Korupsi: Etnisitas atau Mentalitas?

Penulis mendapatkan banyak sekali e-mail dari tanah air terkait dengan pernyataan Sekjen Gowa Andi W. Saputra tentang alasan Singapura yang belum bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Menurut Andi, kecil kemungkinan pemerintah Singapura menyetujui perjanjian ekstradisi karena mereka ingin melindungi pebisnis etnis China asal Indonesia yang melakukan kejahatan korupsi yang konon mencapai Rp 2 triliun.

Nyaris semua penulis e-mail mengelus dada: Apakah etnis Tionghoa sudah sedemikian jahatnya sehingga solider melindungi koruptor karena ke-China-annya? Padahal, info terbaru menyebutkan, parlemen negeri itu setuju ekstradisi (koran ini, 26 Maret 2005).

Beberapa teman lain juga merasa sangat prihatin karena ucapan Saudara Andi itu seperti mengindikasikan bahwa etnis Tionghoa memang masih ditempatkan sebagai mereka, pihak luar, dan bukan kita (rakyat Indonesia).

Ucapan Andi tersebut juga seperti membenarkan pendapat Sekretaris Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Jogjakarta Chandra Halim menjelang Imlek 2556 belum lama ini bahwa hingga sekarang masyarakat Tionghoa di Indonesia masih dibedakan dalam sekat dan pengotakan. Padahal, mereka sudah merasa menjadi bagian dari warga negara Indonesia.

Penulis sendiri mencoba meredam agar teman-teman Tionghoa tidak reaktif atas pernyataan Andi, tetapi mau memanfatkan pernyataan itu untuk otokritik agar diri kita sendiri tidak korupsi.

Kontraproduktif
Meski demikian, generalisasi bahwa korupsi hanya dilakukan etnis tertentu, semisal Tionghoa, sebenarnya hanya akan membawa kita pada hal yang kontraproduktif. Pernyataan itu malah dikhawatirkan menimbulkan ongkos sosial tinggi, sementara pemberantasan korupsi tidak pernah mencapai sasaran atau hanya sekadar berputar-putar dalam wacana yang absurd.

Antiklimaksnya, fokus untuk memberantas korupsi malah bisa bergeser dan menimbulkan masalah baru dalam relasi antaretnis, khususnya antara Tionghoa dan yang bukan. Padahal sejak reformasi 1998, relasi antara warga Tionghoa dan saudara-saudaranya yang bertenis lain di negeri ini rasanya semakin baik dan menggembirakan.

Terkait korupsi, boleh jadi benar pendapat Denny J.A., direktur Lembaga Survei Indonesia, yang pernah mengungkapkan bahwa tidak perlu ada survei untuk melihat kebangkrutan moralitas publik yang sudah amat masif di negeri ini. Kebangkrutan moral berlangsung rapi di semua level kehidupan. Tentu saja, hal itu tidak hanya melibatkan satu atau dua etnis di negeri ini. Malah, yang keterlaluan, menurut survei terbaru yang dilakukan Konsultan Kajian Politik dan Ekonomi PERC di antara kaum ekspatriat, Indonesia kembali dinyatakan sebagai negara terkorup di Asia dan menimbulkan kekhawatiran dengan larinya dana sumbangan korban tsunami (8 Maret 2005).

Nah, yang tambah memprihatinkan, saat ini tidak ada satu bidang kehidupan pun di negeri ini yang steril dari korupsi. Mari kita cermati, institusi semacam DPR yang merupakan wakil rakyat sudah ternoda oleh korupsi.

Julius Usman pernah mengungkapkan, namanya juga negara terkorup di dunia, wakil rakyatnya pun merupakan pencerminan gelar itu (koran ini, 4 September 2004). Polisi yang punya moto melindungi dan mengayomi masyarakat juga tak bebas dari jual perkara.

Kejaksaan yang diharapkan bisa menjadi motor penggerak semangat antikorupsi justru dipenuhi para tikus yang korup. Bahkan, Departemen Agama -yang ada kata agamanya itu- tak steril dari serigala berbulu domba yang doyan uang. Buktinya bisa dilihat dari paspor haji yang dipalsukan atau belum lama ini ada kasus CPNS fiktif di Kediri.

Bahkan, parpol yang konon ingin mewadahi aspirasi rakyat juga menjadi sarana bagi para kader partai untuk memperkaya diri lewat korupsi. Majalah Tempo edisi 27 Februari 2005 halaman 32 merinci korupsi yang dilakukan kader partai dari 6 partai besar (Golkar, PPP, PKB, PDIP, PAN, dan PBB).

Generalisasi
Kalau kita cermati nama-nama yang tertera di atas, semua berasal dari beragam etnis dan agama di negeri ini, mulai Aceh hingga Papua. Meski begitu, sekali lagi tentu tidak bijak jika kita kemudian mengaitkan si koruptor dengan etnisnya atau malah menggeneralisasi seolah etnis ini atau itu memang mendukung korupsi.

Jakarta serta Surabaya, misalnya, baru digelari kota paling korup pertama dan kedua di negeri ini. Meski begitu, tentu sangat naif, misalnya, menuduh etnis-etnis yang ada di dua kota itu merupakan pendukung atau pelaku tindak kejahatan korupsi.

Korupsi tidak hanya dilakukan para birokrat, tetapi juga oleh mereka yang ada di jalanan. Michael Utama, Dewan Pembina INTI (Indonesia-Tionghoa), 26 Februari 2005 menulis e-mail terkait perlakuan kejam para petugas trantib di DKI kepada para PKL. Petugas juga tak segan-segan menyita gerobak tempat dagangan para PKL. Ironisnya, konon dengan membayar Rp 100 ribu atau Rp 150 ribu, gerobak yang disita itu bisa diambil lagi oleh pemiliknya.

Melihat fakta-fakta tersebut, mudah-mudahan jika kita berbicara tentang korupsi, kita tak akan tergoda untuk menciptakan proyeksi kambing hitam atau pelemparan kesalahan pada etnis tertentu, sementara akar permasalahan korupsi di negeri ini sebenarnya tidak terkait dengan etnisitas. Sebagai homo sapiens, kita gampang tergoda mencari asal kejahatan di luar diri kita, biasanya pada orang lain, lawan politis, atau ekonomi.

Kita harus lebih percaya bahwa persoalan korupsi lebih merupakan masalah mentalitas daripada etnisitas. Hasil survei Transparansi Indonesia (TI) yang dipublikasikan belum lama ini juga menyebutkan, korupsi tidak hanya dilakukan etnis Tionghoa, tapi merupakan kolusi antara pebisnis, pejabat sipil, dan militer.(Tomy Su, koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 30 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan