Korupsi Ke-13

Adanya gaji ke-13 bagi PNS dan TNI-Polri yang ditunggu dengan harap-harap cemas sebagian besar sudah diterima pada minggu pertama Juli 2005, walau untuk sebagian daerah mungkin baru minggu-minggu berikutnya

Tambahan rezeki tersebut ternyata juga melahirkan korupsi ke-13. Disebut demikian karena gaji ke-13 yang diharapkan utuh diterima untuk kepentingan anak-anak sekolah, misalnya, ternyata juga ditetapkan dipotong sejumlah tertentu dengan sejumlah alasan pembenaran.

Besarnya potongan mungkin bervariasi, bergantung pada golongan masing-masing atau kebijakan kepala kantor, baik tertulis maupun lisan. Oleh bendaharawan ada yang dicatat rapi sedemikian rupa seperti catatan Hamdani Amin-KPU dan yang lain mungkin dengan media kotak sumbangan yang dikenal dengan istilah susu tante (sumbangan sukarela tanpa tekanan).

Kebiasaan mengambil hak orang lain ini -karena tanpa persetujuan sebelumnya- secara sistematis sedemikian rupa dalam era pemberantasan korupsi yang dicanangkan Presiden SBY menurut hemat penulis tidak akan ada lagi, ternyata masih berlaku di banyak instansi. Kita semua patut prihatin karena korupsi (kecil) itu masih tumbuh subur.

Uang Tunai
Modus yang paling umum adalah dengan pembayaran tunai, walaupun gaji mereka selama ini dibayarkan melalui transfer ke rekening bank masing-masing. Dengan uang di tangan ini diharapkan para PNS dan TNI-Polri ini dengan ikhlas menyisihkan sebagaian rezeki nomplok mereka untuk kepentingan kantor.

Bagi PNS dan TNI-Polri yang pembayaran gajinya selama ini masih konvensional dengan uang tunai dalam amplop mungkin tidak tampak ada sesuatu yang lain. Atau, sebaliknya, sudah terbiasa kena potongan yang tidak jelas.

Gelagat tidak sedap itu segera tercium ketika terbetik kabar, misalnya, gaji ke-13 dibayarkan tunai padahal selama ini sudah terbiasa via rekening bank. Atau diberitakan ada kebijakan pimpinan terhadap gaji ke-13.

Umumnya secara lisan, namun dalam banyak kasus ada juga yang terang-terangan menerbitkan kebijakan tertulis untuk maksud tersebut. Ruar biasa, ada yang masih berani menyerempet bahaya.

Dengan pembayaran tunai diharapkan terkumpul sejumlah susu tante yang dianggap cukup untuk mendukung kebijakan pimpinan. Jika para PNS dan TNI-Polri tersebut memang ikhlas menyumbang, berarti mereka membantah sendiri dasar pemberian gaji ke-13 tersebut bahwa gaji yang dibayarkan pemerintah tidak cukup untuk hidup sebulan. Bagaimana mungkin yang tidak cukup gajinya untuk keluarga kemudian sukarela menyumbang? Atau mungkin perlu dikaji ulang hakikat gaji ke-13 itu.

Korupsi Kecil
Bisa disebut korupsi apabila uang yang dibayarkan kepada para PNS atau TNI-Polri tersebut kurang dari yang seharusnya karena langsung dipotong sejumlah tertentu oleh bendahara. Potongan gaji itulah jumlah korupsinya.

Tetapi, akan berbeda halnya jika yang dibayarkan jumlahnya utuh, namun kemudian PNS atau TNI-Polri yang bersngkutan menyisihkan sebagian gajinya untuk susu tante di atas.

Celah inilah yang diintip menjadi dana taktis. Walau tidak fantastis seperti dana taktis KPU, cukup diolah menjadi honorarium ke-13. Agar lepas dari delik korupsi itulah dalam banyak kasus gaji ke-13 dibayarkan secara tunai, utuh, tetapi dengan imbauan tertentu.

Cara paling efektif untuk memberantas korupsi kecil tersebut adalah dengan sistem transfer gaji ke rekening bank masing-masing. Jika ada yang kurang dari yang harus diterima PNS atau TNI-Polri, dengan mudah bisa dibuktikan penyimpangannya.

Namun, kenyataan di lapangan tidak semua daerah terlayani dengan jasa perbankan yang memadai untuk maksud tersebut dan bahkan tidak sedikit PNS atau TNI-Polri yang menolak cara modern tersebut karena belum merasa menerima gaji jika tidak memegang uang tunai.

Celah inilah yang acap dimanfaatkan sebagai kesempatan menggalang dana taktis, baik untuk kepentingan kantor secara umum maupun untuk yang lainnya.

Anggapan sebagai durian jatuh ini yang merangsang kreativitas pihak terkait untuk ikut campur dalam wilayah privat PNS atau TNI-Polri menjadi kepentingan umum.

Pembenaran demikian acap pula diterapkan terhadap uang pindah PNS atau TNI-Polri. Perlakuan itu bukan hanya tidak senonoh, tetapi juga salah kaprah yang segera perlu diakhiri sekarang juga.

Gaji ke-13 tersebut pada dasarnya setara dengan kenaikan gaji 8 % setiap bulan, cuma tidak pasti dibayarkan seperti halnya gaji bulanan jika APBN tidak mendukung untuk itu.

Bila disatukan sebagai komponen kenaikan gaji PNS atau TNI-Polri tentu kewajiban pemerintah itu akan melekat terus sampai PNS atau TNI-Polri tersebut pensiun dan kemudian wafat.

Karena itu, sementara waktu pemerintah lebih suka memilih pola gaji ke-13 daripada menaikkan gaji pokok PNS atau TNI-Polri. Tetapi, belakangan ini terbetik berita, konon pemerintah dan telah disetujui DPR akan menaikkan gaji pokok PNS dan TNI-Polri 20 % pada 2006 dan tetap ada gaji ke-13.

Ke depan mungkin perlu peringatan dini dari Presiden SBY melalui SMS (9949) agar gaji ke-13 yang dibayarkan tidak dipotong sesen pun dengan alasan apa pun.

Dengan demikian masyarakat, khususnya PNS dan TNI-Polri, akan semakin percaya bahwa korupsi telah berkurang. Langkah besar pemberantasan korupsi memang harus diawali dengan langkah kecil-kecil dalam pemberantasan korupsi dengan meniadakan potongan gaji ke-13.

Mari kita mulai dari diri kita, lingkungan kita, dan masyarakat di sekitar
kita. Semoga.

* Gede Eka Suryatmaja, auditor ahli madya yang bertugas pertama kali menangani kasus korupsi sebagai ketua tim ketika masih berstatus Calon Pegawai Negeri Sipil, kini tinggal di Bogor.

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 14 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan