Korupsi dan Budaya
Ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla yang dipilih secara langsung oleh rakyat terbentuk, harapan rakyat akan berakhirnya korupsi dan ditangkapnya para koruptor sangat tinggi. Yudhoyono bahkan membuat program kerja 100 hari dan terapi kejut (shock therapy) untuk memberantas korupsi. Tetapi, harapan tinggal harapan. Korupsi masih menjadi penyakit menular, bahkan sudah sampai ke pejabat eselon IV. Jangan tanya di kalangan pejabat yang lebih tinggi lagi. Korupsi di negara ini telah sangat berakar dan sulit diberantas.
Padahal, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa beragama, juga bangsa berbudaya. Bahkan sampai di dunia luar, bangsa Indonesia dikenal sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia. Angka kebocoran keuangan negara karena korupsi sebesar 30 persen dari APBN yang dinyatakan pada 1999, kini mencapai angka 50 persen dari APBN tahun 2003, yakni sebesar Rp 166,53 triliun (laporan BPK semester I 2004).
Berdasarkan hasil survei tahunan Lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2004, Indonesia merupakan negara tertinggi tingkat korupsinya. Skor Indonesia, 9,25; melampaui beberapa negara tetangga seperti Thailand, Filipina, Korea Selatan, Cina, Malaysia.
Wartawan Pembaruan Edi Hardum dan Eko B Harsono mencoba mengupas korupsi dari sisi agama dan budaya. Mengapa bangsa Indonesia yang dikenal religius, korupsi justru tumbuh subur?
-------
Jalankan Agama Teoretis, Korupsi Subur
BANGSA Indonesia dikenal sebagai bangsa yang beragama (Berketuhanan Yang Maha Esa) dan berbudaya. Namun, di mata bangsa lain, bangsa Indonesia sungguh terpuruk. Bangsa Indonesia dikenal sebagai salah satu bangsa terkorup di dunia. Angka kebocoran keuangan negara karena korupsi sebesar 30 persen dari APBN yang dinyatakan pada 1999, kini bertambah besar, mencapai angka 50 persen dari APBN tahun 2003, yakni sebesar Rp 166,53 triliun (laporan BPK semester I 2004).
Lalu di mana peran agama? Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, A Supratiknya, berpendapat, ada tiga bentuk orang Indonesia dalam menjalankan agamanya.
Pertama, beragama secara teoretis. Artinya, mereka memahami Kitab Suci, sering beribadah sesuai ajaran agama. Sebagai orang Islam, mereka bersembahyang lima waktu. Umat Kristiani, setiap hari Minggu datang ke gereja untuk kebaktian atau misa.
Kedua, beragama dalam tindakan (praktik). Artinya, jarang membaca Kitab Suci, bahkan tidak pernah, juga tidak pernah sembahyang, namun dalam bertindak dan berbicara setiap hari tidak merugikan orang, sesuai dengan nilai, norma, dan hukum yang berlaku.
Ketiga, beragama secara ideal. Artinya, tahu agama secara teori dan menjalankan teori agama dalam kehidupan nyata.
Salahuddin Wahid, acap dipanggil Gus Sholah, mengatakan, sebagian besar orang Indonesia menjalankan agama hanya secara teoretis atau secara ritual saja. Ia mencontohkan, pada malam hari di bulan Ramadhan, masjid tampak ramai, hampir semua pemeluk agama Islam menjalankan ibadah puasa. Setiap tahun sekitar 200.000 warga negara Indonesia menjalankan ibadah haji. Jumlah gereja cukup banyak, dan hampir semuanya ramai dikunjungi umat Kristiani. Kehidupan agama resmi lain juga tidak kurang semaraknya.
Tetapi, ternyata, kata Gus Sholah, semua itu terkesan munafik. Betapa tidak, korupsi telah menjadi bagian utama dari kehidupan orang Indonesia. Korupsi sudah menjadi budaya orang Indonesia. Siapa pun bisa melihat budaya korupsi atau budaya penyalahgunaan wewenang telah menjadi realitas kehidupan orang Indonesia.
Hal seperti di atas, ia tambahkan, merupakan paradoks dalam kehidupan bangsa Indonesia. Itulah satu dari sekian banyak paradoks di dalam kehidupan bangsa kita, kata mantan calon Wakil Presiden RI itu, dalam acara pekan ceramah dengan tema, Membangun Budaya Pemerintah yang Bersih dan Bebas KKN di Jakarta, Senin (7/2).
Ia mengatakan, kenyataan paradoks tersebut menunjukkan ibadah ritual tidak selalu mempunyai hubungan positif dengan ibadah sosial. Mungkin lebih tepat dikatakan, ibadah ritual yang tidak bermutu tidak akan berdampak positif pada perilaku. Sementara itu, banyak orang yang tidak menjalankan ibadah ritual atau bahkan mungkin yang ateis, tetapi perilaku sosialnya baik.
Jadi, yang menentukan perilaku seseorang dalam kehidupan adalah tingkat religiusitas (keberagamaan) yang dimilikinya. Religiusitas ialah penghayatan terhadap nilai-nilai yang disampaikan agama dan sekaligus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, katanya.
Lebih lanjut, adik Gus Dur itu mengatakan, Kita menjadi saksi, kehancuran bangsa kita saat ini diakibatkan oleh korupsi, sebagai akibat ulah banyak pemimpin kita yang cerdas, profesional, tetapi tidak dapat dipercaya dan tidak jujur, ia menambahkan.
Faktor Budaya
Mohtar Mas'oed, dalam bukunya Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Pustaka Pelajar, 1999), menjelaskan, masyarakat Indonesia dan Thailand, mempunyai faktor budaya yang dapat mendorong timbulnya korupsi. Pertama, adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh, kepada pejabat pemerintah. Tindakan seperti itu, di Eropa atau Amerika Utara bisa dianggap korupsi.
Kedua, orang Indonesia dan Thailand lebih mementingkan ikatan keluarga dan kesetiaan parokial lainnya. Dalam masyarakat Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah memerhatikan saudara terdekatnya, kemudian trah atau sesama etnisnya. Sehingga, seorang saudara yang mendatangi seorang pejabat untuk meminta perlakuan khusus, sulit ditolak.
Penolakan bisa diartikan sebagai pengingkaran terhadap kewajiban tradisional. Tetapi, menuruti permintaan berarti mengingkari norma-norma hukum formal yang berlaku, yaitu hukum Barat (KUHP dan lainnya). Sehingga, terjadi konflik nilai, yaitu antara pertimbangan kepentingan keluarga atau kepentingan negara.
Sosiolog Ignas Kleden dalam bukunya, Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia (Kompas, 2001), secara implisit mengatakan, korupsi berkembang pesat di Indonesia karena budaya paternalistis dalam masyarakat Indonesia, di mana hubungan antara masyarakat masih didasarkan pada patron klien. Tingkah laku orang kecil akan banyak mengikuti apa yang dilakukan oleh mereka yang dianggap menjadi anutan, tanpa mempersoalkan apa yang dilakukan anutan, benar atau tidak.
Budaya politik, Ignas mengatakan, ialah nilai dan kebiasaan yang berkembang di kalangan elite politik Indonesia. Yang menjadi permasalahannya, adalah nilai-nilai, pandangan, kebiasaan dan tingkah laku kelompok sosial itu dengan mudah menyebar, diikuti dan diterima masyarakat yang lebih luas. Hal itu terjadi karena para elite politik adalah tokoh anutan masyarakat.
Demikian pun dalam bidang ekonomi, gaya hidup kelas menengah kota, mudah menjalar dan ditiru strata sosial lain, walaupun pendapatan yang meniru itu tidak cukup mencukupi. Untuk itu, Ignas menegaskan, kelompok yang dianggap menjadi anutan, seperti elite politik, pemuka agama dan tokoh masyarakat, diharap bertingkah laku benar, sehingga tingkah laku pengikutnya akan benar. Kalau anutan, bertingkah laku sembarangan, hal yang sama akan ditiru dengan segera oleh para pengikutnya.
