Korupsi Ancam Investasi
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mematok pertumbuhan ekonomi pada 2014 sebesar 7 persen atau lebih. Untuk mencapai target tersebut, semua pihak harus bekerja keras agar bisa menarik investasi total Rp 2.000 triliun setiap tahun (Jawa Pos, 12/11).
Sah-sah saja presiden mematok target sebesar itu. Namun, di tengah beragam peristiwa yang berkembang akhir-akhir ini, tampaknya, target tersebut kurang realistis. Misalnya, kebutuhan dana untuk 2010 sebesar Rp 2.000 triliun bisa disumbang oleh APBN sekitar Rp 200 triliun, dari ekspansi kredit perbankan bisa didapat dana sekitar Rp 450 triliun, lalu dari pasar modal Rp 450 triliun. Total, dari APBN, perbankan, dan pasar modal terkumpul Rp 1.100 triliun.
Kemudian, bila iklim bisnis membaik, dunia usaha bisa memberi Rp 400 triliun. Lalu, sisa Rp 500 triliun untuk menggenapi Rp 2.000 triliun harus ditutupi oleh arus modal asing, baik lewat portofolio maupun penanaman modal asing langsung. Berarti, kita butuh arus modal masuk neto sekitar 50 miliar dolar AS. Di tengah kondisi normal, jumlah arus modal seperti ini tak pernah tercapai pada tahun-tahun lalu.
***
Kalau dalam kondisi normal saja sulit dicapai, apalagi di tengah kondisi abnormal. Kita tentu sudah tahu, perseteruan atau pergelutan antara KPK versus Polri menguras segenap energi kita. Dalam perspektif ekonomi, pergelutan KPK versus Polri menimbulkan ketidakpastian hukum. Dampak nyatanya, dalam jangka panjang, hal itu memengaruhi iklim investasi. Sejumlah ekonom bahkan memprediksi, akibat kasus itu, investasi bisa berkurang separo (Jati Diri Jawa Pos, 10/11).
Memang, antara hukum dan ekonomi, keduanya saling berkorelasi. Misalnya, di tengah perseteruan KPK versus Polri, sebagian investor asing yang memarkir dananya di negeri kita justru sudah berancang-ancang mengalihkan dananya. Kita tahu, lebih dari 80 persen sektor pasar modal kita dimiliki asing. Bila perseteruan KPK versus Polri dibiarkan memanas, dana mereka bisa dialihkan secara tiba-tiba. Itu bisa menjadi masalah besar.
Selain di pasar modal, saat ini cukup banyak dana asing yang diparkir. Di antaranya dalam bentuk obligasi dan surat utang negara (SUN). September lalu, misalnya, ada obligasi senilai Rp 11,5 triliun yang dibeli asing. Padahal, Kepala Ekonom Bank Dunia William Wallace sudah mengingatkan, salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia dalam pemulihan krisis global adalah pembelian obligasi oleh pihak asing. Terkait dengan SUN, melihat tren yang ada, setidaknya mulai Januari-Oktober 2009, yang sudah keluar atau kerap disebut hot money mencapai triliunan rupiah.
Ada beragam faktor dana itu tidak diparkir lagi di negeri kita. Di antaranya, ketidakpastian hukum dan standar pelayanan. Kita melihat masyarakat merasa dilukai oleh permainan para aparat hukum. Intinya, belum ada kepastian hukum. Segalanya masih serba tidak pasti di negeri ini. Akibatnya, para investor atau pengusaha tidak punya kepercayaan lagi. Sebagian investor justru mengalihkan modalnya ke negara lain.
Selain itu, faktor ketidakseragaman pelayanan bisa menjadi kendala. Menteri Perdagangan Inggris Lord Davies, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu (4/11), mengeluhkan kecepatan pelayanan dan perizinan yang tidak seragam dan amat berbeda di seluruh Indonesia.
Dengan kata lain, Lord Davies boleh jadi mengeluhkan faktor korupsi, terlebih ketika investor berususan dengan birokrasi kita. Ketidakseragaman itulah yang memunculkan celah untuk korupsi yang menjengkelkan para investor.
***
Karena itu, selama kita menggantungkan pemberantasan korupsi pada lembaga negara, sedangkan mentalitas kita secara personal tidak berubah sama sekali, kita tidak akan melihat Indonesia yang ramah terhadap investasi. Selama korupsi tetap marak, jelas butuh waktu bertahun-tahun untuk mendatangkan investasi seperti yang ditargetkan.
Kita jelas masih butuh lembaga negara yang kredibel seperti KPK untuk pemberantasan korupsi. Tapi, perubahan mental, perubahan hati, atau reformasi total di lembaga hukum, khususnya kepolisian, kejaksaan, dan peradilan, harus dilakukan. Dengan demikian, praktik korupsi bisa dihentikan.
Apalagi, tren global menunjukkan, dunia saat ini sedang muak-muaknya pada korupsi. Di sektor dunia usaha, kini banyak perusahaan multinasional enggan menyuap para birokrat di dunia ketiga, seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu. Sebab, prinsip berkompetisi secara ''fair play'' lebih diutamakan.
Dulu, suap dan korupsi menjadi bermanfaat karena masih kuatnya kekuasaan atau politik yang neofeodal dan korup yang terbukti hanya menyejahterakan sebagian kecil orang. Para pengusaha yang sportif kini mulai malas menyuap karena banyak LSM dan pengawasan di tengah praktik hidup berpolitik yang kian transparan.
Apalagi, dengan menyuap, belum ada jaminan bahwa usahanya akan lancar. Etika bisnis juga mulai dijunjung tinggi, sehingga korupsi dianggap sebagai tindakan tidak etis yang merugikan orang banyak. Korupsi menjadi biang bagi kemiskinan dan terhambatnya negara untuk mencapai kemajuan.
Yang lebih penting, presiden harus turun tangan dengan memihak suara rakyat guna menyelesaikan perseteruan KPK-Polri agar pemerintahan ini bisa dipercaya, termasuk oleh para calon investor.
Restu Iska Anna Putri , praktisi Ekonomi Moneter
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 13 November 2009