Korupsi, Amuk Massa, dan Dagelan Hukum

Dua bulan terakhir ini kerumunan massa yang kemudian meningkat menjadi amuk massa, yang disulut oleh tindak korupsi muncul di sejumlah tempat. Misalnya di Temanggung, selain amuk massa juga disertai pengunduran diri secara berjemaah sejumlah pegawai negeri, mewarnai proses pemeriksaan Bupati Totok Ary Prabowo yang diduga korupsi. Dan yang terakhir terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) (28/3). Pengerahan massa, yang acap kali berujung pada tindak kekerasan massal menjadi tontonan yang setiap saat bisa disaksikan di Indonesia. Massa, telah menjadi alat pembenaran dan disodorkan sebagai simbol kebenaran yang selalu dipaksakan dalam setiap proses penyelesaian masalah.

Peristiwa penggusuran, pemilihan kepala daerah, kongres partai, proses pengadilan, pro-kontra isu tertentu, hampir selalu diwarnai dengan pengerahan massa, yang dengan mudah berubah menjadi amuk massa (mob) yang beringas, agresif, dan destruktif. Dalam peristiwa ini, apa pun bentuk dan motifnya, massa dimunculkan sebagai simbol 'kepentingan umum', yang merasa sah untuk memaksakan kehendak.

Massa ada yang terorganisasi, ada yang terkumpul karena peristiwa tertentu. Massa yang terorganisasi biasanya dikendalikan oleh operator-operator lapangan yang mengarahkan bagaimana dan sejauh mana massa harus bertindak. Tetapi massa yang tidak terorganisasi jauh lebih gampang berubah menjadi amuk massa (acting mob). Kerusuhan atau tindakan agresif massa ada yang sengaja diciptakan, tetapi ada juga yang sebagai respons terhadap kondisi lapangan saat itu.

Dari segi tujuan, massa dikumpulkan untuk memberikan tekanan dalam suatu proses sosial tertentu. Sebagian massa ada yang terang-terangan mengusung simbol-simbol identitasnya, ada yang menampilkan simbol-simbol identitas yang sengaja dibuat untuk menyembunyikan identitas sejatinya, atau agar dapat memberikan stigma kepada identitas kelompok tertentu, tetapi ada juga yang melakukan aksi sama sekali tanpa identitas jati diri yang jelas.

Kerumunan massa selalu ditandai oleh ciri-ciri anonimitas, impersonalitas dan sugestibilitas. Anonimitas ini memindahkan identitas dan tanggung jawab individual ke dalam identitas dan tanggung jawab kelompok. Akibatnya perilaku individu dalam massa ini bisa sangat berani, tidak rasional, agresif, destruktif, pendeknya tidak bertanggung jawab, karena dia tidak merasa bertindak sebagai individu dan tidak akan dimintai tanggung jawab sebagai individu.

Hubungan antarindividu di dalam massa maupun dengan individu di luar massa (misalnya aparat polisi yang mengamankan aksi unjuk rasa) menjadi sangat impersonal. Boleh jadi mereka bertetangga, berkawan atau malah mempunyai hubungan darah. Tetapi ketika massa yang berbeda berhadapan hubungan-hubungan itu kemudian menjadi larut dalam situasi impersonal antagonis. Seorang aktivis mahasiswa yang sedang berunjuk rasa sangat mungkin terlibat adu mulut, bahkan bentrok fisik dengan bapaknya, polisi yang sedang bertugas mengamankan aksi.

Ciri ketiga kelompok massa adalah sifat sugestif dan menularnya. Ucapan atau tindakan yang dilakukan oleh salah satu individu (apalagi kalau dia yang dianggap sebagai pimpinan aksi), bisa sangat sugestif dan mempunyai daya penularan yang sangat kuat bagi individu-individu lain. Ketiga ciri kelompok massa, anonimitas, impersonalitas dan sugestibilitas itu bersama-sama bisa menggiring terciptanya tindak kekerasan, agresivitas, dan perusakan atau amuk massa.

***

Dalam kasus NTB di atas, massa datang dalam jumlah ribuan orang dengan kendaraan angkut truk dari berbagai arah ke kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB yang sedang mengusut kasus dugaan korupsi dengan tersangka sembilan orang mantan anggota DPRD NTB. Massa tanpa identitas jelas ini kemudian serentak melakukan penyerangan dan perusakan kantor Kejati NTB, dan menuntut agar para mantan anggota Dewan yang sejak 22 Maret 2005 ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Mataram, dibebaskan. Mereka menganggap Kejati pilih kasih, karena ada orang-orang lain yang terlibat dalam kasus yang diperiksa Kejati, dan menurut mereka lebih patut dimintai pertanggungjawaban malah tidak diapa-apakan. Memang dalam beberapa kesempatan, para tersangka ini kepada wartawan menyampaikan, mantan Ketua DPRD NTB, yang saat ini menjadi Gubernur NTB, semestinya juga diusut.

Apa pun alasan mereka, tuntutan mereka ini sangat negatif bagi dukungan rakyat terhadap aparat penegak hukum untuk mengusut kasus-kasus korupsi. Kalau memang mereka menilai ada pihak yang lebih patut diperiksa, semestinya aksi ditujukan untuk mendorong aparat penegak hukum mengusut tokoh-tokoh yang belum ditindak itu. Dari pemikiran ini, jelas bahwa aksi massa bukan bertujuan menjalankan mekanisme kontrol sosial agar penegakan hukum terhadap para tersangka pelaku korupsi dilakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu, tetapi justru sebaliknya.

Cerita di atas memberikan gambaran kepada kita betapa penegakan hukum di negeri ini masih sangat rapuh dan rentan dengan berbagai intervensi. Pemerintah sekarang, yang sejak awal telah menabuh genderang perang terhadap korupsi dan bertekad memberantas dan menindak para pelaku korupsi, sekali lagi menghadapi kendala besar.

Di samping kendala-kendala intervensi politis yang sudah sering terjadi, belakangan ini muncul fenomena baru aksi unjuk rasa untuk menentang pengusutan tindak pidana korupsi seperti yang terjadi di NTB mau pun aksi massa menghujat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menerapkan asas retroaktif dalam kasus Abdullah Puteh. Fenomena ini agak aneh, dan mungkin mengejutkan bagi pemerintah, karena tidak terbayangkan sebelumnya bakal timbul reaksi negatif terhadap proses penegakan hukum terhadap tindak korupsi, yang justru muncul dari masyarakat dalam bentuk penentangan.

Keunikan fenomena terakhir ini terletak pada isunya, menentang proses penegakan hukum dalam kasus korupsi. Biasanya aksi massa dikerahkan untuk menggalang dukungan dalam peristiwa-peristiwa politik, atau kalau berkaitan dengan hukum lazimnya adalah dalam bentuk dukungan rakyat atas proses penegakan rasa keadilan masyarakat. Dalam kasus-kasus korupsi, umumnya unjuk rasa massa digelar sebagai wujud dukungan atau desakan kepada aparat penegak hukum untuk lebih bertindak tegas.

Dari peristiwa amuk massa di NTB itu, kita makin disadarkan pada kenyataan, bahwa massa di Indonesia bisa dikerahkan untuk kepentingan apa pun dan oleh siapa pun. Tingkat efektivitasnya pun kadang-kadang terbukti sangat tinggi dalam mempengaruhi keputusan-keputusan politik dan hukum. Alasan penangguhan penahanan para tersangka demi situasi di NTB ke depan, mungkin saja dimaksudkan untuk menghindarkan NTB dari kerusuhan massa yang lebih besar, apalagi kalau kemudian massa tidak hanya dikerahkan oleh satu kelompok saja, tetapi oleh beberapa kelompok yang berbeda kepentingan menyikapi upaya Kejati NTB membongkar dugaan tindak korupsi di sana. (Hasto Atmojo S, Pengajar Universitas Nasional, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 13 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan