saja metode wawancara-mendalam (in-depth interview), maka kita akan menemukan potret berbeda. Meski verbum (kata) tetap berbeda dengan factum (fakta), kita akan mulai melihat kompleksitas arah korupsi. Dan, salah satu pokok penting dalam kompleksitas itu adalah inisiatif, kadar tinggi, dan kekuatan uang pelaku bisnis dalam membeli banyak pegawai pemerintah dan kelompok lain di masyarakat.

Dua kecohan itu masih jarang kita akomodasi dalam mendekati berbagai kasus KKN dalam relasi bisnis-pemerintah. Tetapi, dua kecohan itu juga menunjukkan, korupsi pasar (market corruption) merupakan gejala amat luas. Fakta bahwa soal itu belum dianggap serius mungkin persis menunjukkan tertinggalnya kerja analisa kita dari gerak fakta.

Gerak fakta

Konsepsi korupsi sebagai semata-mata soal pejabat negara yang menyalahgunakan kekuasaan untuk mengeruk rente dari sektor bisnis itu sudah berlalu. Bahkan di negara-negara yang dikenal sebagai penyebar konsepsi seperti itu sedang berlangsung berbagai revisi, bukan hanya pada tataran gagasan, tetapi juga pada dataran kebijakan.

Pemicunya adalah berbagai skandal bisnis di Wall Street yang mulai meledak sejak 2 Desember 2002. Sebagaimana telah banyak diungkap, malapraktik yang terjadi berupa manipulasi akuntansi, pajak, harga saham, dan semacamnya. Skalanya mencakup bisnis-bisnis raksasa seperti Enron, Tyco, Xerox, Adelphia, Qwest, Global Crossing, WorldCom, ImClone System, Halliburton, Vivendi di Perancis, dan sebagainya.

Lalu perjalanan waktu menunjukkan, malapraktik itu ternyata lebih luas menyangkut raksasa bisnis finansial dan perbankan, seperti Citigroup, Credit Suisse, Goldman Sachs, JP Morgan, Merrill Lynch, Morgan Stanley, dan sebagainya. Sepuluh dari mereka harus membayar 1,4 miliar dollar AS karena mencuri laba (The Economist, 3/05/03). Mingguan Business Week yang biasanya menutup mata terhadap malapraktik bisnis bahkan memberi judul laporannya: The rot on the (Wall) Street: worse than you thought (12/05/03).

Apa arti semua itu bagi proses refleksi dan pembuatan kebijakan? The Economist (28/09/02) merumuskannya dengan tepat: perlawanan pada kebijakan model Keynesian sejak dasawarsa 1970-an mendasarkan diri pada keyakinan bahwa intervensi pemerintah merusak ekonomi. Akan tetapi, skandal-skandal yang terjadi di AS menunjukkan, sektor bisnis privat merusak ekonomi tanpa campur tangan apa pun dari pemerintah.

Lugasnya, korupsi meluas bukan hanya karena malapraktik aparat pemerintah (administrative corruption), tetapi juga karena korupsi para pelaku bisnis (market corruption). Dalam kaitan dengan birokrasi pemerintah, kekuatan uang yang begitu besar di tangan pelaku bisnis amat biasa dipakai membeli undang-undang, supervisi, bahkan seluruh jajaran pengadilan. Studi yang komprehensif tentang keluasan gejala ini dilakukan di 20 negara Eropa Tengah dan Timur oleh Joel Hellman dkk (2000). Mereka menamakan jenis korupsi bisnis seperti itu sebagai state capture.

Bila fakta empiris seperti itu belum juga menggerakkan kita untuk melakukan revisi atas perangkat konseptual dan kebijakan kita, mungkin karena kita masih terpenjara dalam filsafat politik yang begitu berpusat pada negara (state centrism). Lalu semua masalah kita bebankan kepada negara, sembari lupa bahwa negara hanya arena mirip ring tinju. Atau, meski sudah lebih nyata, semua soal dibebankan atau diasalkan pada perilaku pejabat negara. Tentu, ini sama sekali tidak dimaksud membenarkan korupsi para pejabat pemerintah dan dalam banyak hal pemerintah telah mirip pepesan kosong.

Apa yang mau ditunjuk adalah, sebagaimana terjadi dalam manipulasi dokumen impor, akar masalah tak seluruhnya bisa kita bebankan pada aparat pemerintah (petugas BC). Begitu pula dengan kasus-kasus seperti skandal Lippo.

Deretan skandal bisnis yang lahir dari market corruption dan state capture itu memang luas, tetapi masih saja kita menganggap gejala itu bukan korupsi. Maka yang menjadi persoalan bukan terjadinya fakta, tetapi ketertinggalan kreativitas kita dalam merefleksikan fakta. Gejala itu dinamakan epistemic lag (ketertinggalan cara pandang).

Ketertinggalan ini bisa dianggap serius, bisa juga dianggap tidak ada. Cuma, karena kebijakan publik selalu disusun berdasar diagnosa, maka kebijakan macam apa yang akan dihasilkan oleh diagnosa yang sudah ketinggalan zaman.

Rupanya ketertinggalan itu menyangkut soal lebih mendalam, yaitu soal gagasan kita tentang etika (ethics). Mungkin tidak berlebihan mengatakan, selama ini refleksi etika sosial, politik, dan ekonomi yang kita lakukan masih berpusat pada soal-soal yang menyangkut kekerasan (violence). Tentu, hal itu punya konteks pada luasnya gejala militerisme, premanisme, dan berbagai konflik yang melibatkan kekerasan. Atau, apa yang menjadi sasaran adalah lembaga dan para pelaku yang punya kekuasaan untuk melakukan kekerasan.

Cuma, dari pemikir seperti Antonio Gramsci (1891-1937) kita belajar tentang sifat ganda dari sumber, bentuk, dan sarana kekuasaan: coercion dan consent. Mungkin dari pokok ini segera tampak ketertinggalan kita. Setiap kekuasaan (coercion dan consent) yang punya dampak luas pada hidup kita per definisi kena kriteria etika sosial, ekonomi, dan politik. Pertanyaannya, mengapa manipulasi dokumen impor, membeli peraturan, menggoreng harga-saham, dan sebagainya yang tentu tidak melibatkan kekerasan dalam arti ketat masih jauh dari refleksi etika?

Pada hemat saya pokok itu sentral. Mengapa? Karena apa yang disebut market corruption tidak pernah melibatkan kekerasan. Namun, kita tahu dampaknya tidak kalah fatal dibanding tindak kekerasan. Lantaran ia melibatkan kehancuran revenue kita untuk membiayai wajib belajar, klinik Puskesmas, dan semacamnya.

Jadi, analisis, diagnosa, kebijakan, dan gerakan kita dalam mendekati soal korupsi rupanya jauh tertinggal dari gerak fakta.(B Herry Priyono Peneliti, tinggal di Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 25 Juni 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan