Korps dan Korupsi
Belakangan ini semangat pembelaan korps tampak kuat menyala. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana korps Kejaksaan Agung bereaksi keras atas sebutan kampung maling oleh anggota DPR dalam rapat kerja mereka. Kini korps pajak melalui Dirjen Pajak juga bereaksi serupa atas tulisan Kwik Kian Gie dan pernyataan Faisal Basri mengenai kebocoran pajak (potential tax lost). Ancaman somasi Dirjen Pajak bahkan telah memaksa Kwik Kian Gie untuk meminta maaf.
Fenomena ini menarik karena keduanya punya esensi cerita yang sama. Di satu sisi ada tuduhan mengenai praktik korupsi yang melembaga di dalam korps tertentu, sedangkan di sisi lain ada pembela panji- panji korps yang bereaksi atasnya. Pertanyaannya kemudian adalah apakah reaksi keras para pembela panji korps itu sama dengan sebuah jaminan bahwa tidak ada korupsi sama sekali di lembaga- lembaga ini?
Pertanyaan ini bisa diperluas lagi, yakni apakah negeri ini memang sudah menjelma menjadi corruption-free country? Sayangnya, itu masih jauh panggang dari api. Wacana publik, proses pengadilan, bukti-bukti akademik, dan pengalaman empiris yang berulang justru mengentalkan citra kita sebagai negeri kleptokratik.
Negeri kleptokratik tidak lain adalah kampung maling atau sarang penyamun-meminjam istilah Prof Anwar Nasution untuk Bank Indonesia (BI) dulu ketika ia masih menjadi Deputi Senior Gubernur BI. Kini posisi Anwar Nasution sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) seharusnya memberinya wewenang lebih besar untuk dapat memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan aparat pemerintah dan lembaga-lembaga yang dibentuk negara. Tentu bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seperti pada kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sedang hangat saat ini.
Setor ke atasan
Pembuktian mengenai pergerakan Indonesia menuju negeri kleptokratik sesungguhnya bisa dilakukan. Harian Kompas di minggu terakhir Maret hingga awal April 2005 secara intensif menurunkan laporan mengenai pungutan gila-gilaan di pelabuhan. Namun, kita tahu pelabuhan sebetulnya cuma noktah kecil dalam populasi aktivitas korupsi. Laporan itu pun hanya menangkap fenomena yang muncul di permukaan. Mudah diduga, lebih dalam daripada itu-tetapi tak terlihat-korupsi bisa jauh lebih hebat.
Laporan menarik lain bisa disimak pada harian The Jakarta Post (10/12/2004)- mungkin perlu juga Dirjen Pajak membacanya. Dalam laporan itu digambarkan seorang petugas pajak, berusia 27 tahun, keluaran sekolah keuangan ternama di Jakarta, mampu membeli BMW seri 5. Penghasilan resminya tiga juta rupiah per bulan, tetapi take home income-nya per tahun mencapai 500 juta rupiah.
Cara ia mengakumulasi kekayaan lebih kurang serupa dengan apa yang dituturkan Kwik Kian Gie. Namun, yang menarik adalah cara dia mendistribusi hasil korupsi itu di kantor pajak. Menurut pengakuannya, pemungut pajak mendapat 25 persen, koordinator 15 persen, kepala seksi 25 persen, dan kepala kantor 30 persen-ia tak menyebut ke mana 5 persen yang tersisa. Lebih seru lagi laporan itu menyebut,