Korupsi dan Malaadministrasi

Langkah pertama untuk melakukan reformasi dan perbaikan adalah dengan mengakui adanya penyakit pada birokrasi (”bureaupathologies”) dan menganggap itu sebagai sesuatu yang serius. Tanpa itu, salah kelola pemerintahan akan terus berlangsung dan membuat kerusakan.

Gerald E Caiden

Di depan forum perayaan Hari Antikorupsi, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengakui Indonesia belum serius dalam pemberantasan korupsi (Kompas, 10/12/17).

Presiden juga mengakui bahwa penataan pelayanan publik dan birokrasi merupakan hal yang penting untuk pencegahan korupsi. Meskipun indeks prestasi antikorupsi Indonesia naik tahun ini, fenomena korupsi justru tampak marak dengan contoh banyaknya kepala daerah serta anggota DPR dan DPRD yang ditangkap karena korupsi.

Pemberantasan korupsi dan juga pemberantasan pungli tidak bisa berdiri sendiri meskipun secara kelembagaan bisa saja dipisah. Sebagai kata majemuk pun bisa dimaklumi bahwa ”pemberantasan korupsi” hanya mengejar target apa yang sudah terjadi dengan menyisihkan aspek-aspek penyebab dasarnya.

Hal ini wajar mengingat pemberantasan korupsi dan khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru dibentuk pada awal era Reformasi ketika korupsi sudah begitu menggurita, bukan hanya besaran korupsinya, melainkan juga jejaring dan aktor-aktornya. Oleh karena itu, meskipun telah dilakukan penangkapan dan pemenjaraan serta penyitaan harta hasil korupsi dan mungkin pemiskinan, fenomena korupsi masih terus marak.

Awal dan akar
Kutipan dari Caiden dalam tulisannya berjudul ”What Really is Public Maladministration?” di atas menunjukkan bagaimana malaadministrasi dan korupsi yang merusak harus ditangani dari akar dan sejak awal, tidak bisa hanya dicegat di tengah jalan, apalagi di ujung jalan. Sebab, dari titik awal berangkat ke tengah perjalanan telah terbangun suatu jejaring, aktor-aktor  dan bahkan tradisi terjadinya korupsi yang tidak mudah diurai.

Hal ini tentu saja tidak mengurangi pentingnya pemberantasan yang diperankan oleh KPK selama ini.

Jika hendak serius menangani korupsi dan memperkuat antikorupsi—tentu saja tanpa mengabaikan pentingnya peran KPK—pemerintah dan juga masyarakat mesti memulai dari hal dasar dan awal yang menyebabkan itu terjadi, yaitu gejala terjadinya malaadministrasi. Dalam rumusan Ombudsman RI, ada sepuluh jenis malaadministrasi dan bisa dikatakan kesepuluhnya mengarah atau menjadi penyebab terjadinya korupsi.

Kesepuluh jenis malaadministrasi tersebut adalah tidak memberikan pelayanan, penundaan berlarut, tidak kompeten, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, permintaan imbalan, tidak patut, berpihak, diskriminasi, dan konflik kepentingan.

Dari sepuluh hal tersebut, ada beberapa malaadministrasi yang tidak bisa dijangkau oleh antikorupsi dan antipungli, tetapi menjadi penyebab sangat penting terjadinya korupsi. Diskriminasi, berpihak, dan tidak patut adalah contoh untuk itu. Namun, yang terpenting di sini adalah  semua malaadministrasi harus menjadi perhatian bagi pencegahan oleh setiap penyelenggara pelayanan publik.

Kultur dan sistemik
Berbeda dengan proses hukum atau peradilan pidana di dalam antikorupsi yang efektivitas dan sanksinya mengarah kepada pelaku individu, maka efek dari sanksi produk Ombudsman tidak hanya kepada individu, melainkan bersifat sistemik dan organisasional.

Sanksi dan efektivitas produk Ombudsman tidak berada di Ombudsman, melainkan di dalam struktur institusi pelayanan publik itu sendiri. Peran kepemimpinan, atasan, dan sistem sanksi yang efektif penting di sini.

Dengan kata lain, penegakan integritas, pengawasan sejak dini dalam penyimpangan sekecil apa pun, penegakan sanksi secara efektif, serta pembangunan tradisi sejak awal dalam institusi pelayanan publik itu sendiri menjadi kunci bagi terbangunnya tradisi dan sistem antikorupsi.

Perlu ada semacam pembahasan dan pendekatan komprehensif bahwa seluruh perilaku itu sebagai bagian dari akar korupsi serta strategi pencegahan dan pengawasannya sehingga terbangun kultur, mekanisme, dan sistem sejak semula.

Di samping itu, pemerintah perlu mendorong agar semua penyelenggara pelayanan publik menjadikan semua jenis malaadministrasi sebagai sistem pencegahan dan pengawasan yang efektif di dalam institusi itu.

Lebih jauh dari itu, penting bagi institusi penyelenggara pelayanan publik untuk membuat aturan bahwa pelaku malaadministrasi yang tidak melaksanakan produk Ombudsman RI, baik melalui konsiliasi, mediasi, rekomendasi, maupun saran, memperoleh sanksi tegas dari atasan dan organisasi.

AHMAD SUAEDY, Anggota Ombudsman Republik Indonesia

Tulisan ini disalin dari Kompas, 29 Desember 2017

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan