Korupsi Migas, Kartel Misteri yang Harus Ditembus

Kasus dugaan suap mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini, hanya satu partikel kecil di antara banyak dugaan penyimpangan yang tak pernah terungkap. Namun, kasus ini dapat menjadi pintu masuk membongkar mafia migas tanah air.

Dugaan penyimpangan industri migas merupakan cerita lama. Karakter industri migas yang tertutup, eksklusif, dan rumit, menjadikan praktek korupsi migas sulit dibongkar. Firdaus Ilyas, peneliti ICW, mengatakan, “Kita selalu menemukan dugaan-dugaan penyimpangan, baik administratif maupun yang berpotensi merugikan negara. Hulu maupun hilir, sektor migas sangat rawan penyimpangan dan korupsi.” Firdaus menekankan bahwa ini termasuk Pertamina, BP Migas (sekarang SKK Migas) dan Kementerian ESDM sebagai pengelola. 

“Pertanyaannya, dari sekian banyak penyimpangan, dugaan-dugaan ini, apakah terselesaikan? Misalnya masuk ranah tindak pidana korupsi, kejahatan kehutanan, pencucian uang?” tanya Firdaus.

Apalagi, roses industri migas Indonesia sangat besar. Setidaknya, menurut Firdaus, ada dua aspek besar. “Gross revenue (pendapatan minyak) sektor hulu (upstream) mencapai 60 miliar dolar, ini sekitar 600 triliun rupiah. Kemudian,  biaya operasional (cost recovery) sekitar 15-16 miliar dolar, antara 150 – 160 triliun rupiah.”Akumulasi perputaran uang dalam industri migas nasional di atas 1.000 triliun rupiah per tahun. “Ini kita belum menghitung Pertamina, PLN, dan PGN.” 

Berkaitan dengan kasus dugaan suap Rudi Rubiandini dan Kernel Oil, Firdaus menyampaikan, “Kernel Oil ini katanya trader terdaftar pada SKK Migas. Pasti terdaftar juga di Petral atau Unit Niaga Pertamina.”

Ada beberapa ‘teori’ yang berkembang mengapa Kernel Oil diduga menyuap Rudi. “Salah satu teori, ada uang panjer untuk membeli otorisasi. Kami coba menelusuri seberapa besar ukuran Kernel. Dari hasil penelusuran kami, ada sekitar 11 kontrak niaga baik itu minyak mentah maupun kondensat yang diberikan ke Kernel pada 2010 sampai 2013.” 

Ade Irawan, peneliti ICW, mengakui bahwa kasus ini punya pola seperti terdapat dalam teori-teori korupsi. “Korupsi terjadi karena ada diskresi antara pembuat kebijakan ditambah tata kelola yang buruk. Ini membuka ruang transaksi antara yang punya kewenangan penentuan harga, dan mereka yang mencari laba.”

Setidaknya, ada tiga persoalan utama yang melanggengkan korupsi di sektor migas, yaitu: birokrasi yang tidak efisien, karakter industri migas Indonesia, dan ketiadaan kepemimpinan yang mumpuni. 

 “Tata kelola dan KKN adalah persoalan utama. Indikator paling gampang, setiap tahun BPK punya temuan inefisiensi pengelolaan migas seperti penggelembungan duit (mark up) dan fiktif. Artinya, tata kelola tidak berubah karena kita tidak memperbaiki substansi kelembagaan. Kita hanya memangkas kewenangan lembaga dengan pemisahan hulu dan hilir. SKK Migas hanya jadi wasit: ‘Silakan Anda pukul-pukulan, tapi lepas dari national interest’,” ujar Firdaus sedikit berkelakar.

Karakter industri migas Indonesia sangat tertutup dan ekslusif, termasuk soal harga dan pengelolaan. Ditambah tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat. “Perputaran uang di industri migas sangat besar. Apalagi, ini soal isu ketahanan nasional. Ini amanat konstitusi dan bisnis yang strategis, menguasai hajat hidup orang banyak.” Pada tahun 2000-2007, ada 190 triliun rupiah potensi kerugian negara. “Dari mana asalnya? Prinsip bagi hasil, produksi, harga, dan cost recovery,” ujar Firdaus.

Firdaus menyambung, “Siapa sih yang paham industri ini? Wartawan desk ekonomi dan energi, saya yakin juga tidak terlalu paham seluk beluknya. Dari jaman Ibnu Sutowo sampai sekarang, migas dikelola dengan spirit tertutup, eksklusif, dan sangat teknis. Yang paling paham, adalah pihak-pihak yang terkait langsun seperti Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan Pertamina. Kondisi-kondisi ini membentuk ekosistem dalam industri migas kita.”

“Setelah RR ditangkap – apa berhenti di RR, atau dikembangkan lebih lanjut? Kita bisa melihat pos-pos dan unit-unit lain. Tidak hanya Kementerian/Lembaga (K/L) tapi juga BUMN,” jelas Firdaus. “Kalau kita bicara penyimpangan, umumlah. Revenue-nya besar. Kita bicara pendapatan, volume, dan harga. Untuk jenis minyak yang sama, dijual 3 bulan lagi, ICP-nya berubah, bisa lebih tinggi, atau rendah. Sayang yang mengerti ini hanya pihak-pihak yang terkait langsung.” 

Firdaus menjabarkan beberapa temuan kekurangan penerimaan negara. “Pertama terkait pajak, 2,5 triliun duit pajak terkait dengan tax grading. Audit BPK dan BPKP pada 2010 itu 580 juta dolar. Lebih dari 5,8 triliun rupiah masuk daluarsa. Kemudian LKPP misalnya, yang seharusnya jadi milik negara itu masih masuk ke KKKS. Ini diselesaikan di tahun berjalan atau tahun depan? Sayang kita menganggapnya sebagai angin lalu.”

Dalam konteks pengawasan, ada nilai-nilai ketidakwajaran, inidikasi mark up, yang tidak sesuai dengan PP 29/2010. Firdaus memberi contoh, “BP Migas ini sudah sangat fantastis. Misalnya kita asumsikan, dalam setiap kelebihan cost recovery 1.000 rupiah, paling tidak negara rugi 600-850 rupiah. Kalau kita pakai CPI, 800- 900. Anda bayangkan ini terjadi terus menerus dan berulang. Apakah ini akan jadi obyek pemeriksaan, atau hanya business as usual?”

“Kesimpulan temuan BPK pada 30 Juni 2010, BP Migas tidak punya monitoring terintegrasi untuk anggaran dan mekanisme persetujuannya. Mereka juga tidak punya data berapa yang sudah dibayarkan,” jelas Firdaus, mengatakan bahwa ini baru sekelumit kecil jaringan kartel industri migas nasional. 

“Kemudian, mengapa trader atau kartel menjadi sesuatu yang sistemik? Karena sifatnya tertutup. Kedua, margin (keuntungan) yang sangat besar. Karena secara fisik, trader hanya dilakukan via online dan telepon. Punya data seller, buyer. Trader hanya menghubungkan. Kantor Petral hanya seukuran ruko dengan staf 10 orang. Untuk pemain-pemain kecil, 2-3 orang sudah bisa trading minyak. Sekali kargo bisa 2-3 miliar dolar. Itu kalau marginnya 1 dolar. Bagaimana dengan margin 20-30 dolar? Bagaimana kalau kita bisa memasukkan puluhan juta per barel? Ini m endorong maraknya kartel atau mafia.” jelas Firdaus.  

“Ada celah besar dalam niaga migas. Jika terbukti tejadi pelanggaran UU dan ada kerugian negara, bisa dikenakan sisi pidananya. Misalnya korupsi,  pencucian uang. Kita mendapatkan pembelajaran soal dugaan-dugaan penyimpangan migas di luar negeri—siapa sih yang tidak terlepas dari pidana? Exxon, Chevron, BP, di Amerika, Amerika Latin, dan Afrika? Tapi, di Indonesia, kita lebih mengedepankan unsur politik bisnis untuk menyelesaikan persoalan,” tukas Firdaus prihatin.

Industri migas semakin diperparah dengan tidak adanya kepemimpinan yang mumpuni. “Bisnis migas berkaitan erat sekali dengan politik. Kekuatan politik mana yang tidak ada di suplai BBM dan lain-lain?” tanya Firdaus. 

Menurut Firdaus, mau tidak mau Jero Wacik, dalam konsep kelembagaan yang terpusat, harus mengambil tanggung jawab ini. “Jero sebagai Menteri ESDM harusnya mengundang BPK dan KPK untuk menegakkan hukum. Harusnya ia proaktif meminta BPK atau BPKP memeriksa dengan menyeluruh. Kalau dia bicara tanggung jawab politik, ya resign saja!” tegas Firdaus. 

“Satu, Jero Wacik tidak punya kompetensi. Dulu ada Pak Wid, sayang umurnya pendek. Jero Wacik harus evaluasi industri migas kita. Klarifikasinya jangan ‘Oh no lah dolar itu ditemukan di K/L’. Mestinya secara kelembagaan, ia mengambil tanggung jawab.”

“Dalam konteks SKK Migas, kasus ini dan judicial review UU Migas harusnya jadi pemicu perbaikan pengelolaan industri migas. Berikan saja entitas kelembagaan. Pertamin-B, kalau namanya tidak mau Pertamina. Tapi entitas kelembagaanya BUMN. Atau namanya SKK Migas, ya monggo saja. Toh SKK Migas ini temporer, hanya supaya bisnis tetap berjalan. Tapi apakah lembaga ini paling tepat? Tidak. Lembaga paling tepat adalah yang membawa roh UUD.” kata Firdaus. 

Kedua, menurut Firdaus, langkah ini harus dikebut. “Untuk masukan revisi, dibahas bersama-sama.Karena kita adalah bagian dari rent-seeking (perburuan rente—red) industri migas.”

Firdaus menyampaikan beberapa rekomendasi. “Memang kita harus mengelola industri migas sendiri. Pemerintah harus respon cepat. Sebelum ada lembaga baru, KKKS akan tetap berurusan dengan SKK Migas. Yang penting bagaimana pemerintah dan DPR menjalankan amanat konstitusi. Pemerintah dan DPR juga harus membuat UU baru, karena UU Migas yang 2001 sudah hilang semua. Kelembagaan hilang, semuanya hilang. Kalau tidak, kita akan terus menemukan polemik yang sama.”

Firdaus mengakui ia “bersyukur” dengan momentum tangkap tangan Rudi Rubiandini. “Harapannya, ini bisa jadi pintu masuk korupsi di industri migas kita. Kita berharap kasus ini diungkap sampai ke sisi trader, harga, dan penegakan hukum. KPK harus menjadikan ini entry point sebagai dugaan korupsi dalam SKK Migas,” tutupnya.

Unduh hasil penelusuran dugaan penyimpangan SKK Migas di sini.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan