Korupsi Para Politikus

Korupsi yang terjadi di berbagai institusi publik hampir selalu melibatkan para politikus. Kategori korupsinya termasuk skala besar.

Sedikit sekali korupsi berskala besar tanpa menyertakan politisi. Terkuaknya anggota Komisi IX DPR yang menerima dana Bank Indonesia sebesar Rp 21,6 miliar membuktikannya.

Selain itu, terkuaknya berbagai kasus korupsi juga menyiratkan, korupsi bukan sebuah patologi dari bekerjanya sistem politik normal. Korupsi sepertinya bukan penyakit yang harus dilawan, dilumpuhkan, atau dimatikan keberadaannya. Korupsi justru terlihat sebagai metode bekerja dari sistem politik (Lay, 2006).

Sebagai metode, korupsi adalah normalitas, aturan, dan tata kerja bagi politisi dan pejabat birokrasi. Sementara itu, mekanisme yang bersih justru dilihat sebagai abnormalitas.

Pada perspektif ini, semua proses politik dalam menjalankan pemerintahan akan berujung pada kegagalan jika tidak dilakukan dengan korupsi. Alih fungsi hutan, revisi undang-undang, dan pengadaan peralatan akan gagal bila tidak disertai korupsi. Korupsi harus dilakukan jika pemerintahan tidak ingin jalan buntu.

Struktur pemaksa

Analisis bahwa lemahnya moralitas menjadi penyebab korupsi tidaklah tepat. Sebab, korupsi juga melibatkan politisi dengan partai berbasis agama yang dipersepsikan memiliki kualitas moral lebih baik.

Penjelasan budaya sebagai penyebab korupsi juga tidak relevan karena penyelesaian korupsi akan berputar-putar tidak pernah selesai. Budaya tidak statis, senantiasa bermetamorfosis. Suatu saat sebuah budaya memfasilitasi terjadinya korupsi, pada saat lain dapat mendorong terjadinya sikap antikorupsi.

Sebenarnya korupsi para politikus bersumber dari tidak terpecahkannya salah satu misteri terbesar kehidupan kepartaian kita, yaitu kelangkaan finansial untuk survavilitas partai. Ada dua kesenjangan dalam keuangan partai (S-2 PLOD UGM, 2007).

Pertama, sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai adalah tidak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga.

Kedua, ada ketidakseimbangan antara kebutuhan investasi partai dan sumber pembiayaan yang secara normatif diletakkan pada iuran dan sumbangan.

Kedua gap itu menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang dilakukan politisi. Politisi dihadapkan kewajiban mengatasi kelangkaan finansial partai agar diri dan partainya tetap bertahan. Jalan pintas yang ditempuh adalah kapitalisasi instrumen yang dimiliki politisi dalam mengendalikan perilaku eksekutif. Instrumen yang dimiliki politisi seperti fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi ditransaksikan dengan eksekutif maupun pemodal untuk mendapat rente.

Akibatnya, korupsi adalah jalan yang harus ditempuh politisi guna mengatasi kelangkaan finansial partai. Survavilitas partai dalam membiayai aktivitasnya amat bergantung pada sejauh mana politisi mampu mengapitalisasikan instrumen miliknya.

Dengan demikian, korupsi tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektivitas partai. Boleh jadi, ketika korupsi tidak dilakukan, partai politik akan mati.

Karena itu, selama misteri kepartaian tidak terpecahkan, keberlanjutan korupsi oleh politisi akan terus berlangsung. Pintu korupsi tetap terbuka, berjalan sistematis, dan senantiasa terjadi repetisi korupsi karena menyangkut survavilitas partai.

Cepat atau lambat, upaya pemberantasan korupsi yang kini gencar dilakukan akan mendapat perlawanan dari politisi secara sistematis. Politisi dan partai akan terus bersiasat dan mempercanggih metode berkorupsi agar terhindar dari jerat hukum. Partai akan senantiasa menjadi pembela dan pelindung politisi korup. Pendekatan hukum akan kembali menemukan jalan buntu saat tidak disertai upaya memecahkan misteri kepartaian.

Dilema solusi

Sayang, pilihan solusi untuk memecahkan kelangkaan keuangan partai agar bertahan tetap terjaga juga terbatas. Iuran anggota sebagai pilar sumber keuangan partai tidak berjalan baik, padahal sumber ini berpotensi mengatasi korupsi sekaligus membangun kemandirian partai.

Selain itu, sumbangan kepada partai juga sulit digunakan sebagai cara mencegah korupsi politisi karena atas nama fairness dan independensi jumlah sumbangan dibatasi. Padahal, asal sumbangan dikelola transparan ketakutan terhadap efek negatif sumbangan berlebihan dapat dicegah. Mengandalkan bantuan pemerintah untuk menopang kebutuhan partai juga tidak mungkin karena jumlahnya terbatas.

Mengandalkan survavilitas partai berbasis finansial tampaknya perlu digeser, dari berbasis besaran finansial yang diakumulasi dan didistribusikan menjadi ke arah survavilitas berbasis kepercayaan publik. Di sini produktivitas kinerja partai menjadi kata kunci. Partai harus mampu mentransformasi aspirasi dan kepentingan publik menjadi agenda kebijakan. Dengan demikian, partai tidak perlu mendekat kepada rakyat dengan uang, tetapi dengan kebijakan.

Sigit Pamungkas Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM

Tulisan ini disalin dari Kompas,7 Agustus 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan