Korupsi para kader partai; Salah Tali Jerat Korupsi
Partai politik ramai-ramai membela kadernya yang terjerat korupsi. Dengan pasal yang keliru, antara koruptor dan yang bukan jadi rancu.
LELAKI itu tersentak begitu hakim mengetukkan palu ke meja hijau. Dia beringsut dari kursi terdakwa, lalu berjalan ke luar ruang sidang Pengadilan Negeri Kota Bogor. Para pendukungnya dari PDI Perjuangan bersorak riuh dan menggotongnya ke luar halaman gedung pengadilan. Hari itu, Wakil Wali Kota Bogor Haji Mochamad Sahid seperti baru luput dari musibah. Di halaman, dia menjatuhkan keningnya ke tanah, bersujud syukur. Air matanya pun tumpah. Alhamdulillah, saya bebas, ujarnya, tiga pekan lalu.
Tiga bulan lebih Sahid mendekam di hotel prodeo Paledang, Bogor. Jaksa menuduh Sahid menggerus uang rakyat sebesar Rp 5,8 miliar. Di pengadilan, hakim memang membebaskan dia dari jeratan kasus korupsi anggaran belanja daerah. Kasus itu sendiri terjadi pada 2002, saat dia menjabat Ketua DPRD Kota Bogor 1999-2004.
Dalam kasus Sahid, jaksa melihat kejanggalan pemakaian dana penunjang kegiatan DPRD: uang reses, biaya kunjungan kerja, dan tunjangan perumahan. Soalnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000, besarnya biaya penunjang kegiatan DPRD seharusnya hanya satu persen dari Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor yang besarnya Rp 30 miliar. Artinya, dana halal bagi kegiatan anggota Dewan hanya Rp 300 juta. Faktanya, duit yang terkuras miliaran rupiah.
Pada akhirnya, Sahid memang bebas. Soalnya, peraturan pemerintah yang dipakai dalam dakwaan jaksa telah dibatalkan Mahkamah Agung. Walau begitu, jaksa penuntut umum Bazatulloh Telaumbanua tak hilang semangat. Dia mengajukan banding ke Kejaksaan Tinggi. Apalagi, putusan hakim itu baru putusan sela. Materi korupsinya tetap, ujarnya. Kalau berkas dakwaan sudah dibereskan, Sahid masih bisa terancam masuk bui di pengadilan banding nanti.
Mendengar ancaman itu, kening Sahid berkerut. Saya sudah bebas, terserah apa kata Jaksa, ujarnya sengit. Banding, kata dia, bukanlah soal. Semua dana penunjang DPRD sudah dipakai sesuai dengan anggaran. Rezeki itu juga sudah dibagi rata ke semua anggota Dewan. Memang, sejumlah wakil rakyat sempat menggigil waktu perkara itu masuk ke pengadilan. Bahkan ada yang mengembalikan duit itu ke kejaksaan. Jumlahnya sekitar Rp 1 miliar. Sekarang, mau dibawa ke mana duit itu oleh kejaksaan? kata Sahid.
Di Blitar, Jawa Timur, nasib serupa menimpa pejabat top daerah itu. Bupati Blitar Imam Muhadi terpaksa masuk bui tiga bulan lalu. Dia dituduh terlibat korupsi Rp 95 miliar. Empat bawahannya, pejabat teras Kabupaten Blitar, sudah lebih dulu dibetot Kejaksaan Negeri. Selain diperiksa, harta empat pejabat bawahan Muhadi itu juga disita jaksa, termasuk empat mobil mewah dan dua sepeda motor Harley Davidson.
Dalam perkembangan pengusutan, ada rekening atas nama Kepala Bagian Keuangan Krisanto di sejumlah bank swasta dan pemerintah bernilai puluhan miliar. Proses pengusutannya sendiri masih berjalan sampai sekarang. Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Blitar Sriyono, Muhadi menghabiskan dana APBD dengan surat fiktif. Dia mengeluarkan Surat Perintah Membayar Giro tanpa lewat prosedur Surat Perintah Pembayaran dan Surat Keputusan Otorisasi. Sama seperti Sahid dari Bogor, Muhadi adalah kader PDI Perjuangan di Blitar.
