Korupsi Kepala Daerah
Korupsi kepala daerah tak kunjung berhenti. Silih berganti kepala daerah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan saat mencalonkan diri dalam pilkada pun, kepala daerah masih nekat korupsi. Tingginya biaya politik dan semakin ketatnya persaingan dalam pilkada, menjadi faktor yang mendorong terjadinya korupsi.
Modus korupsi tidak banyak yang berubah. Penyalahgunaan wewenang yang berujung pada transaksi suap-menyuap merupakan bentuk korupsi kepala daerah yang paling banyak terungkap. Kasusnya juga masih itu-itu saja, seputar kewenangan yang diperjualbelikan.
Kewenangan jabatan
Korupsi selalu berhubungan dengan kekuasaan. Korupsi kepala daerah meningkat seiring membesarnya kekuasaan kepala daerah. Besarnya kekuasaan ini nampaknya tidak diiringi dengan pemahaman utuh mengenai tugas, fungsi dan kewenangan jabatan.
Kepala daerah boleh saja merasa bahwa ia adalah pejabat politik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan politik (political appointment) secara langsung oleh rakyat. Sebagai pejabat politik, maka kepala daerah dapat membuat keputusan-keputusan politik.
Pemaknaan atas status pejabat politik ini akan keliru jika dimaknai bahwa pengelolaan pemerintahan daerah tergantung pada keputusan politik kepala daerah. Sehingga seolah-olah, pengelolaan pemerintahan disesuaikan dengan “maunya” kepala daerah tanpa pertimbangan aturan hukum.
Fenomena ini terlihat dari berbagai kasus korupsi kepala daerah yang pada umumnya semua berawal dari “kehendak” kepala daerah yang berlawanan dengan aturan hukum. Walaupun dipilih dengan mekanisme politik, setiap kepala daerah harus memahami bahwa pada akhirnya, mereka adalah pejabat pemerintahan (administrasi negara) yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi negara dalam pengelolaan pemerintahan.
Sebagai pemimpin pemerintah daerah, kepala daerah memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, mulai dari urusan keuangan sampai pada kepegawaian. Dalam hal keuangan, kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, termasuk juga dalam pelaksanaan APBD yang di dalamnya ada berbagai kegiatan dan proyek-proyek.
Kemudian dalam hal aset, kepala daerah merupakan penanggung jawab pengelolaan aset daerah. Terkait kepegawaian, kepala daerah memegang kekuasaan sebagai pejabat pembina kepegawaian yang berwenang untuk mengangkat, memindahkan dan memberhentikan pejabat di daerah. Selain itu, kepala daerah juga memiliki kewenangan dalam menerbitkan izin untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
Dapat dilihat begitu besarnya kewenangan kepala daerah. Namun, harus diingat bahwa sebagai pejabat pemerintahan, ada tanggung jawab hukum yang di pundak kepala daerah.
Tugas-tugas pengelolaan pemerintahan daerah semuanya mengacu pada aturan hukum, bukan pada keputusan politik. Sehingga adalah wajar jika kemudian kepala daerah sering diperiksa oleh penegak hukum, jika terjadi pelanggaran terhadap mekanisme hukum dalam mengelola pemerintahan. Hal ini karena konstruksi hukum pemerintahan daerah memposisikan kepala daerah sebagai penanggung jawab berbagai urusan pemerintahan.
Beragam aturan hukum mengenai pengelolaan pemerintahan, menuntut tingkat kepatuhan yang tinggi dari kepala daerah. Jika kepala daerah menundukkan diri kepada aturan hukum, maka persoalan hukum dapat dicegah sejak awal.
Namun, jika terjadi pengabaian terhadap aturan hukum, ada risiko hukum sebagai konsekuensinya. Kasus korupsi kepala daerah yang terungkap, menunjukkan rendahnya ketaatan hukum kepala daerah dalam mengelola pemerintahan.
Sumber korupsi
Tak hanya tak taat hukum, nyatanya kepala daerah justru menjadi sumber korupsi. Dari banyak kisah korupsi, kita mendengar bahwa perintah korupsi datang langsung dari kepala daerah. Misalnya, ada perintah untuk memotong sekian persen anggaran kegiatan dan setiap proyek yang dibiayai oleh APBD. Kemudian potongan tersebut disetorkan kepada kepala daerah. Atau kisah kepala daerah yang memperjual-belikan jabatan. Ada tarif yang harus dibayarkan kepada kepala daerah untuk mendapatkan jabatan tertentu.
Begitu juga dengan perizinan. Kepala daerah mematok harga yang harus dibayarkan oleh pemohon izin jika ingin izinnya dikabulkan. Pembahasan rancangan APBD juga demikian, sering kali kepala daerah memerintahkan agar jajaran birokrasinya menempuh jalan pintas dengan menyuap anggota DPRD untuk mendapatkan persetujuan.
Semua kisah tersebut menjadi bukti bahwa kepala daerah merupakan sumber persoalan korupsi di daerah. Besarnya kewenangan menjadi ladang korupsi bagi kepala daerah. Hampir semua kewenangan kepala daerah itu dapat ditransaksikan untuk meraup keuntungan pribadi.
Efek korupsi
Kepala daerah yang korup akan menimbulkan efek korupsi yang jauh lebih besar pada pemerintahannya. Birokrasi pun bisa dibuat korup dan makin memprihatinkan lagi, pemerintahan daerah akan dikelola dengan cara-cara koruptif.
Kepala daerah yang korup tentu jauh dari harapan rakyat. Kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat harusnya membawa misi pemberantasan korupsi dan mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Tanpa komitmen yang kuat dari kepala daerah, kebijakan antikorupsi mustahil bisa berjalan baik di pemerintahan daerah.
Momentum Pilkada harus digunakan oleh rakyat untuk memilih calon kepala daerah yang berintegritas dan memiliki rekam jejak yang baik. Salah satu caranya, dilihat dari komitmen dan program antikorupsi yang ditawarkan para kandidat.
Sementara bagi kandidat yang buruk rekam jejaknya, apalagi telah ditangkap oleh KPK, maka harus diberikan hukuman. Jangan pilih mereka lagi! Karena kita tidak ingin pilkada hanya menjadi ajang reproduksi koruptor.
Oce Madril, Dosen Fakultas Hukum UGM; Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 3 Maret 2018