Ia berpendapat, seharusnya memang tidak ada kelompok yang dianggap menjadi anutan karena baik elite maupun warga negara bisa harus bertingkah laku menurut moralitas politik yang ditentukan hukum dan sensibilitas politik.
Pendidikan Antikorupsi
Langkah tepat untuk mencegah korupsi, ditegaskan Gus Sholah, ialah pendidikan antikorupsi, yang ditanamkan kepada anak-anak, baik di dalam keluarga maupun di sekolah. Pendidikan antikorupsi, intinya mendidik anak bangsa untuk menjadi jujur, terhadap diri sendiri, terhadap masyarakat, dan terhadap Tuhan.
Anak-anak harus dididik untuk dapat menerima amanat, yaitu tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya dan menjalankan sesuatu yang menjadi kewajiban atau tanggung jawabnya. Pendidikan akhlak itu harus diberikan selaras dengan pendidikan budi pekerti. Budi pekerti tidak terikat dengan suatu agama tertentu dan mencakup nilai-nilai luhur yang dapat diterima semua agama.
Pendidikan budi pekerja juga sejalan dengan pembangunan karakter anak bangsa yang nantinya akan mempengaruhi pola pikir dan perilaku. Dalam pendidikan karakter, tidak ada metode yang lebih baik daripada memberikan keteladanan.
Nilai-nilai luhur yang disampaikan dalam pembangunan karakter itu mempunyai lingkup luas. Di antaranya nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang suku, bangsa, dan agama, yang diharapkan bisa menghasilkan rasa saling mengasihi, saling mengerti, saling menghormati dan saling bantu.
Selain itu, ditanamkan penghargaan terhadap kerja, sedangkan materi atau uang bukanlah tujuan utama. Dengan itu diharapkan bisa dicegah kecenderungan untuk menempuh jalan pintas atau tujuan menghalalkan cara.
Pendidikan budi pekerti, pendidikan antikorupsi, dan pembangunan karakter, dilakukan untuk membentuk budaya antikorupsi yang bersifat preventif, yang baru akan diketahui hasilnya jauh di kemudian hari.
Ia mengingatkan, pendidikan itu tidak akan memberikan hasil seperti yang diharapkan kalau tidak didukung langkah represif, yaitu pemberian sanksi hukum secara tegas terhadap pelaku tindak pidana korupsi tanpa pandang bulu.
---------
Bisakah Berharap Banyak kepada KPK?
SEBELUM Soeharto turun dari kursi kepresidenan, masyarakat menuduhnya sebagai causa prima bertumbuh suburnya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Karena KKN, negara Indonesia berjalan mundur, sebagai salah satu negara termiskin di dunia.
Bagaimana setelah Soeharto lengser, apakah tindakan KKN hilang atau berkurang? Budayawan dan para pakar mengatakan, KKN terutama korupsi setelah Soeharto lengser sampai sekarang jauh lebih ganas. Korupsi dilakukan tanpa malu-malu. Korupsi tidak hanya dilakukan pihak eksekutif, tetapi sudah menyebar ke lembaga legislatif, yudikatif, bahkan lembaga-lembaga masyarakat.
Korupsi semakin ganas setelah Soeharto jatuh. Salah satu sebabnya karena lembaga dan aparat penegak hukum, seperti hakim, jaksa, dan polisi, terlibat dalam tindakan korupsi. Bahkan korupsi yang mereka lakukan jauh lebih ganas daripada lembaga-lembaga lain.
Sebuah survei yang diadakan lembaga Partnership for Governance Reform medio 2004, sebagaimana dikutip praktisi hukum Todung Mulya Lubis dalam Surga para Koruptor, Kompas 2004: 109), menunjukkan, lembaga-lembaga penegak hukum (pengadilan, polisi, kejaksaan) bersama-sama dengan bea cukai dan jawatan pajak, sebagai lembaga paling korup.
Ia menambahkan, pengadilan di Indonesia tidak bebas dan mandiri, karena itu para penegak hukum gampang disuap dan disogok. Perusak paling utama dalam pengadilan Indonesia, adalah para pengusaha dan advokat hitam yang memperdagangkan hukum. Mereka sering menyogok hakim, jaksa dan polisi, demikian katanya.
Tragisnya, ia melanjutkan, etika profesi sudah tidak berharga lagi karena banyak advokat hitam merasa tidak bersalah meski mereka mendatangi hakim dengan segepok uang. Seorang advokat yang dikenal sebagai advokat hitam ketika dikonfrontir soal kebiasaannya menyuap dan menyogok hakim dengan enteng menjawab, Saya bukan satu-satunya, dalam bahasa Inggris.
Ia berpendapat ada hubungan simbiosis-mutualistis antara hakim-hakim yang korup dengan para advokat hitam sekarang ini. Secara bersama-sama mereka menikam negara hukum dan peradilan yang bebas dan mandiri.
Dan, sumber utama lahirnya hakim yang korup serta advokat hitam, adalah sistem seleksi yang tidak ketat untuk memangku profesi itu. Siapa saja bisa menjadi hakim atau advokat asal punya gelar sarjana hukum, tanpa kriteria yang jelas. Mutu ujian yang tidak memenuhi standar, menyebabkan profesi hakim dan advokat lama-kelamaan menjadi profesi keranjang sampah, meminjam istilahnya.
Solusi
Bagaimana memberantas KKN? Wakil Sekjen Asosiasi Advokat Indonesia Harry Ponto dalam buku Surga Para Koruptor (Kompas, 2004), mengetengahkan beberapa gagasan untuk membe-rantas korupsi. Pertama, pemberlakuan sistem pembuktian terbalik. Orang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi diwajibkan membuktikan ia tidak melakukan korupsi, dengan bukti hukum awal yang kuat. Instrumen pembuktian terbalik itu, membuat siapa pun sulit mengelak jika memang korup atau disuap.
Kedua, memperbaiki kualitas dan budaya hukum. Ketiga, membentuk hakim nonkarier sebagai hakim ad hoc dalam penanganan perkara. Jumlah hakim dalam perkara idealnya lima, tiga di antaranya hakim ad hoc.
Tuntutan pemberantasan KKN itu, juga salah satu tuntutan mahasiswa dan masyarakat setelah Soeharto mundur. Untuk menanggapi tuntutan pemberantasan KKN itu, DPR dan pemerintah membentuk UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan UU No 20/2001.
Dalam konsiderans UU No 20/2001dinyatakan, Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Berdasarkan itulah pada 27 Desember 2002, UU No 30/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan dan lembaga yang melaksanakan UU itulah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk 27 Desember 2003. Pembentukan KPK dijelaskan dalam konsiderans UU No 30/2002, untuk memberantas tindak pidana korupsi, yang sampai sekarang belum dilaksanakan secara optimal. Pemberantasan korupsi harus secara profesional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan.
KPK juga dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien.
Dalam pertimbangan, dibentuknya UU No 30/2002 menjadikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Karena itu dibutuhkan suatu metode penegakan hukum secara luar biasa. Itu berarti sesungguhnya apabila diperlakukan surut, tidaklah bertentangan dengan asas nonretroaktif.
KPK
Sejak KPK berdiri, masyarakat menggantungkan harapan besar. Sampai saat ini tercatat lebih dari 2.000 laporan masyarakat tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi yang disampaikan kepada KPK, sebagai lembaga superbody dalam memberantas korupsi, dari berbagai kalangan. Sekitar 98 persen dari laporan itu, tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum KPK dibentuk.
Hingga sekarang baru dua perkara tindakan pidana korupsi (tipikor) yang dibawa ke pengadilan. Pertama, kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dengan terdakwa Abdullah Puteh. Diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp 13 milliar dengan terjadinya kasus itu. Kedua, kasus mark-up pembelian lahan untuk pelabuhan laut di Tual, Maluku Tenggara, dengan terdakwa Muhammad Harun Let Let dan Tarcisius Walla, yang diduga negara mengalami kerugian Rp 10,8 milliar.
Banyak kalangan menilai KPK tidak serius memberantas korupsi karena KPK hanya mengangkat dua kasus di atas, yang kerugian negaranya kecil dibandingkan kasus-kasus lain. Kalau mereka serius, mengapa Soeharto dan kroni-kroninya tidak disentuh? Mereka itulah yang membuat negara rugi sampai triliunan rupiah, kata Ketua PBHI, Johnson Panjaitan.
Pakar Hukum Pidana dari Undip, Semarang, Muladi mengatakan agar masyarakat tak berharap banyak kepada KPK. Ia berpendapat ada kekurangan dalam Undang-Undang yang mewadahi KPK, Undang-Undang (UU) No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sejumlah pasal yang mengatur penyelidik, penyidik, dan penuntut berasal dari institusi kepolisian dan kejaksaan dalam UU itu, harus direvisi. Hal itu perlu dilakukan agar KPK tidak menghadapi kendala dalam melaksanakan tugasnya.
Muladi menambahkan, Kejaksaan dan Polri mengutus anggotanya yang kurang capable untuk bertindak sebagai penyelidik, penyidik, dan penuntut di KPK, seperti dikatakannya kepada Pembaruan di Jakarta, Senin (7/2). Kelemahan lain, jaksa dan polisi di KPK tidak akan berani menindak oknum jaksa dan polisi yang juga terlibat dalam tindak pidana korupsi.
-------
Mengapa Pejabat Negeri Ini Cenderung Korup?
Biar orang bilang apa saja, biar, biar ...
Indonesia negara paling korup di dunia
Elite Indonesia serakah harta dan kekuasaan
Dengarlah, Bung Karno dimanfaatkan komunis
Pak Harto dimanfaatkan putra-putrinya
Habibie dimanfaatkan konco-konconya
Gus Dur dimanfaatkan tukang pijitnya
Megawati dimanfaatkan suaminya
PUISI karya wartawan senior Rosihan Anwar itu, sepertinya menjadi cermin kehidupan, napas, dan kondisi nyata masyarakat kita. Korupsi, sebuah kata yang membuat bangsa ini bangkrut dan hancur ke lembah paling kelam. Betulkah korupsi sudah menjadi bagian dari budaya dan sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia?
Sesungguhnya, tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi.
Psikolog Prof Dr Sarlito W Sarwono mengatakan, sebetulnya tidak ada jawaban yang persis soal penyebab korupsi. Yang jelas, ada dua hal, yakni dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya), rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya). Sedangkan ahli hukum Prof Dr Andi Hamzah, dalam penelitiannya, menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat, latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi, manajemen yang kurang baik, dan kontrol yang kurang efektif dan efisien yang memberikan peluang orang untuk korupsi, dan modernisasi pengembangbiakan korupsi.
Sifat Tamak
Analisis yang lebih detail tentang penyebab korupsi diutarakan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam buku Strategi Pemberantasan Korupsi. Beberapa aspek individu pelaku tindakan korupsi yang paling besar dan menonjol adalah sifat tamak manusia.
Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Seorang yang moralnya tidak kuat, cenderung mudah tergoda melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk itu.
Faktor selanjutnya adalah alasan penghasilan yang kurang mencukupi. Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi, seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi, bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam itu yang akan memberi peluang besar melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran, dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.
Dalam suatu rentang kehidupan, ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang mengambil jalan pintas, di antaranya dengan melakukan korupsi. Ditambah lagi gaya hidup konsumtif, membuat orang berani melakukan tindakan korupsi.
Kehidupan di kota-kota besar acap kali mendorong seseorang bergaya hidup konsumtif. Perilaku konsumtif semacam itu bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai, akan membuka peluang seseorang melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
Sebagian orang lagi, ingin mendapatkan hasil dari suatu pekerjaan tanpa keluar keringat, alias malas bekerja. Sifat semacam itu akan potensial melakukan tindakan apa pun dengan cara-cara mudah dan cepat, di antaranya melakukan korupsi. Yang jelas, terjadinya tindakan korupsi juga dipengaruhi oleh tidak dijalankannya perintah agama secara tepat. Padahal, Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apa pun. Kenyataan di lapangan menunjukkan, korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat.
Tulisan ini diambil dari rubrik Sorotan, 17 Februari 2005