Tentu ini membuat pusing pejabat partai moncong putih itu di Jakarta. Markas besar mereka di Lenteng Agung pun bergerak. Kasus mirip-mirip begitu rupanya sudah berjangkit di banyak daerah. Maka, pada Selasa pekan lalu, sekitar 120 kader bermasalah dari sekujur negeri dipanggil. Mereka adalah anggota DPRD provinsi dan kabupaten 1999-2004. Kini mereka kembali terpilih atau loncat karier ke jabatan eksekutif.
Selama empat jam, rapat itu membahas siasat hukum menghadapi serangan tuntutan korupsi. Trimedya Panjaitan, Ketua Forum Pembela Demokrasi Indonesia, organ bantuan hukum milik PDI Perjuangan, mengatakan, Forum Pembela mencoba menelisik perkara yang menimpa kader partai. Tujuannya membuat kasus posisi dan pendapat hukum untuk pembelaan. Partai membela koruptor?
Trimedya menolak disebut begitu. Kalau betul mereka korup atau maling, selain sanksi pidana, pasti akan dapat sanksi partai, ujarnya. Menurut dia, banyak tuduhan korupsi ke kader mereka tak didukung fakta kuat. Itu sebabnya, kata dia, PDIP memeriksa kembali sejumlah kasus yang menimpa kadernya. Kami teliti apakah kader itu betul bersalah atau dizalimi, ujar pengacara yang juga anggota DPR RI itu. Kalau bersalah, mereka akan dicarikan pengacara. Kalau dizalimi, Kami akan bela secara politik.
Menurut Trimedya, selama ini partainya mendengar banyak laporan dari daerah soal permainan dalam penanganan kasus korupsi. Kata dia, tuduhan yang dialamatkan kepada kader partainya hanya bersifat terapi kejut. Bahkan sering kasus itu dijadikan barang dagangan oleh kejaksaan di daerah. Ada polisi dan jaksa yang minta uang kepada mereka jika mau dibebaskan, ujarnya. Dia menegaskan, kasus itu memang sulit dibuktikan. Menurut dia, faktanya memang terjadi begitu.
Kegelisahan itu pun sampai ke pucuk pimpinan partai. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Soetjipto turut mengernyitkan dahi. Soalnya, sewaktu turun ke daerah, dia menerima banyak laporan kader bermasalah. Korupsinya kok rombongan, ujarnya. Soetjipto mencium ada yang tak beres. Apalagi, menurut dia, banyak kasus yang tidak layak dengan tuduhan korupsi.
Misalnya, kata Soetjipto, bekas Ketua DPRD Bali, I.B.P. Wesnawa, yang dituduh korupsi bersama anggota Dewan lainnya berkaitan dengan pemakaian dana anggaran daerah Bali sebesar Rp 50 miliar. Tuduhan korupsi bagi kader mereka itu, kata Soetjipto, termasuk kelewatan. Soalnya, Wesnawa terkenal hidup sederhana. Pakai telepon genggam saja satu kemewahan buat dia, ujarnya. Belum lagi, tutur Soetjipto, ada kader miskin yang juga dituding korup. Si kader terpaksa menjual semua hartanya untuk pendekatan ke aparat (lihat Partai kami melindungi koruptor? Gombal itu).
Soetjipto menyimpulkan, kasus yang menjerat kader mereka itu akibat cara pandang aparat kejaksaan dan kepolisian. Penegak hukum itu, kata dia, rupanya main pukul rata. Banyak kasus dibidik pakai Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000. Peraturan itu mengatur kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD. Padahal, peraturan itu bertentangan dengan UU Nomor 22 Tahun 2003. Peraturan itu sudah dibatalkan Mahkamah Agung pada 2002, ujarnya. Jadi, jaksa tampaknya salah pakai tali menjerat korupsi.
Bukan cuma PDI Perjuangan yang tercekik perkara itu. Partai Golkar pun rupanya punya masalah sama. Ketua Bidang Hukum dan HAM Partai Golkar Muladi mengatakan, Partai Beringin sudah menerima permintaan bantuan hukum dari 10 sampai 15 DPRD. Yang sudah kita bantu Medan, Sumatera Barat, Cirebon, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat, katanya.
Meski begitu, kata bekas Menteri Kehakiman itu, Golkar tak gelap mata dalam membela kader. Kalau memang salah, kita minta diadili secara fair, ujarnya. Golkar, kata dia, sudah menyiapkan 50 pengacara top plus saksi ahli. Bagi yang salah, partai itu cuma memberi bantuan hukum agar sesuai prosedur. Tapi, kalau kader tak bersalah lalu dijerat tudingan korupsi berdasarkan PP 110, maka, Akan habis-habisan kita bela (lihat Kami akan Bela Mereka Habis-Habisan).
