Korupsi dan Kekayaan Pejabat

'Korupsi harus dikeroyok, tidak bisa melalui jalur hukum kita yang belepotan ini.' (Prof DR Satjipto Rahardjo)

EDITORIAL Media Indonesia edisi Selasa (8/3) menyoroti dengan lugas dan tajam perihal laporan harta kekayaan para menteri Kabinet Gotong Royong yang telah diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Para menteri yang termasuk dalam kategori penyelenggara negara itu melaporkan berapa harta yang mereka miliki pada saat menjadi menteri, dan berapa ketika berhenti menjabat.

Umumnya jumlah kekayaan mereka bertambah banyak dengan bilangan bermiliar-miliar. Meminjam nada Editorial Media Indonesia, bahkan ada yang melompat dua kali lipat. Editorial berjudul 'Harta Pejabat di Mata KPK' (8/3) itu lantas menggugat melalui serangkaian pertanyaan. 'Lalu, dari mana semua sumber yang membuat sejumlah mantan menteri dan pejabat publik berlipat ganda kekayaannya? Adakah penghasilan di luar gaji yang dianggap sah? Adakah pemberian yang dianggap legal? Kalau semua itu legal, masuk akalkah bila jumlahnya bermiliar-miliar?'

Akhirnya, sorotan ditujukan kepada KPK. Apa yang sudah dilakukan KPK dengan laporan harta kekayaan pejabat itu? Sebagai lembaga penerima laporan, KPK tidak lebih dari lembaga rekapitulasi bisu.

Tanggapan masyarakat juga seru, muncul dalam program Bedah Editorial Metro TV (Selasa, 8/3). Semua itu memperlihatkan sangat besarnya perhatian publik terhadap upaya pemberantasan korupsi. Dan, tentu, melalui kritik dan kecaman itu, sekaligus juga menunjukkan betapa besarnya harapan yang digantungkan kepada KPK. Kalaupun ada hujatan pemirsa bernada sumbang tanpa bukti, itu semata-mata gambaran kegusaran.

Macan ompong?
Seperti diketahui, KPK lahir akibat keluarbiasaan kejahatan korupsi. Korupsi semakin marak, tetapi belum dapat dibasmi oleh lembaga yang ada. Karena itu lembaga ini diperlukan dengan segala kelengkapannya, seperti Pengadilan Khusus Korupsi.

Tugas dan kewenangannya banyak sekali dan bisa dianggap besar dan luas, diukur dengan standar kelembagaan serupa.

Menerima pendaftaran dan melakukan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hanyalah salah satu tugas, seperti tercantum dalam UU No 30/2002 yang mengatur tugas dan kewenangan KPK. Kegiatan yang menyangkut LHKPN ini ditujukan untuk mengukur kekayaan para penyelenggara negara (pejabat negara dan pemerintahan, meliputi juga pejabat di lingkungan legislatif dan yudikatif) sebelum dan sesudah menjabat.

Editorial Media Indonesia ditujukan pada kegiatan pendaftaran LHKPN ketika masuk dalam Tambahan Berita Negara, dilanjutkan dengan pertanyaan apakah LHKPN akan didiamkan saja? Jawabannya tentu tidak, karena UU mengamanatkan juga tugas 'pemeriksaan' yang saat ini dalam tahap perencanaan. Diawali dengan pemeriksaan administratif, disusul dengan pengumuman guna memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh elemen masyarakat untuk memberikan masukan atas kebenaran LHKPN tersebut.

SELANJUTNYA pemeriksaan substansi sekaligus pemeriksaan khusus, bila informasi masyarakat dan informasi lain mengarah pada indikasi tindak pidana korupsi. Pemeriksaan substansi dan pemeriksaan khusus dilakukan dengan cara analisis terhadap harta kekayaan sebelum, selama, dan sesudah menjabat, asal usul harta kekayaan, analisis riwayat jabatan dan perkembangan kekayaan, disertai klarifikasi, pemeriksaan fisik, dan konfirmasi, yang dilakukan dengan cara memanggil penyelenggara negara. Juga dengan menerapkan konsep statutory declaration yang pada intinya menelusuri siapa saudara-saudara si pejabat dan istrinya. Tugas dan wewenang KPK yang besar di usia muda, memang mirip macan muda ompong bergigi susu.

Fakta dan harapan
KPK lahir pada 29 Desember 2002. Dalam usianya yang masih 'hijau', kami telah menerima ribuan laporan. Akan tetapi, dari masukan itu, tidak semua dapat ditindaklanjuti. Selain laporan yang dikembalikan karena tidak ada identitas pelapor, hal yang dilaporkan ternyata bukan kasus korupsi, atau karena kurangnya barang bukti, KPK juga menilai setiap laporan apakah lebih patut ditangani oleh polisi atau kejaksaan, atau memang harus diproses di KPK.

Salah satu hasil kerja KPK adalah sidang Pengadilan Khusus Korupsi terhadap Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh, yang didakwa korupsi dalam pengadaan Helikopter Mi-2 buatan Rostov-Mil Rusia, dan sidang pengadilan yang sama atas kasus dugaan korupsi oleh mantan Kabag Keuangan Ditjen Hubla Harun Let Let dalam kasus pembelian tanah di Tual, Maluku. Segera disusul dengan kasus Bram Manoppo berkaitan dengan kasus dakwaan pertama.

Pengolahan laporan masyarakat dan tiga dakwaan tersebut di atas adalah hasil kerja KPK di bidang penindakan, sementara pendaftaran dan pemeriksaan LHKPN merupakan tugas KPK di bidang pencegahan.

Koordinasi dan supervisi terhadap penegak hukum dan lembaga pengawasan khusus untuk urusan pemberantasan korupsi, adalah tugas besar lain di samping melakukan monitor terhadap sistem penyelenggaraan administrasi kenegaraan yang berpeluang timbulnya korupsi.

Fakta lain yang mustahil diingkari adalah keterbatasan sumber daya yang selama ini terus disiasati agar memadai. Belum lagi komplikasi hukum yang menjadi rumit di tengah-tengah ragam kepentingan.

Kegusaran kita sama, seperti juga harapan kita semua sama, KPK harus berhasil atas keseluruhan tugasnya, dan setelah itu Indonesia bisa tegak di dunia internasional karena indeks persepsi korupsi sudah jauh meningkat pesat, sejajar dengan katakanlah China. Bahwa ada kesenjangan antara fakta dan harapan, itulah tantangan.

Pentingnya kritik
Korupsi telah membudaya kata Bung Hatta, korupsi bukan semata-mata masalah hukum, tapi juga masalah sosial, masalah perilaku dan lainnya. Namun, satu-satunya kepastian ialah KPK tidak bisa sendirian dalam memberantas korupsi.

Ini pekerjaan raksasa, yang memerlukan dukungan masyarakat. Kerasnya kritik melalui Editorial Media Indonesia, serta tajamnya kecaman masyarakat seperti disampaikan pemirsa melalui Bedah Editorial di Metro TV, menunjukkan besarnya perhatian masyarakat terhadap pemberantasan korupsi. Kritik dan kecaman itu juga bukti tingginya harapan kepada KPK. KPK harus selalu dikritik dan dikontrol, agar tetap teguh dengan komitmennya. Sebab kalau dikritik saja tidak tahan, bagaimana bisa membasmi korupsi. Bukankah kritik adalah vitamin?

Baiklah, seraya kita sadari pula, meminjam istilah Eep Saefulloh Fatah, 'diperlukan kesabaran revolusioner', di samping keberanian progresif dan kebersamaan masif, sebagaimana dikemukakan secara lugas oleh Prof DR Satjipto Rahardjo dalam lokakarya antikorupsi jaringan Lembaga Bantuan Hukum 7 Maret 2005: ''Korupsi harus dikeroyok, tidak bisa melalui jalur hukum kita yang belepotan ini''.(Erry Riyana Hardjapamekas, Wakil Ketua KPK)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 10 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan