Korupsi dalam Penyelenggaraan Haji
Korupsi terus mewarnai penyelenggaraan ibadah haji. Kasus paling akhir adalah dugaan suap sebesar Rp 25 miliar kepada sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembahasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 2010/1431H. Kombinasi monopoli, buruknya tata kelola, dan lemahnya pengawasan membuat banyak celah terjadinya korupsi.
Kementerian Agama, sebagai penanggung jawab utama penyelenggaraan ibadah haji, mengelola uang yang sangat banyak. Setiap tahun rata-rata 200 ribu orang menunaikan ibadah haji. Mereka minimal membayar Rp 35 juta. Belum termasuk bunga dari setoran calon anggota jemaah yang kini antreannya sudah mencapai satu juta orang. Ditambah hasil efisiensi yang kemudian dimasukkan dalam Dana Abadi Umat (DAU), dividen yang berasal dari saham di Bank Muamalat, serta subsidi dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Atas nama tugas nasional, Kementerian Agama pun mendapat hak monopoli. Menjadi pembuat, pelaksana, sekaligus evaluator penyelenggaraan ibadah haji. Cara Kementerian Agama mengelola ibadah haji pun sangat buruk. Masukan publik diabaikan dan lembaga ini tidak transparan di semua fase penyelenggaraan haji, terutama berkaitan dengan penggunaan anggaran. Pada sisi lain, sebagian besar jemaah bersikap pasrah. Ibadah harus ikhlas. Itu sebabnya, segala sikap kritis, seperti mempertanyakan penggunaan anggaran dan mengeluh atas kondisi pelayanan buruk, harus dihindari karena akan mengurangi pahala. Jemaah tukang protes berpeluang besar menjadi haji mardud.
Kondisi tersebut membuat korupsi tumbuh subur dalam penyelenggaraan ibadah haji. Berdasarkan kajian ICW, secara umum ada tiga titik rawan korupsi. Pertama, proses penyusunan dan pengelolaan BPIH. BPIH merupakan sejumlah dana yang dibayarkan oleh calon haji. Besarannya ditetapkan oleh presiden atas usul menteri setelah mendapat persetujuan DPR. Dana disetor ke rekening menteri dan akan dikelola dengan mempertimbangkan nilai manfaat.
Dalam proses penentuan besaran BPIH, jenis dan jumlah komponen yang mesti dibiayai calon haji ditetapkan oleh Kementerian Agama dan DPR. Kondisi tersebut membuka peluang terjadinya kongkalikong Kementerian Agama dengan DPR dan manipulasi penentuan biaya, seperti munculnya komponen tambahan yang tidak perlu atau harga yang ditetapkan terlalu mahal.
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kajian mengenai sistem penyelenggaraan ibadah haji menemukan dugaan suap Kementerian Agama kepada sejumlah anggota DPR bersama keluarganya untuk menunaikan ibadah haji. Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch pun melaporkan anggota DPR yang diduga menerima gratifikasi dari Kementerian Agama. Sumber uangnya pun sama, setoran yang berasal dari jemaah haji.
Begitu pula penggunaan bunga setoran awal jemaah. Berbekal alasan anggaran dari APBN yang sangat minim, pada 2010 atau 1431 H Kementerian Agama menggunakan uang bunga setoran awal jemaah hingga Rp. 1,051 triliun. Uang digunakan antara lain untuk image building, “membeli” ISO 9000:2008, serta membayar jasa konsultan dan lawyer. Padahal, jika dana sebesar itu digunakan untuk kepentingan jemaah, biaya haji bisa berkurang sebesar US$.326,4 per orang.
Kedua, kontrak pengadaan keperluan jemaah. Menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji, pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dengan menyediakan layanan administrasi, bimbingan ibadah haji, akomodasi, transportasi, pelayanan kesehatan, keamanan, dan hal-hal lain yang diperlukan oleh jemaah haji.
Secara umum semua pelayanan kepada jemaah dikelompokkan menjadi tiga kegiatan besar dengan porsi biaya berbeda-beda. Sebagai contoh, dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2010/1431H, komposisinya terdiri atas biaya penerbangan sebesar US$ 333.680.000 atau 44 persen, living cost sebanyak US$ 78.570.000 atau 10 persen, biaya operasional di Arab Saudi sebesar US$ 285.267.300 atau 38 persen, dan biaya operasional dalam negeri sebanyak US$ 61.478.600 atau 8 persen.
Walau alokasinya berbeda-beda, pengadaan dilakukan di hampir semua kegiatan. Mulai dari “hanya” pembuatan seragam, penyediaan obat-obatan dan alat kesehatan, katering, hingga pemondokan. Masalahnya, proses pengadaan umumnya dilakukan secara tertutup sehingga terbuka potensi penyimpangan. Berdasarkan laporan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan penyelenggaraan ibadah haji 2006, ditemukan beberapa dugaan penyimpangan. Di antaranya inefisiensi pemondokan Rp.12,856 miliar, kerugian negara dalam pengadaan obat dan alat kesehatan sebesar Rp 8 miliar, serta kemahalan dalam komponen penerbangan senilai Rp 58,5 miliar.
Ketiga, pengelolaan Dana Abadi Umat (DAU). Menurut Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji, DAU merupakan sejumlah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan Dana Abadi Umat dan/atau sisa biaya operasional penyelenggaraan ibadah haji serta sumber lain yang halal dan tidak mengikat. Tujuannya untuk mewujudkan kemaslahatan umat, yang akan digunakan untuk mendukung beberapa kegiatan, seperti pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, ekonomi, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah.
Pemerintah membentuk Badan Pengelola untuk menghimpun, mengelola, mengembangkan, dan mempertanggungjawabkan DAU. Namun mayoritas pengurusnya adalah pejabat Kementerian Agama. Menteri Agama menjabat Ketua BP, Sekretaris Jenderal menjadi Ketua Dewan Pengawas, sedangkan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah ditunjuk sebagai Ketua Dewan Pelaksana.
Tidak mengherankan apabila DAU justru banyak digunakan untuk kegiatan di luar tujuan utamanya. Hasil audit BPK semester II tahun 2007 atas laporan BP DAU tahun 2005 memperlihatkan bahwa pengeluaran untuk anggota badan pengelola jauh lebih besar dibanding membantu meningkatkan kemaslahatan umat. Begitu pula temuan Indonesia Corruption Watch. DAU banyak digunakan untuk “mengongkosi” badan pengelola, termasuk Menteri Agama. Misalnya tunjangan bulanan, tunjangan hari raya, open house dan perjalanan dinas Menteri Agama, sumbangan pengobatan pejabat tertentu, serta pemberian pinjaman kepada beberapa penyelenggara ONH Plus.
Dibutuhkan upaya serius untuk memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji. Selain memberikan sanksi kepada para pelaku korupsi, posisi Kementerian Agama sebagai pemegang hak monopoli harus ditinjau ulang. Walau begitu, bukan berarti penyelenggaraan ibadah haji harus diswastakan. Usulan membentuk badan khusus yang independen patut dipertimbangkan. Jika tidak, permasalahan akan terus muncul. Pertanyaannya sekarang, apakah Menteri Agama Suryadharma Ali memiliki keberanian?
Ade Irawan CALON HAJI, KOORDINATOR DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK INDONESIA CORRUPTION WATCH.
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 22 Oktober 2010