Korupsi, Hantu yang Menakutkan
Political Will pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberantas korupsi ibarat bola salju. Hal ini seharusnya disambut baik oleh aparat penegak hukum.
Aparat penegak hukum, yaitu lembaga peradilan, kejaksaan, polisi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi garda terdepan dalam memerangi tindak kejahatan korupsi.
Korupsi ibarat virus. Menyebar ke seluruh sektor kehidupan, merasuk tanpa jenjang dari pusat hingga daerah. Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Riau Ali Husin Nasution, mengutip temuan Transparansi Internasional Indonesia (TII), Provinsi Riau menempati posisi keenam terkorup se-Indonesia.
Ini tentu saja memprihatinkan. Wajar saja, provinsi yang terhitung kaya dengan APBD 2005 sebesar Rp1,9 triliun ini tak kunjung maju.
Ali mensinyalir penggunaan APBD itu banyak diselewengkan. ''Pantas saja bila Riau tidak maju-maju karena dana pembangunannya sering menguap ke tangan segelintir orang,'' jelas Ali kemarin.
Main mata antara koruptor dan aparat penegak hukum bukan menjadi hal baru, melainkan sudah menjadi rahasia umum. ''Meski tidak terlihat secara kasatmata, aroma persekongkolannya begitu terasa,'' tegas Ali.
Ia pun kemudian menilai penyebab terpuruknya pemberantasan korupsi di Riau salah satunya disebabkan pihak Kepolisian Daerah (Polda) Riau belum serius memberantas korupsi di Bumi Lancang Kuning ini. Meski demikian, Ali masih menaruh harapan Polda Riau dapat menuntaskan kasus korupsi yang masih mengendap.
Menurut dosen Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Husnu Abadi, posisi kepolisian saat ini sedang dalam transisi paradigma lama, yang menganggap kejahatan korupsi tidak tersentuh hukum, sedangkan paradigma baru dalam pemerintah SBY berkomitmen memberantas korupsi.
Bila paradigma baru ini bisa diterjemahkan Kapolri dan menularkannya kepada seluruh kapolda, ia yakin kasus korupsi bisa dikurangi. Namun, Husnu mengingatkan dinamika politik di daerah sering mengganggu kinerja polda dalam memberantas korupsi.
Ia mencontohkan, kasus korupsi sekitar Rp900 juta yang diduga melibatkan Kepala Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Kampar pada 2004. Nuansa politis sangat kental dalam penangan kasus ini.
''Tidak terdapat unsur korupsi dalam kasus itu. Konflik politik lokal akhirnya menyeret Alfian sebagai tersangka korupsi,'' kata Husnu. Ia mengharapkan polisi tidak terjebak konflik politik lokal.
Sementara itu, tugas berat Polda Riau memberantas korupsi menurut Ketua Lembaga Adat Melayu Riau Tenas Effendi harus dimulai dari Polda Riau sendiri. Pembersihan institusi ini dari aparat polda. Mereka yang terlibat kejahatan korporasi korupsi wajib dihukum.
''Bila petinggi di Polda Riau bisa dibersihkan dari unsur kolusi dengan pihak yang bermasalah dengan korupsi, ke bawahnya akan bersih,'' kata Tennas. (Bagus Himawan/B-2)
Sumber: Media Indonesia, 6 Juli 2005