Korupsi Dokumen Keimigrasian; Mantan Duta Besar Sanggah Dugaan Tetapkan Tarif Ganda
Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia periode 1995-1999, Jacob Dasto, mengaku tidak pernah menandatangani surat keputusan bernomor SK 021/SK-DB/0799, yang menetapkan tarif ganda untuk pungutan pengurusan dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar Republik Indonesia Kuala Lumpur, Malaysia.
Saya tidak merasa bertanggung jawab tentang nilai (tarif) besar itu karena saya hanya tanda tangan nilai (tarif) kecil, kata Jacob saat menjadi saksi dalam sidang dugaan korupsi pungutan liar pengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, kemarin.
Jacob mengatakan ia menandatangani SK tersebut setelah Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur saat itu, Suparba W. Amiarsa, mendatanginya pada Juli 1999. Suparba meminta Jacob, yang akhir Juli itu akan turun jabatan, membuat SK berkaitan dengan perubahan kurs rupiah, dolar AS, dan ringgit Malaysia.
Tadinya saya tidak mau dan biar pejabat setelah saya saja yang membuat, tapi Suparba bilang harus secepatnya. Lalu saya pikir, kalau itu tidak segera dibuat, kerugian negara akan besar karena pungutan masih pakai kurs rendah, ujar Jacob.
Jacob tidak mengira rancangan yang diajukan merupakan dua surat dengan sistem tarif berbeda. Ia mengaku tidak teliti membaca draf yang kala itu dibuat rangkap delapan. Menurut dia, saat itu ia hanya membaca berkas yang paling depan.
Kasus dugaan korupsi ini melibatkan mantan Duta Besar RI untuk Malaysia, Hadi A. Wayarabi al-Hadar, dan mantan Kepala Bidang Imigrasi Kedutaan Besar Suparba W. Amiarsa, yang menjadi terdakwa dalam kasus ini.
Keduanya diduga terlibat korupsi pungutan liar pengurusan dokumen keimigrasian di KBRI untuk Malaysia. Mereka terlibat dalam penerbitan dua surat keputusan yang mengatur soal pungutan pengurusan dokumen keimigrasian pada 2000 hingga 2003 yang merugikan negara RM 6,097 juta atau sekitar Rp 15,24 miliar. SHINTA EKA P
Sumber: Koran Tempo, 27 September 2007