Korupsi Kejahatan Peradaban; Berdayakan Hakim di Pengadilan Tipikor
Status korupsi di Indonesia yang dijadikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime perlu ditingkatkan menjadi kejahatan melawan kemanusiaan dan peradaban. Peningkatan status ini diharapkan mampu menyadarkan dan menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk melawan korupsi.
Demikian diungkapkan Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqqodas saat peluncuran Lembaga Bantuan Hukum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah di Jakarta, Rabu (26/9). Korupsi dinilai merusak seluruh sendi kehidupan bangsa, menghancurkan moral masyarakat, dan menimbulkan kemiskinan absolut. Korupsi juga menghambat upaya bangsa untuk meningkatkan peradaban guna bersaing dengan bangsa lain.
Korupsi bukan hanya memorak-porandakan perekonomian bangsa, tetapi juga turut merusak moral masyarakat, ungkap Busyro. Sayangnya, elite justru mengajarkan kepada rakyat untuk melakukan korupsi. Kondisi ini jelas terlihat dalam proses pemilu dan pemilihan kepala daerah. Rakyat dipaksa menerima suap dari elite agar memilih mereka.
Busyro menambahkan, korupsi terjadi hampir di semua lembaga negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Jika elemen negara sulit memberantas korupsi, seluruh elemen masyarakat harus bergerak. Namun, menggerakkan masyarakat sipil ini sulit. Kelompok agama sebagai bagian masyarakat sipil terfragmentasi.
Secara terpisah, Ketua Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina Yudi Latif mengkhawatirkan peningkatan status korupsi menjadi kejahatan melawan kemanusiaan dan peradaban hanya simbol, tanpa pernah menyentuh upaya riil pemberantasan korupsi sendiri.
Agar berhasil, pemberantasan korupsi harus dilakukan melalui kontrol horizontal antara sesama lembaga negara dan kontrol vertikal melalui pengawasan dan tekanan masyarakat madani terhadap lembaga negara.
Pemberantasan korupsi juga harus melibatkan kontrol eksternal di luar lembaga negara dan kelompok masyarakat madani. Pemberian bantuan asing harus mensyaratkan bebas korupsi, baik dari lembaga pemberi maupun penerima bantuan.
Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan simbol, tetapi perlu upaya yang konsisten, koheren, dan bersinergi, kata Yudi.
Peran masyarakat madani seperti ormas dan lembaga swadaya masyarakat, diakui Yudi, berat. Ketidakmampuan kekuatan negara dan pasar dalam memberantas korupsi membuat kelompok ini harus menanggung semua beban masyarakat. Mereka akhirnya terjebak nepotisme dan larut dalam kultur yang korup.
Ormas keagamaan harus kembali ke semangat awal pendiriannya sebagai organisasi yang berjuang membela kepentingan rakyat, tidak terjebak dalam urusan rutin dan teologis semata, tetapi harus lebih membumi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ujarnya.
Berdayakan hakim
Terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Wakil Ketua Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Binsar Gultom, berharap ada pemberdayaan hakim. Hakim yang memiliki keahlian diangkat menjadi hakim khusus.
Sekarang banyak hakim yang berpendidikan strata dua atau strata tiga (S-2/S-3). Mereka ini seharusnya lebih diberdayakan menjadi hakim khusus. Kalau tak ada kasus korupsi, mereka bisa menjalankan tugas sebagai hakim untuk perkara lain, kata Binsar, Rabu.
Jika hakim khusus diangkat dari kalangan ahli dan bertugas bila ada perkara, kata Binsar, tak akan efektif dan butuh biaya besar. Jika hakim khusus seperti ini, seperti dosen terbang. Mereka juga tidak akan fokus karena masih harus menjalankan tugasnya yang lain, papar dia lagi.
Untuk memilih hakim khusus Pengadilan Tipikor dari kalangan hakim, lanjut Binsar, Mahkamah Agung (MA) bisa bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY). Jika jumlah hakim yang dipromosikan menjadi hakim khusus kurang, bisa saja hakim ditambah pengetahuannya, kata dia.
Binsar juga menandaskan, semestinya Pengadilan Tipikor dilekatkan dengan pengadilan negeri di kabupaten/kota sehingga tidak membutuhkan biaya yang tinggi. (mzw/tra)
Sumber: Kompas, 27 September 2007