Koordinasi Antar Penegak Hukum Harus Lebih Intensif

Upaya penanganan kasus korupsi masih bersifat sporadis, berjalan sendiri-sendiri sehingga hasilnya tidak maksimal. Jajaran aparat penegak hukum harus bekerjasama dan berkoordinasi agar upaya penindakan maupun mencegahan korupsi lebih baik.

Korupsi terlalu besar untuk ditangani sendiri. Saat ini, publik lebih banyak berharap kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengatasi korupsi. Besarnya kepercayaan publik, tidak diimbangi dengan sumberdaya KPK untuk menangani seluruh laporan yang masuk. Dari 45.301 laporan kasus yang diterima pada 2010,KPK hanya dapat menangani 6,36 persen atau 2.849 kasus.

Bagaimana dengan ribuan kasus yang lain? KPK telah mendelegasikan 4.334 kasus atau 9,67 persen kasus kepada aparat penegak hukum lain. KPKdalam hal ini melakukan fungsi koordinasi dan supervisi kasus untuk ditangani Kepolisian dan Kejaksaan.

“Saat ini terjadi desentralisasi korupsi, berjalan seiring dengan desentralisasi kekuasaan. KPK tidak akan mampu menangani semua, harus bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan,” terang Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam seminar ‘Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui Fungsi Koordinasi dan Supervisi KPK’,  di Hotel Ritz Carlton Jakarta, Kamis (27/10/2011).

Febri menekankan pentingnya kerjasama antar aparat penegak hukum agar dapat lebih cepat membongkar kasus korupsi secara bersama-sama.

Febri mencontohkan, koordinasi telah dilakukan secara efektif dalam penanganan kasus korupsi penyalahgunaan dana kas daerah Kabupaten Situbondo TA 2005-2007 dengan nilai kerugian Negara Rp 43,84 miliar. Polda Jawa Timur telah menetapkan 9 tersangka, satu diantaranya Bupati Situbondo. Ketika penanganan berkas Bupati sulit diselesaikan akibat terhambat ijin presiden, Polda menyerahkannya kepada KPK yang tidak memerlukan ijin presiden. “Hasilnya, 9 tersangka berhasil divonis,” ujar Febri.

Koordinasi dan supervisi, sayangnya, tidak dapat dilakukan terhadap seluruh kasus yang ditangani KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Diantara factor penghambat, masih besarnya ego sektoral aparat penegak hukum untuk dapat bekerjasama. Ada sejumlah pihak yang menganggap KPK terlalu mendominasi dan memonopoli penanganan kasus. “Karena itu, perlu aturan lebih detail mengenai kapan sebuah kasus bisa diambil alih atau disupervisi,” tukas Febri.

Koordinasi dan supervisi, menurut Direktur Penyidikan  pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Arnold Angkow, telah dilakukan antara KPK dengan Kejaksaan. Namun dalam beberapa kasus, koordinasi sulit dilakukan karena ada arogansi kewenangan antar aparat penegak hukum.

Arnold melihat koordinasi ini penting dilakukan sejak dalam proses penyelidikan dan penyidikan, agar bukti yang dikumpulkan lebih kuat dan lengkap. “Banyak terdakwa kasus korupsi bebas, karena kualitas penyelidikannya sangat buruk. Keberhasilan  suatu kasus sangat ditentukan saat penyidikan. Kalau alat buktinya tidak sempurna, buktinya tidak kuat, JPU tidak dapat menyajikan tuntutan yang kuat,” terang Arnold.

Sementara itu Direktur III Tipikor Bareskrim Mabes Polri Brigjen Ike Edwin menyatakan pentingnya penyelarasan sistem hukum agar Kepolisian dapat lebih efektif bekerja. Saat ini, menurut Edwin, aparat kepolisian terkendala sistem hukum dan rendahnya anggaran untuk penyelidikan dan penyidikan.

“Kinerja Kepolisian sudah meningkat, hingga bulan Oktober tahun ini sudah menangani 94 persen dari target penanganan kasus hingga ke tahap P21 meski pendanaan terbatas,” ujar Edwin.

Sistem hukum yang melemahkan Kepolisian, misalnya, Kepolisian hanya punya kewenangan hingga tahap penyelidikan dan penyidikan, dan harus melimpahkan ke Kejaksaan untuk tahap penuntutan. Selain itu, Kepolisian juga terkendala ijin presiden saat menangani kasus kepala daerah.

Terkait penanganan kasus kepala daerah, Edwin meminta KPK membantu proses agar lebih cepat karena tidak perlu menunggu ijin presiden.“KPK tidak perlu mengambil-alih, tapi hanya mengkoordinasi saja, ada satu atau dua orang yang masuk ke tim sprindik, agar proses lebih cepat. Istilahnya join investigasi,” tukas Edwin.

Menanggapi tawaran ini, Pimpinan KPK Chandra M hamzah menolak. Menurutnya, KPK hanya dapat melakukan koordinasi dan supervisi terhadap satu kasus namun tidak boleh terlibat dalam penanganan kasus di Kepolisian maupun Kejaksaan. Yang bisa dilakukan adalah pengambilalihan penanganan kasus ketika terjadi hambatan. “Nanti akan ada masalah hukum jika KPK masuk ke dalam tim,” pungkas Chandra. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan