Korupsi, Korporasi, dan Kebijakan Publik
Jika diselisik, kasus ini sebenarnya termasuk grand corruption, korupsi dalam skala besar. Korupsi, dalam bahasa Desta (2006), sebenarnya dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu definisi yang berpusat pada jabatan publik, definisi yang berpusat pada pasar, serta definisi yang berpusat pada kepentingan publik.
Hal yang dilakukan Sanusi sangat dekat dengan korupsi dalam definisi yang berpusat pada kepentingan publik, yaitu pola korupsi dapat terjadi ketika seorang pemegang kekuasaan yang memiliki tanggung jawab untuk melakukan sesuatu, kemudian akibat diberi uang atau hadiah yang sebenarnya tidak diperkenankan, mendukung atau mengambil tindakan yang sesuai dengan keinginan orang yang memberinya hadiah. Perbuatannya tersebut merusak kepentingan publik (Frederich, 1966).
Hal yang dilakukan Sanusi diperkirakan berkaitan dengan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi DKI Jakarta 2015-2035 serta Rencana Kawasan Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.
Kebijakan publik telah dijual demi kepentingan tertentu. Kebijakan publik yang dibuat ialah pesanan korporasi yang menginginan sesuatu berjalan sesuai dengan keinginan mereka.
Karena itulah, KPK telah menetapkan tiga tersangka setelah melakukan operasi tangkap tangan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Mereka ialah Sanusi sebagai penerima, Presiden Direktur PT Agung Podomoro Ariesman Widjaja sebagai pemberi, dan karyawannya berinisial TPT sebagai perantara. Isu korupsinya tentu ialah hal yang sudah sangat kental. Dalam hal tertangkap tangan, sudah sangat sulit bagi siapa pun yang tertangkap tangan untuk menghindar dari tanggung jawab hukum yang ada.
Kasus korupsi tentu saja hal yang harus ditangani dengan serius. Namun, yang tak kalah menarik untuk dipikirkan ialah problem lingkungan hidup yang melatari kasus tersebut. Dalam kasus ini, punya keterkaitan erat dengan bos perusahaan properti dan reklamasi yang dilakukan di teluk Jakarta.
Ada problem serius di dalamnya, karena menjadi semacam ‘masalah dua kali lipat’.
Masalah yang pertama tentu saja ialah kegiatan dan ide di balik reklamasi itu sendiri serta bagaimana itu digunakan pihak-pihak tertentu untuk mengakumulasi modal dan kekayaan di balik ide reklamasi. Selalu ada pertarungan gagasan di balik reklamasi, yakni antara isu kerusakan lingkungan hidup dan banjir yang mengancam Jakarta, serta ide tentang bisnis reklamasi yang mendatangkan keuntungan.
Artinya, inilah hal yang harus didudukkan sedari awal dalam kasus ini. Apakah kebijakan publik yakni reklamasi yang sedang diusung oleh negara memang merupa kan kebijakan publik yang benar berguna dan penting bagi negara ini. Jika hal itu sudah terjawab, baru kemudian diperiksa apakah proses keputusan negara di balik proses reklamasi sudah dipenuhi secara administratif dan benar, termasuk tentang siapakah yang sebenarnya memiliki kewenangan penentu untuk melakukan zonasi wilayah berkaitan cita-cita reklamasi. Hal yang sebenarnya tak boleh dibalik logikanya. Semisal dengan mengatakan bahwa hanya karena sudah dilakukan sedari dulu, ini kebijakan yang dilanjutkan sebagai bagian dari kebijakan yang sudah dilakukan dari dahulu.
Karena dalam pengambilan kebijakan publik, include di dalamnya ialah evaluasi dari kebijakan publik tersebut.
Siapa pun yang memiliki kuasa atas kebijakan itu, evaluasi menjadi penting dengan mendudukkan kembali isu besar yang ada dan menjadi pemetaan dalam pengambilan langkah berikutnya. Jangan sampai isu logika formal hukum kemudian mengaburkan fakta kebijakan reklamasi yang akan menguntungkan atau hanya akan merusak. tai yang sering kali menjual ide Partai Gerindra yang masih bersih dari kasus korupsi. Namun, kasus ini makin menunjukkan tesis yang menyatakan partai dan aktor-aktor di dalamnya sebagai predator dalam gerak bangsa ini makin memperlihatkan faktanya.
Penangkapan Sanusi merupakan potret besar bagaimana partai dan petinggi partai secara jamak menggunakan sarana partai untuk merebut kekuasaan dan kemudian memperdagangkan kekuasaan itu melalui kewenangan yang dimilikinya, salah satunya dalam membuat kebijakan publik.
Artinya, tagihan besar tentu saja dikembalikan ke partai-partai yang sering kali menggunakan sarana itu bukan untuk perbaikan negara, melainkan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Petinggi partai yang korup memperlihatkan betapa rentannya partai dalam godaan memperdagangkan kekuasaan.
Dalam hal ini, sulit untuk ditolak adanya gerakan-gerakan belakangan yang mencoba melakukan independenisasi jabatan publik dari bau partai politik. Gerakan Joint (Jogjakarta Independent), yang mau mengusung calon independen bagi jabatan wali kota di Yogyakarta, misalnya, menjadi bahasan menarik yang memperlihatkan kemuakan publik kepada perilaku partai yang main-main dengan kekuasaan.Artinya, inilah saat bagi partai untuk berbenah. Gerakan independenisasi ini janganlah dipandang sebagai deparpolisasi karena secara logika demokrasi dan ketatanegaraan mustahil menegasikan peran partai. Model ini harus dimaknai sebagai teguran buat partai untuk berbenah.
Publik sudah bosan dan jemu dengan kondisi partai yang bermain dengan kewenangannya. Maka harus ada tawaran konsep yang mumpuni untuk kembali membuat partai menjadi menarik dan menjanjikan dalam proses demokrasi dan ketatanega raan.
Menangani korupsi kebijakan Kasus ini sesungguhnya merupakan ujian yang baik untuk KPK jilid mutakhir kali ini. Apa kah mereka mampu menangani kasus nya secara baik dan berperan sebagai `pemberantas korupsi’ dan tidak hanya sebagai ‘pemadam korupsi’. Ada beda yang besar di antara kedua konsep itu.
KPK hingga saat ini masih sering kali berpola ‘pemadam korupsi’ yang menangkapi dan melakukan upaya pro justitia atas suatu pelanggaran hukum. Mematikan api korupsi yang tengah berkobar, tapi masih sering kali gagal untuk membangun potret pemberantasan yang punya resep merasuk hingga ke akar-akarnya.
Tantangan bagi KPK tentu saja ialah dengan memberikan peta yang besar di balik kasus ini. Seperti yang dituliskan di atas, bukan hanya dalam kasus jualan kewenangan penyusunan perda, melainkan juga hingga kongkalikong besar di balik permainan yang mungkin ada dalam proses reklamasi. KPK harus memberikan peta indikatif yang besar dan lebar betapa pentingnya sektor permainan antara korupsi, korporasi, dan kebijakan publik diselesaikan.
KPK punya tanggung jawab besar untuk memola itu. Hal itu bisa dimulai dengan memetakan permainan antara penjual kepentingan dan pembeli kepentingan. Penjual kepentingan tentu saja DPRD yang rasanya dalam kasus ini sangat mungkin untuk dilakukan secara berkelompok dan bukan individual semata.
Melacak dan memetakan ialah langkah yang baik untuk memperlihatkan kelompok penjual kewenangan ini, termasuk tentu saja pihak pembelinya. KPK bahkan harus dengan lantang menyebutkan apakah ini memang permainan korporasi besar di balik upaya pembelian kebijakan publik. Artinya, inilah saatnya bagi KPK dan para pemerhati hukum kembali melakukan pengayaan perihal pertanggungjawaban korporasi di dalam kasus korupsi.
Kita sudah punya aturan tanggung jawab pidana korporasi, tetapi masih sangat jarang dipakai dan dipergunakan, padahal sering kali terlihat dalam aroma pidana korporasi.
Kasus kejahatan kerah putih korupsi ialah separuh peta jalan untuk menghilangkan kejadian serupa terulang. Inilah saatnya untuk menyelesaikannya. Dalam kasus ini, tentu saja kebijakan reklamasi itu, permainan petinggi partai politik serta politisasi kebijakan publik dan korporasi nakal yang merusak negara. Kita semua menanti penyelesaiannya.