Muladi, melihat pangkal soal ini adalah kerancuan pandang. Misalkan, kata dia, anggota Dewan dan Pemerintah Daerah membuat peraturan daerah yang secara hukum sah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tapi, belakangan mereka dituntut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 110. Padahal, peraturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 22. Apalagi, Mahkamah Agung sudah membatalkan peraturan pemerintah itu. Tuntutan itu seharusnya batal demi hukum, ujarnya. Undang-Undang Nomor 22 itu pun sudah diperkuat Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004. Aturan lama secara otomatis tak berlaku lagi.
Meski begitu, Golkar tak akan menutup mata kalau ada kejahatan yang dilakukan kader mereka. Misalnya, kader yang betul-betul tergelincir kasus manipulasi, mark-up, atau dana fiktif. Itu jelas korupsi, kata Muladi. Untuk menjeratnya, kata dia, bukan memakai PP 110, melainkan langsung pakai Undang-Undang Antikorupsi.
Tapi, mengapa jaksa tetap nekat memakai peraturan usang itu? Pertanyaan inilah yang menggelitik Komisi II dan III DPR RI. Kasus ini lalu naik ke parlemen. Dua komisi itu sepakat mengundang Jaksa Agung ke DPR, Kamis pekan lalu. Dua komisi itu bergabung karena ma-salah itu menyangkut sisi hukum dan pemerintahan daerah. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pun hadir lengkap dengan sejumlah Kepala Kejaksaan Tinggi.
Sayangnya, rapat itu berakhir ricuh. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh kelabakan, sulit menjawab serangan anggota Dewan yang tajam. Misalnya, dugaan aparat jaksa bermain politik serta aksi pemerasan bagi anggota Dewan bermasalah. Jaksa Agung tampaknya tersudut oleh serangan itu. Abdul Rahman yang terkenal bersih itu mungkin merasa jengah. Apalagi, ketika Anhar Nasution dari Fraksi Bintang Reformasi menyebut dia sebagai ustadz yang masuk ke kampung maling. Tentu, yang dimaksud maling tak lain lingkungan kerja Abdul Rahman, termasuk bawahannya.
Tentu saja tudingan itu meletikkan kemarahan para jaksa di sana. Jaksa Agung sendiri keberatan dengan perumpamaan Anhar itu. Dia mohon pernyataan itu dicabut. Siapa maling di sini? Buktikan di pengadilan, katanya berapi-api. Sejumlah bawahannya pun menggeram. Jaksa Agung Muda Pengawasan Achmad Lopa sampai menggebrak meja. Tidak bisa (Anhar) ngomong seperti itu. Yang kriminal siapa? katanya.
Suara-suara protes dari para jaksa kian bising. Seorang jaksa dari Aceh nyaris tak bisa mengendalikan diri. Karena suasana panas, Ketua Komisi III Teras Narang segera menghentikan rapat itu tanpa kesimpulan apa pun. Belakangan, kasus itu justru menyenggol soal sikap jaksa Agung yang tak tahan kritik.
Ketua DPR RI Agung Laksono, misalnya, mengingatkan pesan Presiden saat melantik para menteri dan pejabat tinggi yang harus siap menerima segala kritik dan saran. Kericuhan itu pun, kata Agung, sudah disampaikannya ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden belum menanggapinya, ujar Agung, Jumat pekan lalu.
Sebelum soal itu dibawa ke parlemen nasional pun, partai politik sudah bergerak di daerah. Dalam kasus Bupati Blitar, misalnya, Wakil Sekretaris PDI Perjuangan Jawa Timur Kusnadi mengatakan sudah lebih dulu membentuk tim advokasi ketimbang markas besarnya di Jakarta. Mereka menegaskan tak akan melakukan intervensi politik dalam membela kader bermasalah. Apalagi, melakukan tekanan ke pengadilan. Pembelaan hukum oleh partai pun adalah sah. Sesuai anggaran dasar, ujarnya.
Lepas dari soal kericuhan itu, hukum memang rawan jika bercampur dengan politik.(Nezar Patria, Widiarsi Agustina, Andari K. Anom, Deffan Purnama (Bogor), Dwidjo U. Maksum (Blitar), Yuswardi A. Suud (Jakarta))
Sumber: Majalah Tempo, No. 52/XXXIII/21 - 27 Feb 2005