Korupsi Mengalir sampai Jauh

BUNG Hatta benar, korupsi telah menjadi budaya bangsa ini. Karena itu, wajar jika kian hari kian banyak pelakunya. Sebagai sebuah kultur, masuk akal jika betapa sulitnya memberantas penyakit yang amat menyengsarakan ini.

Akan tetapi, kita tidak boleh menyerah. Pembongkaran terhadap praktik-praktik busuk itu tidak boleh padam. Sebab, sekali genderang perang terhadap korupsi melemah, bangsa ini akan kian tersungkur.

Kita memang benar-benar kaget karena korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja. Benteng agama, inteligensia tinggi, dan latar belakang akademis, bisa tidak berarti apa-apa. Uang ternyata telah menyilaukan siapa saja. Bisa menggoda orang berwajah suci atau mereka yang bertampang kriminal. Namun, sekali lagi, perang terhadap korupsi harus terus ditabuh.

Berbagai kasus dugaan korupsi yang kini mengemuka membuktikan bahwa moralitas para pejabat publik kita memang sangat rapuh. Sebut saja kasus dugaan korupsi dana abadi umat yang menyeret mantan Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar. Kita tidak pernah bisa memahami seorang menteri agama bisa amat ngawur memakai uang yang bukan miliknya.

Juga dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum yang menyeret sang ketuanya, Nazaruddin Sjamsuddin. Dugaan yang sama kini tengah dibidikkan ke Mahkamah Agung (MA). Pengacara pengusaha Probosutedjo menyebut Ketua MA Bagir Manan diplot menerima suap Rp5 miliar. Said Agil, Nazaruddin, Bagir Manan adalah orang-orang yang amat terpelajar, yakni para guru besar.

Kasus teranyar yang terungkap adalah dugaan korupsi di Departemen Pertanian senilai Rp733 miliar. Penyelewengan uang negara itu terjadi pada kurun waktu 1999 hingga 2004. Yang menarik, dugaan korupsi ini diungkapkan oleh kalangan dalam, yakni Inspektur Jenderal Departemen Pertanian Zainal Bahruddin. Zainal telah melaporkan dugaan korupsi itu kepada Kejaksaan Agung beberapa hari lalu.

Mantan Menteri Pertanian era Megawati Soekarnoputri, Bungaran Saragih, merasa amat terpukul dengan dugaan korupsi itu. Ia mengatakan dugaan korupsi itu membuat bulu kuduknya merinding. Ia mengatakan jika terjadi korupsi di masa ia menjadi menteri, mestinya berbagai-bagai lembaga audit seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah melaporkannya.

Bungaran Saragih benar. Namun, itu jika kita hidup di sebuah negeri yang sudah amat tertib hukum. Sedangkan di negeri ini, semuanya bisa diatur. Inilah republik penuh anomali. Bukankah independensi kinerja BPK juga kita ragukan?

Jika saja seluruh proses audit itu berjalan dengan benar, mestinya berbagai korupsi di berbagai institusi negara sejak awal bisa terdeteksi. Dalam kasus dugaan penyelewengan dana abadi umat yang menyeret Said Agil, bukankah BPK diduga ikut menerimanya?

Karena itu, pemerintah sudah saatnya mengevaluasi secara total lembaga-lembaga pengawasan dan audit yang ada. Jangan-jangan lembaga-lembaga itu telah berubah menjadi institusi yang justru harus diawasi secara ketat.

Tulisan ini merupakan editorial Media Indonesia, 10 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan