Korupsi di Sektor Swasta
Tidak banyak orang yang mengetahui bahwa sektor swasta juga termasuk penyebab korupsi oleh pejabat publik. Untuk mengatur isu ini, Pemerintah Indonesia telah mengadopsi beberapa konvensi, yaitu Konvensi Uni Eropa tentang Pemberantasan Suap terhadap Pejabat Publik Asing dalam Transaksi Bisnis Internasional (1997),dan diperkuat oleh Konvensi Dewan Uni Eropa tentang Korupsi (1999).
Terakhir diadopsi dari PBB pada 2003 yaitu Konvensi Anti-Korupsi PBB (KAK PBB), yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2006. Namun, peraturan perundang- undangan antikorupsi di Indonesia tidak secara spesifik dan khusus menempatkan sektor swasta sebagai subjek hukum yang dapat dipidana.
Peraturan yang ada hanya memasukkan pengertian setiap orang, yaitu orang perorangan atau korporasi; dan sektor swasta termasuk salah satu dari pengertian korporasi. Tampak peraturan perundang- undangan antikorupsi di Indonesia telah menempatkan pejabat publik/penyelenggara negara sebagai intellectuelle dader (aktor intelektual) dalam korupsi (termasuk suap).
Sedangkan sektor swasta hanya ditempatkan sebagai “pelengkap derita”. Kini setelah ratifikasi KAK PBB, pandangan atau persepsi tersebut harus dihilangkan karena korupsi dan suap selalu melibatkan pelaku sektor swasta sebagai pemberi suap (penyuap aktif) dan pejabat publik/penyelenggara negara sebagai penerima suap (suap pasif).
Hampir dapat dipastikan bahwa 100% kasus korupsi di Indonesia adalah hasil kerja sama pelaku sektor swasta dan pejabat publik/penyelenggara negara. KAK PBB telah mewajibkan perlakuan hukum yang sama terhadap kedua golongan pelaku korupsi tersebut.
Menjerat Suap Swasta
Bagaimana regulasinya di dalam rancangan Undang- Undang Tipikor yang akan datang? KAK PBB hanya difokuskan pada perbuatan suap dan penggelapan harta benda di sektor swasta, sudah tentu ketentuan tersebut belum cukup memadai menjangkau perilaku sektor swasta yang koruptif.
Untuk melengkapinya, KAK PBB mewajibkan setiap negara menyusun regulasi terhadap internal sektor swasta.Yaitu kepatuhannya sejak pendirian korporasi, aktivitas korporasi termasuk dan tidak terbatas pada internal audit tahunan, tetapi juga regulasi yang ketat dalam pemberian keringananpajakataupembebasan pajak berganda sampai pada penghapusan pajak serta pembayaran restitusi pajak.
Semua aktivitas korporasi tersebut berdasarkan penelitian dan praktik penegakan hukum di negara maju, sering ditengarai menjadi ajang korupsi dan suap terhadap pejabat publik/penyelenggara negara.
Dalam kasus tertentu bahkan telah terbukti terjadi konspirasi (permufakatan jahat) untuk membobol keuangan negara dengan cara-cara yang tampak sekilas legal seperti praktik ‘transfer pricing’ yang sering dilakukan oleh korporasi multinasional /internasional di negara berkembang.
Sampai saat ini praktik terakhir masih menjadi perdebatan karena karakter perbuatan transfer pricing berada di wilayah abu-abu (grey-area) antara ranah hukum perdata/bisnis dan ranah hukum administratif serta ranah hukum pidana internasional.Undang-undang antikorupsi yang berlaku di Indonesia saat ini masih belum dapat menjangkau praktik tersebut.
Proporsional
Kiranya penyusunan rancangan Undang-Undang Tipikor yang akan datang seharusnya dapat menjangkau aktivitas korporasi nasional dan asing yang bersifat koruptif dan penyuapan. Langkahnya dengan menentukan secara benar dan hati-hati baik straafbar, straafmat, maupun straafmodus-nya sehingga dapat memenuhi asas lex certa demi tercapainya kepastian hukum dan keadilan dalam penegakannya kelak.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan langkah hukum untuk memasukkan korporasi dengan segala aktivitasnya ke dalam UU Antikorupsi, rentan terhadap penyalahgunaan wewenang (abuse of power),konflik kepentingan (conflict of interest), perdagangan pengaruh (trading in influence), serta bersentuhan dengan sistem politik terutama di negara berkembang termasuk Indonesia.
Dengan kata lain, kriminalisasi aktivitas sektor swasta selain berhadapan dengan kekuasaan juga jika tidak hati-hati cenderung kontraproduktif jika terjadi “overcriminalization” dan excessive penalty dalam perumusannya di dalam UU Antikorupsi. Bagaimana solusinya? Solusi untuk mencegah ekses negatif tersebut adalah dengan mengintensifkan fungsi intelijen keuangan (financial intelligence) yang selama ini dilaksanakan PPATK untuk mendukung kegiatan KPK dan kejaksaan serta kepolisian.
Intinya, tugas dan fungsi penyelidikan dalam menghadapi kasus sektor swasta teramat penting dan harus didahulukan daripada tugas dan fungsi penyidikan. Dalam konteks inilah diperlukan integritas , profesionalitas, dan akuntabilitas penegak hukum termasuk PPATK sehingga tidaklah terjadi skandal penegakan hukum seperti kasus Gayus dan sebagainya.
Korupsi/suap di sektor swasta pascaratifikasi KAK PBB memerlukan masukkan anggota KADIN dan asosiasi pengusaha sebagai pemangku kepentingan dalam transaksi bisnis nasional dan internasional. Uraian di atas bermaksud mengingatkan bahwa korupsi dan suap secara internasional implisit secara nasional kini tidak lagi menjadi “monopoli” pejabat publik/penyelenggara negara.
Kriminalisasi pelaku sektor swasta dalam Undang- Undang Antikorupsi di Indonesia bak “berjalan di atas duri” dan “memungut jarum di dalam semak belukar”. Akan tetapi, apa daya dan tidak ada kata mundur,melainkan harus terus berjalan karena jika tidak, reformasi birokrasi saja tanpa reformasi sektor swasta, secara paralel, bak teka-teki ”telur dan ayam”.
ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran (Unpad)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 7 Juni 2011