Korupsi Di Tengah Kita

Sulit menghitung, apakah rasio antara jumlah rumah ibadah dengan penduduk Indonesia lebih kecil atau lebih besar dibanding di negara-negara lain. Makin sulit lagi, bahkan mustahil, menghitung frekuensi ritual ibadah yang dilakukan semua pemeluk agama.

Yang pasti, Indonesia termasuk masyarakat paling agamis di dunia. Yang sama pastinya, Indonesia termasuk negara paling korup di dunia. Berbagai survei, seperti yang dilakukan Transparency International, telah menegaskan kenyataan ini. Lalu, apakah ada korelasi antara masyarakat yang agamis dengan kualitas korupsi?

Korupsi dalam pengertian spesifik hanya menyangkut uang. Padahal korupsi bersifat multidimensi, bisa menyangkut segala aspek kehidupan - baik ruang publik (negara) maupun privat (swasta). Seorang pegawai yang mencuri waktu kerja untuk melakukan pekerjaan di luar bidang kerjanya, berarti juga korupsi.

Korupsi memiliki efek berantai. Bagi para pelaku ekonomi, sudah jamak diketahui bahwa nilai proyek rata-rata yang dikorupsi sekitar 30-40 persen - meskipun ada yang tingkat kebocorannya 10-20 persen, dan ada yang lebih banyak lagi hingga mencapai 60 persen. Korupsi sebesar itu membuat ekonomi biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi menyebabkan seluruh sektor yang terkait langsung dengan suatu proyek akan terkena. Jalan raya, misalnya. Karena nilai proyek dipotong 40 persen, kontraktor hanya punya dua pilihan: menurunkan SPEK (kualitas) atau lebih dulu melakukan mark up nilai proyek sebelum dipotong ongkos korupsi.

Jika pilihan pertama yang diambil, pengguna jalan yang dirugikan secara langsung. Secara tidak langsung, masa guna jalan menjadi lebih pendek sehingga biaya perawatan periodik yang dikeluarkan jauh lebih besar daripada seharusnya. Begitu pula dengan pilihan kedua. Efek berantai tindak korupsi sangat merusak.

Ketika gerakan proreformasi bergulir pada tahun 1998, timbul harapan tinggi bahwa korupsi - lebih populer dalam konteks yang lebih luas, KKN - akan hilang atau paling tidak berkurang. Kenyataannya tidak. Bahkan korupsi justru merebak ke mana-mana. Jika ukurannya angka absolut, korupsi sekarang mungkin belum mengalahkan apa yang terjadi pada masa Orba. Tapi sebaran dan frekuensinya jelas lebih tinggi.

Contoh paling nyata ialah skema otonomi daerah (otda). Para perancang otonomi daerah dulu memiliki asumsi bahwa delegasi kewenangan dan sebagian kekuasaan politik ke unit-unit kewilayahan yang lebih kecil akan meningkatkan akuntabilitas pemerintahan, khususnya pengelolaan sumberdaya lokal.

Di bawah asumsi itu, masyarakat lokal di tingkat kabupaten, misalnya, akan lebih mudah mengontrol dan mengendalikan pemerintah daerah melalui perwakilan politik mereka di DPRD kabupaten. Karena kabupaten adalah rumah bersama, maka diharapkan kontrol lebih efektif ketimbang unit kewilayahan yang lebih besar.

Tapi ternyata DPRD bukan hanya tidak mampu mengontrol eksekutif daerah (bupati), malah justru tidak mau mengontrolnya. Alih-alih DPRD mencegah atau menghentikan perampokan lokal, mereka sendiri justru menjadi perampok. Pada banyak kasus, DPRD bekerja sama dengan bupati merampok rumah bersama mereka sendiri yang bernama kabupaten.

Pengalaman menunjukkan, pemberantasan korupsi tidak bisa dilakukan segera dan serta-merta. Singapura, yang menjadi contoh terbaik pemberantasan korupsi karena dilakukan langsung oleh penguasa yang paling atas, yaitu Lee Kuan Yew, memerlukan waktu belasan tahun untuk dapat dikatakan lumayan bersih.

Karena itu, strategi yang bisa diterapkan ialah bertahap mengurangi korupsi pada tingkat pribadi. Korupsi sebuah proyek pemerintah, misalnya, dilakukan beramai-ramai melalui istilah saving atau penghematan. Tapi hasil penghematan ini tidak untuk individu pimpro saja. Pemotongan dilakukan terbuka. Hasilnya digunakan seluruh kantor.

Setelah itu, makin lama jumlah pemotongan makin kecil sehingga akhirnya (idenya) tidak perlu dilakukan lagi. Seluruh aset korupsi ramai-ramai itu diinventasikan ke sektor-sektor produktif yang keuntungannya dapat dinikmati bersama-sama untuk jangka waktu lebih panjang.

Strategi penyelesaian korupsi seperti itu secara moral memang tidak bisa dibenarkan dan kurang heroik bagi publik. Namun contoh heroik seperti ditunjukkan Lee Kuan Yew, atau hukuman mati di Cina (sudah lebih seratus orang terkena) masih sulit diharapkan di Indonesia. Tapi kenyataannya memang begitu.(Dr Hermawan Sulistyo adalah peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)).

Tulisan ini diambil dari Suara Karya, Senin, 13 Oktober 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan