Korupsi dan Prospek Infrastruktur Indonesia
Tahun 2005 diharapkan akan menjadi tahun kebangkitan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Harapan itu dikukuhkan dengan penyelenggaraan Indonesia Infrastructure Summit (IIS) bulan Januari 2005. Seperti diketahui semenjak didera krisis ekonomi tahun 1997, pembangunan infrastruktur di Indonesia seperti tertidur. Kebangkitan diharapkan mampu menurunkan jumlah pengangguran dari 9,7 persen ditahun 2004 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009.
Harapan ini sangat beralasan, mengingat pemerintah juga memiliki rencana menurunkan angka kemiskinan dari 16,6 persen di tahun 2004 menjadi 8,2 persen di tahun 2009. Pemerintah berkeyakinan bahwa untuk memenuhi target tersebut harus terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dari 5 persen di tahun 2004 menjadi 7,6 persen di tahun 2009. Sehingga pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun harus mencapai 6,6 persen. Untuk itu pemerintah juga harus meningkatkan GDP (Gross National Product) dari 20,5 persen di tahun 2004 menjadi 28,4 persen di tahun 2009.
Untuk mencapai pertumbuhan GDP tersebut pemerintah masih sangat percaya dengan peran pembangunan infrastruktur. Menurut perhitungan menteri keuangan setidaknya harus ada 5 persen pembiayaan dari seluruh GDP pembiayaan. Menko Perekonomian Boediono mengatakan, pemerintah berupaya menuntaskan pembahasan empat insentif pembangunan infrastruktur sebelum pelaksanaan Infrastructure Summit tahap II, Juni 2006. Empat insentif itu akan melengkapi perbaikan iklim investasi dalam paket kebijakan infrastruktur yang beberapa waktu lalu dilansir pemerintah.
Pembangunan infrastruktur jelas memerlukan waktu yang lama sehingga pengembalian investasinya juga lama. Karena itu, sumber dana untuk membiayainya, idealnya juga harus memiliki jangka waktu yang panjang.
Namun tekad bulat pemerintah dan alternatif pembiayaan yang memberikan angin segar ini tampaknya justru memiriskan kita. Meski tekad sudah bulat dan sumber pembiayaan sudah ada alternatif, namun aturan pelaksanaan yang masih bolong-bolong justru dipakai oleh koruptor untuk mengeruk keuntungan.
Ada wacana yang muncul bahwa upaya pembiayaan yang mengandalkan sumber dana dalam negeri bisa menjadi pilihan, karena pemerintah telah bertekad mulai mengurangi utang luar negeri. Sehingga alternatif tawaran utang dari lembaga-lembaga asing bisa disisihkan dulu dan akan menjadi pilihan paling akhir.
Masalah sumber dana yang ada di sektor perbankan juga perlu diperhatikan. Bank Indonesia pernah menyatakan bahwa persoalan batas pemberian kredit maksimum (BMPK) tidak ada masalah. Namun demikian kita masih trauma dengan berbagai kasus kredit macet dan kasus pengemplangan dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) yang sepertinya tidak pernah terselesaikan hingga sekarang. Masalah besar ini ujung-ujungnya adalah juga korupsi.
Tahun 2005 berlalu dengan catatan indeks korupsi yang tetap rendah. Hal ini cukup merisaukan kita. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa proyek infrastruktur adalah lahan korupsi para pejabat. Hal ini dikuatkan oleh banyaknya celah-celah di aturan proyek pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah. Praktek suap-menyuap dan pelbagai modus korupsi pun terus berkembang. Alhasil banyak pejabat yang tersangkut korupsi. Padahal hampir sebagian besar korupsi terkait dengan proyek pemerintah yang salah satunya juga sektor infrastruktur.
Catatan ICW dalam analisa kecenderungan korupsi 2006 menunjukkan bahwa aparat pemda masih menduduki posisi nomor satu sebagai pelaku korupsi, yaitu sekitar 42%. Sementara kurang lebih 29,29% kasus korupsi bermoduskan markup. Dua temuan ini cukup merepresentasikan kondisi bahwa sektor infrastruktur masih menjadi lahan korupsi para koruptor.
Sektor infrastruktur sering terkait dengan dengan pengadaan barang dan jasa. Bila kita melihat hasil kajian ICW pada 2005, terungkap bahwa mekanisme pelaksanaan proyek yang memberikan keistimewaan kepada salah satu pihak melalui penunjukan langsung dianggap oleh pejabat tinggi bukan merupakan pelanggaran yang serius. Padahal hal itu dilarang secara tegas dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah mengingat nilai proyek di atas Rp 50 juta harus melalui mekanisme pelelangan (tender). Dari temuan ICW, terdapat 43 kasus yang terindikasi korupsi di sektor pengadaan, yang modusnya menggunakan penunjukan langsung.
Tampaknya prospek perkembangan infrastruktur Indonesia tidak memberikan daya tarik yang berlebih bagi investor. Asumsinya para investor juga akan ragu-ragu untuk menanamkan investasinya, bila kepastian hukum dalam pemberantasan korupsi di sektor infrastruktur juga hanya setengah-setengah.
Temuan ini sebenarnya menggambarkan fenomena dalam proses pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Namun pemberantasan korupsi di sektor lain ini berakibat pada sektor infrastruktur. Karena infrastruktur berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, maka bila sektor ini cenderung buruk, pasti aspek lain seperti pelayanan publik dan perkembangan dunia bisnis juga tidak akan berkembang.
Beberapa saat lalu, tiba-tiba saja pemerintah menggodog inpres yang akan melindungi pejabat dari jeratan kasus korupsi. Ini perlu diwaspadai bersama. Karena akan sangat mengganggu bagi prospek pembangunan infrastruktur ke depan. Meskipun awalnya hanya akan menganggu kinerja aparat penegak hukum, tetapi pada tahapan berikutnya, kasus-kasus korupsi banyak yang tidak akan terungkap. Jika ini terjadi pembangunan infrastruktur terus digerogoti oleh para koruptor.
Lais Abid, anggota badan pekerja ICW
Tulisan ini disalin dari koran Jurnal Nasional, 3 Agustus 2006