Korupsi Dana Kapitasi

Pemerintah telah menggelontorkan anggaran yang besar untuk dana kapitasi melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Tahun 2016, sebanyak 9.767 puskesmas dan fasiltas kesehatan tingkat pertama (FKTP) lainnya di seluruh Indonesia menerima dana kapitasi sebesar Rp 13 triliun. Pada 2017, dana kapitasi yang digelontorkan diperkirakan Rp 14 triliun. Rata-rata setiap FKTP akan mendapatkan dana kapitasi sebesar Rp 400 juta per tahun.

Besarnya dana kapitasi ini dihadapkan pada permasalahan korupsi di tingkat daerah. Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap potensi korupsi dana kapitasi di FKTP milik daerah, ada delapan kasus dalam rentang waktu 2014-2018. Kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 5,8 miliar. Jumlah tersangka terkait kasus korupsi dana kapitasi ini mencapai 14 orang.

Menariknya, meski dalam jumlah kasus dan kerugian negara kecil, tetapi korupsi dana kapitasi tidak hanya melibatkan birokrasi menengah bawah (kepala puskesmas dan bendahara), juga pejabat dinas kesehatan, bahkan kepala daerah. Jumlah kasus korupsi ini ‘terlihat’ kecil karena yang dihitung hanya kasus yang sudah sampai pada tahapan penetapan tersangka. Dari 14 tersangka, ada tiga kepala puskesmas, dua bendahara puskesmas, lima kepala dinas kesehatan, satu bendahara dinas kesehatan, satu sekretaris dinas kesehatan, satu kepala bidang layanan kesehatan, dan satu bupati.

Korupsi dana kapitasi tidak hanya melibatkan birokrasi menengah bawah (kepala puskesmas dan bendahara), juga pejabat dinas kesehatan, bahkan kepala daerah.

Pada awal Februari lalu, penangkapan bupati Jombang menjadi salah satu sorotan publik. Inna Silestyowati, pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Jombang, terlibat dalam kasus suap kepada Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko. Uang suap ini dikutip Inna dari 34 puskesmas di Jombang selama Juni-Desember 2017. Kasus ini terkait permintaan Inna supaya ditetapkan sebagai kepala dinas kesehatan definitif. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan Nyono dan Inna sebagai tersangka korupsi dan menahan lima orang lainnya.

Modus yang ditemukan dalam kasus korupsi dana kapitasi beragam. Rincian temuan antara lain terkait memanfaatkan dana kapitasi tak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (2 kasus), manipulasi bukti pertanggungjawaban dan pencairan dana kapitasi (1), serta menarik biaya dari peserta yang seharusnya telah dijamin dalam biaya kapitasi dan/atau non-kapitasi sesuai standar tarif yang ditetapkan (5).

Selain korupsi dana kapitasi, ada isu lain yang juga mencuat terkait pengelolaan dana kapitasi, yakni isu pemotongan dana kapitasi di Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Selatan; penggelapan dana kapitasi seperti di Sulawesi Selatan; dan penyimpangan dana kapitasi seperti yang terjadi di Jawa Barat pada 2014.Dari aspek penegakan hukum, kasus korupsi dana kapitasi paling banyak ditangani kejaksaan negeri (7 kasus) dan KPK (1). Minimnya kasus yang ditangani KPK kemungkinan karena keterbatasan wewenang yang dimiliki. Adapun 1 kasus yang baru terjadi ditangani KPK karena melibatkan kepala daerah.

Faktor penyebab
Ada berbagai faktor yang jadi penyebab korupsi dana kapitasi. Pertama, dana yang diterima puskesmas sangat besar. Puskesmas tidak hanya menerima dana kapitasi, juga dana Bantuan Operasional Kesehatan (BOK), dana jamkesda, dan APBD. Besarnya dana ini menjadikan pejabat pemerintah daerah tertarik mencari keuntungan. Dorongan ini juga diperkuat adanya kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah dari perencanaan hingga pencairan dana yang diterima puskesmas. Adapun pegawai puskesmas medis maupun non- medis tidak berani menyikapi pemotongan, pemerasan, atau pungutan liar karena tekanan karier dan stigma yang bisa didapatnya, juga hierarki yang kuat antara puskesmas, dinas kesehatan, dan kepala daerah.

Kedua, pengelolaan dana kapitasi puskesmas tidak transparan. Pengelolaan dana kapitasi, mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban, sepenuhnya tertutup; dikelola oleh kepala dan bendahara puskesmas. Publik tidak bisa mengakses besaran dan pemanfaatan dana kapitasi puskesmas.

Ketiga, sistem pengawasan dan pencatatan pertanggungjawaban yang belum baik. Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yang seharusnya mengawasi tidak mendapat program dan anggaran untuk pendampingan, pengawasan, maupun pemeriksaan dana kapitasi.

Keempat, belum adanya sanksi tegas terkait pemotongan, pemerasan, maupun pungutan liar untuk dana kapitasi. Hal ini terbukti dari jumlah kasus korupsi dana kapitasi yang sudah masuk tahap penetapan tersangka. Penyelewengan dana kapitasi diduga terjadi sistematis dan luas, tetapi banyak yang diselesaikan tanpa dibawa ke ranah pidana.

Terakhir, belum adanya sistem perlindungan saksi pelapor dalam pemerintah daerah. Modus korupsi terbanyak adalah pemotongan atau pungutan kepada petugas puskesmas. Mestinya banyak keluhan dan laporan dari para petugas puskesmas, tetapi ini tidak terjadi karena ketakutan dan ancaman pada kelangsungan karier mereka.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA--Spanduk yang berisi peringatan untuk menghindari pembuatan kartu BPJS Kesehatan melalui calo dipasang di depan Kantor Cabang BPJS Kesehatan Cimahi, Jawa Barat, seperti terlihat pada Rabu (27/7/2016). Pihak BPJS mengintensifkan sosialisasi pasca ditemukan kartu palsu BPJS Kesehatan di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

Meski jumlah kasus korupsi dana kapitasi tak banyak, tetapi pemerintah pusat maupun daerah sepatutnya memberi perhatian serius. Hal ini karena dana kapitasi yang dianggarkan dalam jumlah besar dan meningkat setiap tahun mengikuti jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu, dana kapitasi menjadi celah baru melanggengkan kekuasaan, terbukti dari OTT KPK di Kabupaten Jombang.

Pengawasan lebih serius dibutuhkan dalam segala aspek pengelolaan dana kapitasi, baik dari APIP maupun dari kementerian dan lembaga terkait. Pengawasan dan perhatian lebih dibutuhkan jika ingin mewujudkan cita-cita universal health coverage (UHC) di mana puskesmas menjadi ujung tombak pelaksanaan JKN.

Dibutuhkan juga peningkatan kemampuan manajemen dan keefektifan pengelolaan dana kapitasi di puskesmas. Pemerintah jangan hanya menggelontorkan uang ke daerah semata-mata mengejar  UHC tetapi tidak memikirkan kemampuan daerah dalam mengelola dana sebesar itu.

Dewi Anggraeni, Staf Divisi Kampanye Publik Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 8 Maret 2018

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan