Korupsi Anggaran; Kepanikan di Garut [21/06/04]

Anggota DPRD Garut telah mengembalikan sebagian duit tunjangan yang diambil dari anggaran daerah. Tapi proses hukum jalan terus.

PARA politisi di DPRD Garut, Jawa Barat, yang selama ini amat kreatif mengutak-atik anggaran daerah, kini benar-benar tak berkutik. Jangankan merancang semacam pesangon menjelang akhir tugasnya, mereka justru sibuk mengumpulkan duit untuk dikembalikan ke negara. Kepanikan ini muncul setelah Kejaksaan Negeri Garut semakin serius mengusut korupsi yang melilit mereka.

Dilengkapi dengan sepucuk surat, awal pekan lalu Ketua DPRD Garut, Iyos Somantri, telah mengirim uang Rp 2,5 miliar kepada kejaksaan. Ini baru sebagian dari total uang negara Rp 6,6 miliar yang diduga dikorupsi secara berjamaah oleh anggota DPRD Garut. Jumlah yang kami serahkan masih bersifat sementara sambil menunggu perhitungan yang pasti, tulis Iyos dalam suratnya.

Salah satu Wakil Ketua DPRD Garut, Mahyar Suhara, mencoba mengemas ihwal pengiriman duit itu dengan bahasa yang lebih halus. Menurut dia, uang tersebut bukan pengembalian. Ini semata-mata itikad baik para anggota Dewan. Soal pengembalian, jumlahnya akan diputuskan oleh majelis hakim, ujar politisi dari PDIP tersebut.

Majelis hakim? Benar. Kejaksaan memang segera melimpahkan berkas perkara korupsi tersebut ke pengadilan. Targetnya, paling telat awal Juli mendatang berkas sudah harus dikirim. Kini kami sedang bekerja maraton memeriksa saksi-saksi, ujar Wienardi Darwis, Kepala Kejaksaan Negeri Garut. Ini bukan pekerjaan ringan karena yang diperiksa 45 anggota DPRD Garut.

Sejauh ini kejaksaan sudah menetapkan empat pimpinan DPRD Garut sebagai tersangka. Selain Iyos Somantri (Fraksi Partai Golkar), dan Mahyar Suhara, dua wakil ketua, Dedi Suryadi (Fraksi PPP) dan Encep Mulyana (Fraksi Reformasi) juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

Besar kemungkinan, sebagian besar anggota DPRD Garut juga akan dijadikan tersangka. Soalnya, mereka pun ikut menikmati dana yang dikorupsi dari anggaran daerah.

Perkara korupsi tersebut mulai menjadi urusan aparat hukum setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Garut melaporkannya ke kejaksaan pada September 2003. Modusnya seperti di daerah-daerah lain, lewat pembengkakan tunjangan bagi anggota DPRD dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Tunjangan wakil rakyat Garut yang dianggarkan pada 2001 sebesar Rp 1,3 miliar, lalu pada 2002 Rp 2,2 miliar, dan pada 2003 Rp 3,1 miliar. Totalnya Rp 6,6 miliar. Semua itu dinilai menyalahi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Dalam peraturan ini ditetapkan, tunjangan bagi anggota DPRD tidak boleh melampaui satu persen dari pendapatan asli daerah.

Selama ini pendapatan asli daerah Garut hanya Rp 30 miliar sampai Rp 35 miliar. Sehingga, seharusnya tunjangan buat anggota Dewan hanya Rp 300 juta sampai Rp 350 juta.

Sebetulnya peraturan tersebut sudah dianulir oleh Mahkamah Agung dua tahun silam karena dinilai bertabrakan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Soalnya, dalam undang-undang ini, daerah justru diberi keleluasaan untuk mengatur anggarannya.

Kendati begitu, kejaksaan tetap bisa menjerat anggota Dewan dengan UU Pemberantasan Korupsi. Apalagi tunjangan yang mereka anggarkan terasa di luar kepantasan dan menusuk rasa keadilan masyarakat. Dengan alasan ini pula, beberapa waktu lalu sebagian besar anggota DPRD Sumatera Barat yang melakukan korupsi serupa dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Di mata pengamat otonomi daerah, Andi Alfian Mallarangeng, anggota DPRD tidak bisa berlindung di balik UU Pemerintahan Daerah. Sebab, mereka telah menggunakan keleluasaan mengelola anggaran secara ngawur. Anggota DPRD cenderung menyalahgunakan kewenangan. Apalagi mereka merasa berkuasa atas kepala daerah, yang sewaktu-waktu bisa diancam lewat penolakan pertanggungjawabannya, kata Andi.

Kejaksaan Negeri Garut pun bertekad melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan kendati anggota DPRD telah mengembalikan duit. Proses hukum berjalan terus karena tindak pidana telah terjadi. Menurut Wienardi Darwis, itikad baik para anggota Dewan itu hanya akan berpengaruh pada ganjaran yang akan diputus hakim. Biasanya akan meringankan hukuman, katanya.

Darwis juga sempat mengutus sejumlah jaksa untuk belajar pada Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, yang pernah menangani kasus serupa. Dakwaan yang disusun jaksa di sana cukup ampuh sehingga anggota DPRD Sumatera Barat akhirnya dihukum. Mungkin ini pula yang membuat anggota DPRD Garut kian panik.

Endri Kurniawati, Juli Hantoro, Dwi Wiyana, Bobby Gunawan (Bandung), Febrianti (Padang)

Sumber: Majalah Tempo, No.17/XXXIII/21-27 Juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan