Korupsi Bantuan Itu Tsunami Baru
Situasi Komedi (Sitkom) Bajaj Bajuri yang ditayangkan pada Minggu petang (2 Januari 2005) di sebuah stasiun TV menyentil telak oknum yang tega mengorupsi bantuan untuk korban gempa dan tsunami baru-baru ini. Karakter Emak menjadi personifikasi oknum tokoh culas tersebut.
Secara cerdas, tim kreatif salah satu tayangan TV yang laris itu menggambarkan bahwa Emak beraksi tidak sendirian. Emak menyuap sebagian warga sekitar agar aksi penggelapan penyaluran bantuan tersebut lancar dan tidak ketahuan. Meski, akhirnya aksi itu ketahuan. Secara keseluruhan, cuplikan Sitkom Bajaj Bajuri tersebut cukup representatif membidik dan menyindir oknum-oknum yang tega menari di atas penderitaan para korban bencana alam.
Sinyalemen yang diangkat dalam sitkom itu, hendaknya, membuat kita mewaspadai oknum-oknum culas yang tega menggelapkan bantuan untuk korban bencana gempa dan tsunami di Naggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut), malapetaka yang terjadi 26 Desember 2004.
Kita harus bahu-membahu mengawasi dan mencegah bila ada oknum-oknum/pihak-pihak tertentu mengorupsi bantuan tersebut. Alangkah teganya, kita bisa mempertanyakan kesehatan hati nurani dan akal sehat mereka ketika korupsi tersebut terjadi.
Ada dua alasan sekurang-kurangnya kenapa dimungkinkan terjadi korupsi bantuan itu. Pertama, segelintir oknum memiliki nurani yang bebal. Indikasi suasana kejiwaan yang busuk itu, menurut istilah mantan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, adalah pikiran dan jiwa yang terkorupsi (corrupted mind). Betapa pun berita di media massa, baik cetak maupun elektronik, menayangkan acara-acara yang bertajuk ungkapan berbelasungkawa/berduka (condolence statement), semisal: Indonesia Menangis, Badai Pasti Berlalu, dan sebagainya, mental-mental corrupted mind dan bernurani bebal tersebut akan selalu dimungkinkan ada. Meskipun sudah jelas-jelas dilabeli: Bantuan untuk korban bencana alam! , dimungkinkan terjadi aksi korupsi oleh segelintir oknum ber-corrupted mind ini. Bisa jadi, mereka adalah oknum yang baru coba-coba korupsi karena situasi dan kesempatan, apalagi didukung kekuasaannya yang mutlak. Koruptor kelas kakap yang membobol uang negara jutaan, miliaran, bahkan triliunan rupiah memang bejat. Koruptor bantuan bagi korban bencana alam ini, meski dia koruptor dadakan, justru lebih bejat. Sebab, dia telah tega memakan hak yang sedianya diperuntukkan mereka yang sedang berduka, korban malapetaka alam yang mahadahsyat.
Kedua, korupsi terhadap bantuan untuk korban bencana alam itu dimungkinkan terjadi karena lemahnya pengawasan kepada pihak-pihak fasilitator penyaluran bantuan tersebut. Apalagi, penyaluran bantuan kemanusiaan itu terpusat di badan/instansi/perorangan tertentu. Bukannya, kita menuduh dan berprasangka buruk. Itu wujud kepedulian kita untuk memastikan bahwa penyaluran bantuan yang begitu mengalir -dipercayakan hampir seluruh rakyat Indonesia, bahkan dunia internasional, sampai utuh ke tangan yang berhak. Tidak berceceran, dimakan para koruptor-koruptor bantuan bencana yang lebih busuk dari apa pun. Kita harus mengingat ungkapan Lord Acton, Power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely (kekuasaan mendorong untuk korupsi dan kekuasaan yang mutlak mendorong korupsi yang gila-gilaan).
Untuk menghindari terjadinya penyelewengan bantuan korban bencana alam, khususnya NAD dan Sumut, kita harus bersatu mengawasinya. Hal itu dilakukan tanpa mengesampingkan pengawasan sistemik dan jaminan koordinasi langsung dari presiden RI untuk mencegah adanya kekuasaan terpusat yang memungkinkan terjadinya korupsi.
Ada baiknya pengelola/penyalur/fasilitator diupayakan selalu berupa komite bersama. Harus dipastikan bahwa mereka terdiri atas orang-orang yang kredibel, profesional, dan bermental kukuh, bukan yang menyimpan potensi corrupted mind.
Selanjutnya, saya sepakat dengan pendapat Ketua MPR Hidayat Nurwahid yang menekankan agar tidak terjadi korupsi bantuan untuk NAD dan Sumut itu, pihak pemberi bantuan harus