Korupsi dan Kemiskinan
Tuesday, 14 March 2017 - 00:00
Pakistan adalah negara modern, demikian juga negara kami. Meski mayoritas memeluk agama Islam, kami tidak menyebutnya dalam konstitusi. Bukan berarti mengeluarkan agama dari kehidupan, tetapi karena kami telah mengekspresikannya dalam Pancasila, yang menjadi ajaran spiritual, moral, dan landasan etik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammad Natsir, Pemimpin Masyumi, saat berpidato di Pakistan Institute for International Relation, Karachi, 1953
Pidato itu dikutip Bung Karno dan disampaikan dalam kuliah umum untuk sivitas akademika Universitas Indonesia, 7 Mei 1953. Kuliah Bung Karno berjudul "Negara Nasional dan Cita-cita Islam" terutama ditujukan untuk menjawab surat Dahlan Ranuwihardjo, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam, yang menanyakan relasi Pancasila dan Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kesepahaman dan kebesaran jiwa para pendiri bangsa dalam merajut fondasi nasional dari kemajemukan bangsa itu sayangnya terus-menerus digerus oleh para politisi medioker yang mencari keuntungan dari suburnya sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Korupsi wawasan kebangsaan lewat pengembangbiakan isu-isu primordial di tengah kedangkalan rasa hayat sejarah merupakan problem laten berbahaya ketika penyelenggara negara gagap menjiwai dan meneguhkan filosofi bangsa.
Abai prioritas
Dalam konstelasi dan interdependensi global, sulit disangkal bahwa bangkitnya sektarianisme juga berhubungan erat dengan kepentingan ekonomi-politik transnasional. Kepentingan bersegi banyak yang menyusup dalam isu-isu lokal-nasional merupakan gejala umum proxy war dengan target memecah belah persatuan bangsa. Indonesia menjadi lahan subur karena masih terbengkalainya penyelesaian aneka tragedi kelam di masa lalu yang berkelindan dengan kemiskinan dan ketimpangan di masa sekarang.
Kegaduhan kontestasi politik dengan mengusung isu SARA yang terus-menerus terpelihara dan diternakkan oleh para politisi medioker menenggelamkan isu-isu prioritas bangsa. Struktur ekonomi yang rapuh dan menyebabkan kerusakan parah pada krisis 1997-1998 bukan hanya gagal dikoreksi, malahan memusat kembali pada segolongan elite ekonomi.
Seturut korupsi wawasan kebangsaan, banyak produk undang-undang dan peraturan baru yang lahir dari rumusan eksekutif dan legislatif, bukan saja membuka celah kerawanan, melainkan justru dimanfaatkan untuk memupuk privilese segelintir kelompok sehingga makin memperlebar kesenjangan. Fenomena mimikri para peminjam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan menguatnya kembali monopoli-oligopoli merupakan kemunduran serius dan sukar diterima nalar. Keganjilan luar biasa pasca reformasi ini menunjukkan kegagalan fungsi partai-partai politik dalam mendorong proses demokratisasi politik-ekonomi.
Demikian pula pembentukan 20 komisi negara, 12 lembaga kuasi negara, dan 29 dewan/lembaga setingkat komisi negara belum signifikan mengawal serta merepresentasikan prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan, terutama transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, dan keadilan. Nafsu besar membentuk bermacam infrastruktur demokrasi tanpa kemampuan mendarah-dagingkan substansi demokrasi menunjukkan persinggungan beragam kepentingan yang merusak.
Ketimpangan parah selalu bermula dari kebijakan tidak adil, tidak memenuhi kebutuhan esensial bagian terbesar rakyat. Alokasi anggaran dalam jumlah besar untuk mengatasi kemiskinan, misalnya, menghendaki peta jalan baru yang saksama serta mengubah secara "radikal" jalur dan distribusi konvensional.
Selama puluhan tahun, penyaluran dana Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN dan bermacam jenis kredit usaha rakyat (KUR) selalu kurang tepat sasaran, tetapi tidak dievaluasi dan dikoreksi total. Tingginya kredit macet, alokasi lebih banyak ke usaha kecil non-produktif, ketiadaan inkubator bisnis, dan lemahnya skema penjaminan risiko merupakan sederet persoalan klasik yang tak kunjung diatasi. Terapi business as usual dan pendekatan malas dalam pengentasan orang dari kemiskinan selama ini terus "menyembunyikan" problem kunci di lembaga penyalur dan golongan sasaran.
Golongan marjinal yang tidak tersentuh skema bantuan dan semestinya menjadi sasaran utama umumnya terserak dan tidak terkonsolidasi. Pendampingan untuk input sains (teknologi dan keterampilan) serta manajemen (tata kelola usaha) seharusnya terhimpun dalam satu paket kebijakan penanggulangan kemiskinan.
Relasi korupsi-kemiskinan
Pemberantasan dan penindakan korupsi sejauh ini masih terbatas pada pelaku individual atau kelompok terbatas, belum menjangkau korporasi atau jaringan yang sistemik dan mengakar. Operasi tangkap tangan (OTT) terhadap salah seorang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus suap berkaitan dengan judicial review Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan juga kasus OTT yang melibatkan seorang ketua umum partai pada 2013 belum menyentuh tali-temali rente bisnis impor daging sapi yang ditengarai sarat perselingkuhan. Akibatnya, selama puluhan tahun konsumen menjadi korban dan peternakan sapi rakyat sulit berkembang.
Praktik serupa banyak terjadi di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan kelautan yang semuanya erat berhubungan dengan perizinan. Kooptasi masif aset-aset nasional dan daerah oleh beberapa perusahaan muskil terjadi tanpa keterlibatan banyak pihak. Bekerjanya korupsi sistemik pada sektor strategis ini berkonsekuensi pada kesenjangan dan kemiskinan terstruktur.
Persekongkolan politisi-pengusaha-penguasa berulang kali terungkap dan merupakan karakteristik umum profil korupsi di Indonesia. Persenyawaan kepentingan di antara ketiganya memorak-porandakan tatanan, membawa dampak serius sangat luas dan mengerikan, terutama jika dikaitkan dengan penguasaan sumber daya alam yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Di sisi lain, kinerja KPK, kepolisian, dan kejaksaan dalam mengungkap kasus tindak pidana korupsi (tipikor) sangat terbatas. Kepolisian rata-rata menangani 1.300-1.400 kasus tipikor per tahun, kejaksaan 300-an kasus, dan KPK hanya 30-35 kasus per tahun. Keterbatasan kapasitas dan pembagian perkara tipikor yang kurang fokus pada tiga institusi penegak hukum tersebut menyebabkan pemberantasan korupsi belum menjadi gerakan masif, terukur, dan terpadu.
Penguatan kapasitas dan perumusan strategi operasi penanganan tipikor kerap dibayangi kekhawatiran tidak sterilnya lembaga-lembaga pemutus keadilan lainnya, seperti MK dan Mahkamah Agung, dari campur tangan politik. Juga otoritas audit, yakni Badan Pemeriksa Keuangan. Perolehan efek jera pada pelaku tipikor akan sukar didapat manakala tiada sinergi di antara institusi penegak hukum.
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa hukuman koruptor dari tahun ke tahun semakin ringan, divonis hakim rata-rata 2 tahun 1 bulan selama Januari-Juni 2016 dari 325 perkara (384 terdakwa). Tren vonis ringan koruptor itu tidak banyak berubah di berbagai tingkat pengadilan 2012-2016.
Menjadi jelas, pencegahan dan pemberantasan kejahatan luar biasa ini masih perlu waktu panjang, terjal, dan berliku. Perlawanan balik (corruption fight back) dari para pelaku korupsi dan kroninya lewat berbagai cara-antara lain dengan merevisi UU KPK-juga tak pernah surut. Namun, satu hal yang pasti, negara yang gagal memberantas korupsi mustahil akan bisa menghadirkan kesejahteraan bagi rakyatnya.
SUWIDI TONO, Koordinator Forum "Menjadi Indonesia" dan Koordinator Alumni IPB untuk Gerakan Anti Korupsi (GAK) Lintas Perguruan Tinggi
--------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Maret 2017, di halaman 6 dengan judul "Korupsi dan Kemiskinan".