'Korupsi di Daerah Melibatkan Mafia'

Korupsi di daerah diduga melibatkan sindikasi mafia antarelite penguasa lokal, baik itu eksekutif, legislatif, maupun jajaran yudikatif.

Sindikat mafia ini ditopang oleh mekanisme yang bernama musyawarah pemimpin daerah, kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida.

Ia mengatakan hal itu ketika memimpin rapat kerja Panitia Ad Hoc I dengan Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lantai dua Gedung B DPD, kompleks MPR/DPR, Jakarta.

Rapat yang berlangsung sekitar empat jam sejak pukul 10.00 WIB kemarin membahas masalah korupsi. Menurut La Ode, penyelesaian kasus-kasus korupsi di daerah semakin sulit diidentifikasi karena adanya lobi-lobi informal tertutup antarpejabat daerah yang melibatkan penyidik.

Ia pun berpendapat, pihak aparat pemerintah yang terdiri dari Kejaksaan Agung, KPK, dan kepolisian memiliki komitmen yang rendah dalam penanganan korupsi di daerah.

Dalam percakapan dengan Media di Jakarta tadi malam, La Ode menambahkan bahwa banyak kasus korupsi yang dipetieskan di daerah sehingga masyarakat setempat menuntut agar kasus itu diselesaikan di pusat. Ini menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum di daerah, katanya.

Tragisnya, kata dia, sindikasi mafia di daerah mencoba menggiring opini bahwa kasus korupsi di daerah merupakan persoalan politik karena para pelakunya adalah kader partai politik.

Dalam rapat kerja itu, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menjelaskan, pihaknya mengajukan 269 permohonan pemeriksaan terhadap pejabat negara sebagai saksi atau tersangka. Dari jumlah itu, 134 permohonan telah disetujui. Rinciannya 30 permohonan disetujui Presiden dan 104 oleh Mendagri.

Sepanjang 2004, kata dia, terdapat sebanyak 1.367 kasus korupsi. Dari angka itu, 579 perkara telah memenuhi syarat pelimpahan penuntutan. Sebagian kasus korupsi itu melibatkan aparat birokrasi dan swasta, terutama dalam pengadaan barang.

Sedangkan selama 100 hari pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebanyak 173 tindak pidana korupsi telah dilimpahkan ke pengadilan. Tindak pidana korupsi terbanyak terjadi di Jawa Timur dengan 19 kasus.

Mendagri M Ma'ruf menambahkan, pihaknya telah memberi izin penyidikan pejabat negara yang diajukan kejaksaan dan polisi. Izin penyidikan itu untuk memeriksa 31 kepala daerah yang terdiri dari lima gubernur, lima wali kota, dan 21 bupati.

Politisi korup
Sementara itu, Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) JE Sahetapy di Surabaya, kemarin, meminta partai politik jangan membela politisi korup, tapi cukup menyewa atau menunjuk pengacara bagi politisi korup yang juga kader parpol itu.

Parpol bisa meminta pengacara yang profesional untuk membela anggota yang diduga korup, tapi parpol tak boleh ikut-ikutan membela. Tugas parpol bukan itu, karena hal itu sama dengan politisasi hukum, katanya di sela-sela Seminar Politisasi Hukum Pidana yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya.

Kader parpol yang terlibat proses hukum di daerah, antara lain Lalu Serinata (Gubernur NTB/Golkar), Djoko Munandar (Gubernur Banten/PPP), Samsul Hadi (Bupati Banyuwangi/PKB), Imam Muhadi (Bupati Blitar/PDIP), Marhadi Effendi (DPRD Sumatra Barat/PAN), dan Haskar Hafid (DPRD Kendari/PBB).

Sahetapy yang juga mantan anggota DPR dari Fraksi PDIP itu menilai langkah sejumlah anggota DPR ke Kejagung untuk membela 'teman' justru membuat masalah semakin rumit, meski hanya sekadar menjadi saksi.

Parpol itu seharusnya hanya menyiapkan dana untuk menyewa pengacara profesional bagi anggotanya yang diduga korup, tapi perkara selanjutnya diserahkan kepada proses yuridis yang berlaku, katanya.

Kriminolog dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu menyatakan parpol harus memberi teladan bahwa jika ada anggota parpol yang korup maka dia harus bertanggung jawab sendiri tanpa harus melibatkan institusi.

Tapi, saya kira Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga tak perlu melansir perppu untuk pemberantasan korupsi, karena UU yang sudah ada sudah cukup dan tinggal dilaksanakan. Kalau ada perppu, saya khawatir akan terjadi politisasi yuridis dari anggota legislatif dan eksekutif sendiri, katanya. (Hil/Ant/P-1)

Sumber: Koran Tempo, 4 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan