Korupsi KJRI johor; Prihatna Merasa Jadi Korban Sistem dan Kebijakan Atasan
Mantan Kepala Subbidang Imigrasi Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Johor Bahru, Malaysia, Prihatna Setiawan, merasa sebagai korban akibat menjadi pelaksana dari pembuat dan penentu kebijakan. Ia pun merasa menjadi korban karena sistem penanganan tenaga kerja Indonesia bermasalah di Malaysia ternyata tak ditunjang dengan adanya dana operasional.
Itu diungkapkan Prihatna saat membacakan nota pembelaan (pledoi) dalam sidang di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (10/4). Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Masrurdin Chaniago, Prihatna mengakui tidak memiliki kapasitas, berniat, atau berkehendak memperkaya diri, apalagi orang lain, lebih lagi merugikan keuangan negara.
Ia mengeluarkan rincian pengeluaran dana atas penerapan tarif dari Surat Keputusan Duta Besar RI di Malaysia Jacob Dasto yang dobel. Rincian itu adalah untuk Konjen RI Eda Makmur 222.500 ringgit Malaysia; Konjen (alm) Maryadi 152.720 ringgit Malaysia; home staf KJRI 286.940 ringgit Malaysia; staf lokal 247.936 ringgit Malaysia; operasional yang dikelola saksi Imam Windahji 1,247 juta ringgit Malaysia; dan operasional yang diserahkan pada terdakwa 2,376 juta ringgit Malaysia. Total 4,534 juta ringgit Malaysia.
Prihatna merinci pengeluaran yang ia kelola, yaitu honor untuk tiga staf lokal, uang lembur tiga staf lokal, biaya jamuan makan untuk mitra, kekurangan biaya sewa rumah, pembayaran telepon seluler, hardware dan software komputer, serta pembiayaan makan dan minum TKI tahun 2002. Pengeluaran lain, untuk tiket TKI bermasalah, safari Ramadhan, kegiatan hari besar, pembinaan TKI di Kilang dan Ladang, honor petugas pembuat surat perjalanan laksana paspor (SPLP), sumbangan, jamuan makan, biaya Hari Imigrasi, dan pembuatan paspor mahasiswa.
Prihatna tidak diam saja saat saksi Imam Windahji melaporkan pemberlakuan SK Dubes dobel itu karena berada dalam posisi dan situasi yang sulit. Sebagai pelaksana, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena kebijakan itu merupakan perintah konjen. (vin)
Sumber: Kompas, 11 April 2007