Korupsi Dana Bansos

Seperti kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Hal ini juga diterapkan oleh para koruptor di Indonesia dalam mencari jalan dan celah melakukan korupsi.Salah satu peluang korupsi yang saat ini marak terjadi di daerah adalah korupsi alokasi dana bantuan sosial (bansos).

Dana yang sejatinya untuk kepentingan sosial kemasyarakatan itu justru digunakan untuk kepentingan segelintir orang. Dalam periode 2007–2010, anggaran bansos yang disiapkan pemerintah mencapai Rp300,94 triliun yang terdiri atas Rp48,46 triliun di tingkat daerah dan Rp252,48 triliun di tingkat pusat. Dengan alokasi yang sangat besar,dana bansos dinilai sangat rawan dikorupsi.

Kajian yang dibuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 5 April lalu menyebutkan 10 temuan perihal pengelolaan dana bansos di pemerintah daerah yang berpotensi menimbulkan praktik korupsi.Temuan KPK dibagi ke dalam dua aspek utama, yaitu regulasi dan tata laksana.

Dalam aspek regulasi, KPK menyatakan tidak ada peraturan menteri dalam negeri (permendagri) yang secara khusus mengatur pengelolaan bansos. Hal ini berdampak pada tiadanya pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun pengelolaan belanja bansos.Adapun dari aspek tata laksana ditemukan sejumlah masalah dalam proses penganggaran, penyaluran, pertanggungjawaban, dan pengawasan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I 2010 juga menemukan sejumlah penyimpangan penggunaan dana bansos di 19 provinsi yang nilainya sangat fantastis mencapai Rp765 miliar.Masuk tiga besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan potensi penyimpangan dana bansos sebesar Rp173,7 miliar,Sumatera Utara sebesar Rp148,44 miliar, dan di Jawa Timur ditemukan penyimpangan senilai Rp89,31 miliar.

Temuan terbaru ICW soal korupsi dana bansos terjadi di Provinsi Banten. Pemerintah daerah setempat mengalokasikan anggaran bansos untuk tahun 2011 sebesar Rp51 miliar. Akan tetapi dari 160 penerima dana bansos, Pemerintah Daerah Banten hanya mencantumkan 30 nama lembaga atau kepanitiaan dan tidak didukung oleh alamat yang jelas. Sisanya, sebanyak 130 penerima atau 81,3% penerima bansos,hanya ditulis “bantuan sosial daftar terlampir”.

Berdasarkan verifikasi yang ICW lakukan, pihak kepala daerah yang mencalonkan kembali (incumbent) dan kerabatnya merupakan pihak yang paling diuntungkan secara materiil atas kebijakan pemberian dana bansos tersebut. Modus korupsi dana bansos pada umumnya adalah pemberian bantuan tanpa pengajuan, pemberianbantuanmelebihi alokasi, pemotongan bantuan, tak adanya pertanggungjawaban penggunaan, dan proposal atau bantuan fiktif.

Adapun aktor atau pelaku utama korupsi dana bansos adalah kepala daerah, pejabat di lingkungan pemerintah daerah, anggota dan pimpinan parlemen daerah.Juga terlibat pengurus yayasan, panitia pembangunan rumah ibadah, lembaga pendidikan, partai politik maupun organisasi masyarakat yang menerima dana bansos tersebut. Dari sekian banyak aktor, incumbent paling sering memanfaatkan peluang ini karena memiliki berbagai akses anggaran resmi daerah dan birokrasi.

Peluang korupsi dana bansos semakin terbuka lebar karena proses penyusunan dan pelaksanaan APBD yang tertutup. Penggunaan dana bansos sesungguhnya bukan tanpa aturan. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/ 2677/SJ tanggal 8 November 2007 di dalamnya mengatur penggunaan dana bansos.

Dalam regulasi ini disebutkan bansos adalah salah satu bentuk instrumen bantuan dalam bentuk uang dan atau barang yang diberikan kepada kelompok atau anggota masyarakat. Bansos juga diperuntukkan bagi bantuan partai politik. Dalam surat edaran menteri juga disebutkan pemberian bansos harus dilakukan secara selektif dan tidak mengikat atau terus-menerus.

Terakhir Mendagri juga menerbitkan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Dana Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD. Regulasi ini menegaskan pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana hibah dan bansos. Namun kedua aturan tersebut masih dinilai mudah disimpangi karena tidak ada batasan jumlah anggaran yang disediakan dan tidak jelasnya ketentuan mengenai pengawasan serta pertanggungjawaban penggunaan dana bansos.

Berantas

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk memberantas korupsi dana bansos, yaitu melalui upaya penindakan dan pencegahan.Dari aspek penindakan, terhadap kasus korupsi dana bansos yang terjadi harus segera diproses secara hukum hingga ke pengadilan. Hal ini penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku atau terapi kejut bagi calon pelaku lain yang mencoba mengorupsi dana bansos.

Adapun dari aspek pencegahan, setidaknya ada dua alternatifyangbisadipilihuntuk menghindari terjadinya korupsi atau “perampokan”danabansos di masa mendatang. Pertama, penghapusan alokasi dana bansos dalam anggaran daerah dan nasional. Usulan ini pernah dilontarkan BPK pada 2010 lalu karena seringnya lembaga ini menemukan penyaluran bansos di daerah yang sebagian besar tidak jelas pertanggung jawabannya. BPK merekomendasikan pos anggaran bantuan sosial dihapus dan diganti dengan metode lain.

Kedua,tetap mempertahankan alokasi dana bansos dengan syarat menindaklanjuti hasil kajian KPK tentang dana bansos, khususnya pada bidang regulasi dan tata laksana. Kementerian Dalam Negeri dapat bekerja sama dengan KPK dalam membuat aturan khusus yang terperinci dan ketat perihal pengelolaan dana bansos.

Jika tetap dipertahankan, pada prinsipnya penggunaan dana bansos bukan ditujukan untuk kepentingan pejabat atau politisi sehingga harus dikelola secara tertib, sesuai dengan aturan,efektif,ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab. Juga wajib diperhatikan asas keadilan, kepatuhan, dan manfaatnya untuk masyarakat.

EMERSON YUNTHO, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW)

Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 14 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan