Korupsi 2005, Bagaimana Mencegahnya?

Pada pengujung 2004 lalu, Indonesia berduka dengan terjadinya bencana tsunami di Aceh. Namun, tidak ada jaminan bahwa bantuan rakyat ataupun negara untuk korban tidak dikorupsi oleh bangsa kita sendiri. Korupsi telah terjadi di mana-mana, tak mengenal ruang dan waktu, tak mengenal kepedihan dan tangisan.

Korupsi telah merugikan hak asasi manusia dan hak-hak konstitusional bangsa, dari bidang ekonomi, sipil, politik, sosial, hingga budaya, yang dijamin secara tegas oleh UUD 1945. Cita hukum (rechtsidee) bangsa ini bahwa adil dan makmur guna mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pembukaan UUD 1945) telah terzalimi.

Pada kondisi inilah korupsi sesungguhnya adalah perilaku, tindakan, atau kebijakan yang telah menganiaya konstitusi. Karena itu, korupsi bukan hanya sebuah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), melainkan juga merupakan kejahatan terhadap konstitusi (crime against constitution).

Korupsi adalah tanggung jawab pidana setiap orang, yang tidak membutuhkan fakta bahwa negara tersebut menderita kerugian. Cukup dengan dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara (potential loss), hal tersebut sudah merupakan korupsi. Korupsi juga tidak mutlak memperkaya diri sendiri saja. Memperkaya orang lain juga adalah korupsi (Pasal 3 dan 4 UU Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi). Inilah satu makna korupsi berjemaah seperti istilah Saldi Isra, penerima Bung Hatta Anticorruption Award.

Tahun lalu, menurut hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan, di hampir semua organ negara terjadi korupsi. Mungkin pertanyaan retoris timbul apakah organ pemilik otoritas konstitusi pemeriksa keuangan bersih dari korupsi itu sendiri. Mungkin bukan saatnya untuk saling menuduh, melainkan mencari solusi guna menjalani tahun 2005 ini.

Karena itu, semua komponen bangsa pada tahun ini, dari puncak kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, penyelenggara negara lainnya, masyarakat sipil, sampai komponen bangsa lainnya, haruslah bersinergi guna memerangi korupsi. Satu hal, tanpa keinginan kuat dan implementasi dari puncak kekuasaan, mustahil korupsi dapat diberantas.

Aksi pencegahan
Dalam tulisan ini, saya akan memberikan beberapa aksi pemberantasan korupsi dalam organ-organ negara. Pertama, pada intinya korupsi bersemayam di bawah rezim kerahasiaan. Kalau organ negara masih memberhalakan takhta kerahasiaan, sulit mengingkari adanya kecurigaan telah terjadi korupsi di dalamnya. Karena itu, transparansi penggunaan anggaran sedetail mungkin mutlak diperlukan. Sebab, transparansi dapat menggambarkan akuntabilitas itu sendiri.

Suatu penggunaan anggaran yang memiliki rasio akuntabilitas, dalam arti penggunaannya tepat guna dan sasaran, tidak dapat dikategorikan korupsi. Dalam arti tidak terjebak dengan kultur budget driven yang membuat anggaran negara dihabis-habiskan hanya karena budget tersedia, padahal tidak berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi lembaga alias penggunaan anggarannya tidak berbasis kinerja. Karena itu, setiap lembaga negara pada tahun ini segera mengumumkan pos-pos alokasi dan pagu anggarannya sedetail dan seoptimal mungkin melalui media atau melalui situs masing-masing organ negara.

Kedua, sebuah organ negara sebaiknya menerapkan sistem pengawasan penjuru mata angin, yaitu secara vertikal (atas-bawah dan bawah-atas) dan secara horizontal. Prinsip utama sistem ini, membiarkan korupsi adalah korupsi itu sendiri (corruption by omission). Jadi, pengawasan tidak hanya dari atasan terhadap bawahan seperti selama ini, tapi diperluas, yaitu bawahan terhadap atasan atau kolega horizontal harus melakukan pengawasan.

Konsekuensinya, jika terdapat korupsi, tanggung jawab korupsi dapat juga menjerat atasan, bawahan, ataupun kolega kerja sebagai akibat dari tidak dilakukannya pencegahan, yaitu mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi bahwa bawahan, atasan, atau koleganya sedang melakukan atau baru saja melakukan korupsi dan tidak melakukan tindakan layak untuk mencegah atau menghentikan korupsi tersebut atau melaporkannya kepada pihak yang berwenang.

Ketiga, meningkatkan kesejahteraan pegawai organ negara. Mayoritas pegawai organ negara adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang gajinya boleh dikatakan zalim. Hal ini mendorong potensi korupsi. Rasanya tidak manusiawi ketika mengancam pegawai negeri yang melakukan korupsi akan langsung dipecat (stick), sementara penghasilannya sedikit. Karena itu, sistem kepegawaian dan penggajiannya harus direformasi agar penghasilannya dapat meningkat (carrot).

Hal ini bisa dimulai pada kekuasaan kehakiman yang memiliki ruang hukum untuk itu guna menghindari korupsi peradilan ataupun birokrasi. Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) tidak mengharuskan pegawainya menjadi PNS (Pasal 12 UU Nomor 24/2003 tentang MK dan Pasal 25 UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan UU Nomor 14/1985 tentang MA), melainkan menjadi pegawai lembaga itu sendiri. Eksplisit bahwa organisasi dan personalia, administrasi, bahkan keuangan bergantung pada usulan kedua lembaga itu sendiri, yang akan dibingkai dengan keputusan presiden. Berbeda dengan institusi eksekutif dan legislatif yang menyebut secara tegas bahwa pegawainya adalah PNS (Pasal 99 UU Nomor 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta berbagai undang-undang lembaga eksekutif lainnya).

Perbedaan inilah yang menunjukkan bahwa independensi dunia peradilan memang telah dikreasikan, yang tidak hanya independen dalam putusan, tapi juga dalam hal organisasi, personalia, administratif, dan anggarannya. Bagaimana mungkin aparatur negara yudikatif juga merupakan aparatur eksekutif? Tentunya hal ini bukanlah logika independensi yang dapat menyeret dunia peradilan tersubordinasi oleh eksekutif.

Sebagai institusi yudikatif, mereka sebaiknya segera mengubah struktur organisasi, personalia, dan administrasi yang mencantumkan PNS menjadi pegawai lembaga itu sendiri agar dapat memiliki otonomi penggunaan anggaran yang tetap sejalan dengan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dengan begitu, penggajian pegawai dapat berbasis kinerja dan merit system, sehingga kesejahteraan pegawai yang sah dan halal dapat tercipta.

Keempat, perlu meninjau segala regulasi penggunaan anggaran pada level praktis, yaitu keputusan presiden, keputusan menteri, dan surat keputusan direktur jenderal yang mengatur penggunaan anggaran negara. Sebagai contoh, ada regulasi, mungkin pada tataran menteri, menyebutkan bahwa penggunaan anggaran perjalanan dinas (SPJ) sekitar Rp 250-500 ribu per hari. Kalau seorang pejabat negara keluar daerah selama tiga hari, pejabat tersebut harus nombok untuk menginap semalam di hotel saja. Pada keadaan ini, otoritas anggaran di lembaga negara tersebut biasanya akan menyiasati dengan menulis 3-6 hari agar mencukupi. Pada sisi ini, bisa dipahami mengapa harus disiasati, tapi budaya penyiasatan ini tidak bisa dipelihara karena siasat akan berujung pada praktek fiktif yang menjadi bom waktu korupsi.

Konsep ketiga dan keempat di atas sebenarnya telah diperintahkan oleh Presiden Yudhoyono melalui Inpres Nomor 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi: bahwa Menteri Keuangan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara segera mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara yang dapat membuka peluang terjadinya praktek korupsi sekaligus menyiapkan rancangannya dan melakukan pengkajian bagi perbaikan sistem kepegawaian negara.

Terakhir, segera membentuk badan pengawas internal untuk mengawasi perilaku organ negara. Namun, jangan seperti inspektorat jenderal di departemen-departemen. Sebab, mustahil kita dapat mengawasi diri kita sendiri. Harus dilibatkan unsur eksternal yang sifatnya independen yang dikoordinasi (tidak disubordinasi) oleh pemegang otoritas puncak organ negara tersebut yang melaporkan kinerjanya langsung ke publik. Kalau disubordinasi oleh lembaga tersebut, sekali lagi, mustahil bawahan akan tegas mengawasi atasannya kecuali jika pola pembiaran korupsi juga telah dikriminalisasi.(A. Irmanputra Sidin, Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 7 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan