Koordinasi-Supervisi KPK Belum Berjalan Maksimal

Korsup – singkatan dari koordinasi-supervisi, adalah fungsi yang dijalankan KPK bersama kepolisian dan kejaksaan. Ia sama pentingnya dengan penindakan. Tapi hingga saat ini, pelaksanaan korsup belum optimal. Rupanya, isi Surat Kesepakatan Bersama yang mengatur korsup bermasalah.

“Dari ribuan kasus yang masuk ke KPK setiap tahun, Divisi Korsup KPK hanya punya enam orang petugas,” ujar Tama S. Langkun, peneliti ICW, dalam konferensi pers di kantor ICW, Jumat (29/11) lalu.  

Jumlah tenaga yang sangat minim dengan beban kerja yang berat menjadikan korsup belum bisa dikelola dengan memadai.

Sejak awal, KPK memang tidak didesain untuk memberantas korupsi seluruh Indonesia sendirian. Justru, KPK dirancang untuk memicu penanganan kasus korupsi di lembaga penegak hukum lain, yaitu kepolisian dan kejaksaan. KPK juga tidak boleh memonopoli penanganan kasus korupsi. Selain itu, koordinasi antar ketiga lembaga ini sangat krusial.

Tahun 2012 lalu, jumlah laporan kasus dugaan korupsi yang masuk ke KPK berjumlah 6.327 kasus. Dengan jumlah perkara sebanyak ini dan terbatasnya jumlah tenaga di KPK, fungsi korsup membantu KPK menangani perkara dengan melibatkan kejaksaan dan kepolisian.

“Korsup tidak kalah penting dengan penindakan. Kasus yang sulit bisa dibantu oleh KPK,” ujar mantan komisioner KPK Erry Riyana Hardjapamekas yang hadir dalam kesempatan yang sama.

“Kata koordinasi itu mudah diucapkan, tapi sulit dikerjakan karena spektrum pekerjaannya lebar sekali. Tapi, pemberantasan korupsi bisa jauh lebih efektif lewat korsup. Ini bukan mandat main-main,” tukas Erry.

“Dari tiga tempat yang dipantau ICW yaitu Kalimantan Timur, Riau, dan Nusa Tenggara Barat, penanganan perkara lewat korsup nggak jelek-jelek banget,” ujar Tama. “Misalnya, ada 62 kasus yang sudah vonis, dan 30 kasus masuk penuntutan.”

Menurut Tama, kira-kira 47,9% perkara yang ditangani KPK dengan kepolisian dan kejaksaan via korsup, sebagian besar masuk ke persidangan. “Lumayan. Tapi ini baru tiga tempat,” ujar Tama mengingatkan.

Sayangnya, peningkatan status kasus yang dikoordinasi dan supervisi oleh KPK terjadi setelah lebih dari 4 tahun sejak kasus tersebut diproses hukum. “Pelaksanaan korsup di daerah masih terkesan tebang pilih. Aparat lokal juga masih cenderung setengah hati melakukan korsup dengan KPK,” kata Tama.

Walau, Tama mengakui bahwa mungkin ini masalah komunikasi dan ego sektoral. “Misalnya, saat polisi sebagai yang lebih tua dan lebih lama, menghadapi orang KPK-nya jabatannya di bawah dia. Contoh lain, tim korsup yang datang belum pernah jadi kajati tapi yang diasistensi kajati,” ujar Tama mencontohkan. “Ini yang menurut saya agak meleset.”

Selain itu, aturan teknis pelaksanaan korsup antar lembaga juga belum dibuat.  “Tidak ada mekanisme reward and punishment jika aparat melakukan atau tidak melakukan fungsi korsup,” tambah Tama.

KPK juga belum menyerap dana korsup dengan maksimal. Tahun lalu, anggaran yang tersedia untuk korsup mencapai Rp 24,1 miliar. Tetapi, penyerapannya baru Rp 3,09 miliar atau 12,8%.

“Padahal kalau mendengar cerita-cerita teman kepolisian dan kejaksaan di daerah, mereka butuh bantuan. Itu sebenarnya bisa dan boleh dilakukan. Harapan kita, KPK bisa memayungi teman-teman kepolisian dan kejaksaan,” ujar Tama.

“Pelaksana fungsi korsup juga masih bingung karena terdapat sejumlah substansi SKB yang dianggap bertentangan dengan UU KPK,” jelas Tama.

SKB Korsup bermasalah

Surat Kesepakatan Bersama (SKB) yang disepakati KPK bersama kejaksaan dan kepolisian dan mengatur fungsi koordinasi-supervisi ketiga lembaga, memang bermasalah. Ini membuat aparat terlihat gamang dalam menjalankan fungsi korsup. Beberapa masalahnya sebagai berikut.

Pertama, kesepakatan tidak berjalan akibat komitmen masing-masing institusi untuk menjalankan SKB tidak kuat.

Kedua, pembentukan dan penanggung jawab sekretariat bersama tidak jelas.

Ketiga, Kejaksaan dan Kepolisian tidak memiliki unit koordinasi dan supervisi maupun unit pencegahan pemberantasan korupsi.

Keempat, KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian belum menyusun petunjuk pelaksanaan (juklak) atau petunjuk teknis (juknis) untuk pelaksanaan SKB. “Harusnya diatur lebih spesifik, apalagi sekarang KPK punya anggaran sumber daya yang cukup. (Anggaran) kejaksaan dan kepolisian juga meningkat,” jelas Tama.

Kelima, tidak jelasnya pengawas atau evaluator terhadap implementasi Kesepakatan Bersama.

Contoh "melesetnya" pelaksanaan koordinasi-supervisi, pada kasus korupsi pengadaan simulator SIM beberapa waktu lalu, dimana kepolisian bersikeras menangani karena telah menetapkan tersangka lebih dahulu.

“Padahal, undang-undang memandatkan siapapun yang duluan, kalau KPK ada alasan ambil alih, silakan. Tapi ‘kan kepolisian bertahan. Ini jadi friksi, tabrakan antara UU dan SKB,” ujar Tama.

Maka, ICW meyakini bahwa SKB harus direvisi untuk optimalisasi pemberantasan korupsi oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan. “Juga untuk menghindari terulangnya konflik antar penegak hukum sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2012 lalu,” ujar Tama.

Presiden SBY sebenarnya sudah menghimbau agar SKB diperbaharui pada 8 Oktober 2012. “Sudah setahun, tidak ada perbaikan. Ini PR buat presiden,” tegas Tama.

ICW merekomendasikan agar Ketua KPK, Kapolri, Jaksa Agung untuk segera merevisi SKB. “Tapi, revisi SKB dilakukan secara terbatas. Hapus yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, pertahankan yang bagus, dan tambah subtansi penting,” ujar Tama.

Erry juga meyakini, revisi isi SKB harus dilakukan untuk meredam konflik kepentingan. “Karena, tidak mustahil suatu hari nanti KPK menangani aparatnya sendiri,” kata Erry. “Soal penanganan kasus harus dirinci sampai paling detail.”

Ketua KPK, Kapolri, dan Jaksa Agung juga harus memastikan SKB dapat dilaksanakan dengan konsisten dan berkesinambungan.  “Kualitas penanganan perkaranya juga harus ditingkatkan,” ujar Tama.

Menurut Erry, komunikasi antar pimpinan KPK, kepolisian, dan kejaksaan, harus terus dijalin agar korsup dapat berjalan baik. “Perlu kesungguhan, ketulusan kepolisian dan kejaksaan untuk dikordinasi dan disupervisi sama KPK. Visinya harus sama, memberantas korupsi,” kata Erry.

“Kata koordinasi itu mudah diucapkan, sulit dikerjakan karena spektrum pekerjaannya lebar sekali. Tapi, pemberantasan korupsi bisa jauh lebih efektif dengan adanya korsup dan ini tidak kalah penting, bukan mandat main-main,” Erry mengingatkan.

Presiden SBY juga harus menjadikan revisi SKB sebagai bagian Instruksi Presiden tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi untuk tahun 2014

“Jika SKB tidak diperbaiki, pemberantasan korupsi akan  stagnan, tidak akan berubah.” tutup Tama.

Unduh kajian ICW tentang SKB Optimalisasi Pemberantasan Korupsi (Fungsi Koordinasi-Supervisi KPK). 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan