Kontroversi Vonis MA untuk Nurdin Halid

MAHKAMAH Agung (MA) akhirnya memutus perkara distribusi minyak goreng Bulog dengan terdakwa Nurdin Halid dengan 2 tahun penjara dan denda Rp 30 juta subsider 6 bulan kurungan.

Yang mengejutkan, pengumuman atas putusan perkara ini dilakukan hanya jelang 2 hari setelah Nurdin Halid dilantik oleh Pimpinan DPR sebagai anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar menggantikan posisi Andi Matalatta yang menjadi Menteri Hukum dan HAM.

Kontroversi pun merebak hingga ke Istana Negara. Presiden SBY bahkan dituding tidak hati-hati dalam mengeluarkan surat keputusan untuk pengangkatan anggota DPR RI. Presiden, menurut juru bicaranya Andi Malarangeng tidak dapat dipersalahkan karena hanya mengikuti usulan Pimpinan DPR RI.

Kasus Nurdin Halid memang bukan yang pertama. Hal yang kurang lebih sama sebenarnya pernah dialami Ir Akbar Tandjung, mantan Ketua DPR RI ketika dipersoalkan dengan kasus Bulogate.

Akbar memang tidak bisa diturunkan dari jabatannya pada saat itu, juga memang tidak ada kekuatan internal parpol yang ingin menurunkan. Banyak kontroversi yang kemudian muncul terkait hubungan status hukum dan jabatan politik. Buntutnya adalah kompromi pada longgarnya pengaturan tentang prasyarat calon presiden di dalam Undang-undang Pemilu 2004 lalu.

Yaitu dengan embel-embel berkekuatan hukum tetap atau tidak pernah dijadikan tersangka dengan tuntutan hukum di atas lima tahun kurungan. Seharusnya status hukum seseorang yang telah divonis pengadilan karena melakukan tindakan kejahatan publik sudah cukup untuk melengserkannya dari jabatan publik.

Namun, norma hukum ternyata bukanlah alasan untuk membuat seseorang mundur atas nama etika moral, pertanggungjawaban publik dan etika politik. Malah sebaliknya, menjadi tameng bagi pejabat publik untuk tetap pada posisi jabatannya.

Hal ini diperparah dengan mafia peradilan yang dapat saja membebaskannya demi segepok keuntungan pribadi. Kasus Nurdin Halid sebenarnya kasus yang cukup fenomenal dan kontroversial.

Meski dilanda berbagai kasus pelanggaran publik, terutama korupsi, tidak berbanding lurus dengan karir yang bersangkutan di ranah publik. Setelah diputus bebas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Juni 2005 dengan tuduhan korupsi Rp 169 miliar dana minyak goreng, pada tahun yang sama menduduki jabatan sebagai Ketua PSSI.

Seakan tak berbekas sedikit pun citra ''cacat publik'' pada diri Nurdin sehingga langsung mendapatkan promosi untuk mengawal citra Olah Raga Seoak Bola Indonesia, yang juga sama terpuruknya dengan persoalan korupsi.
Tidak lama setelah mengawal PSSI, Nurdin kemudian dipromosikan lagi menduduki jabatan anggota DPR RI dari Fraksi Golongan Karya.

Dari permukaan, persoalan kursi DPR untuk Nurdin memang hanya terkesan sebagai masalah prosedural belaka. Tetapi jika ditelisik lebih jauh, kasus ini akan menjadi sangat fundamental untuk mengonfirmasi beberapa pertanyaan penting.

Jabatan Publik
Pertama, apakah seorang terpidana kasus kejahatan publik (misalkan: Korupsi) dapat menjadi pejabat publik, lebih khusus lagi anggota DPR?
Kedua, bagaimana seharusnya mekanisme yang dapat ditempuh jika hal itu terungkap setelah yang bersangkutan definitif menjadi anggota DPR? Ketiga, bagaimana sebenarnya model keberpihakan sistem perekrutan politik kita terhadap berbagai skandal publik?

Kontroversi peruntukan jabatan publik terhadap seorang terpidana atas tindakan kejahatan apalagi terpidana korupsi seharusnya tidak ada. Sudah harus khatam di mata publik korupsi adalah sebuah kejahatan yang luar biasa, alias lebih jahat dari umumnya definisi tentang kejahatan.

Ini karena korupsi hanya mampu dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau kemampuan dalam memengaruhi kekuasaan. Kemudian pengaruh atas kekuasaan itu digunakan untuk mendapatkan manfaat baik bagi diri sendiri atau kroni-kroninya.

Dengan pengertian seperti di atas, seorang yang pernah melakukan korupsi dapat dipandang sebagai penjahat publik, karena melakukan pengkhiatan atas kepercayaan dan mengambil keuntungan (Alatas, 1989).

Seseorang yang terbukti pernah melakukan korupsi seharusnya dipandang cacat di mata publik dan tidak bisa diangkat untuk menduduki sebuah jabatan publik. Apalagi jabatan yang akan disandangnya adalah anggota DPR RI yang merupakan wakil rakyat yang berfungsi melayani masyarakat.

Koruptor sebagai pengkhianat publik tidak mungkin melayani masyarakat. Kalangan Partai Politik seharusnya menjadikan koruptor sebagai musuh bersama, terlepas apapun jasa dari seseorang kepada Partai Politik termasuk dalam pendanaan.

Tapi jika masuk pada persoalan korupsi harus tetap menjadi musuh bersama. Hal ini juga untuk membuktikan apakah partai politik yang bersangkutan memiliki visi antikorupsi atau tidak.

Secara mekanisme, Presiden SBY seharusnya dapat meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan verifikasi dengan menggunakan data-data terkini. Bukan data yang pernah digunakan pada Pemilu 2004 lalu. Dengan data terkini, persoalan Nurdin seharusnya telah selesai di tingkatan KPU.

Dengan dasar Undang-undang Pemilu Legislatif (UU No 12/2003) sudah dapat dinyatakan tidak memenuhi syarat lagi untuk menjadi wakil rakyat. Dan ini seharusnya bersifat final, meskipun sudah direkomendasikan oleh partai politik yang bersangkutan.

Untuk memperbaiki ketakjeliannya dalam memberikan surat pengangkatan sebagai anggota DPR, presiden dapat menarik kembali surat yang diberikan dengan alasan terdapatnya kekurangan persyaratan. Hal ini penting ditempuh karena jika tidak dilakukan Presiden dapat digugat melakukan pembiaran.

Selain Presiden, Badan Kehormatan DPR (BK DPR) seharusnya juga dapat mengambil sikap. BK seharusnya dapat menyurati Pimpinan DPR agar BK dipersilakan untuk memproses persyaratan keanggotaan dari Nurdin Halid. Ini patut dilakukan karena selain pengawasan pelanggaran tatib dan kode etik, BK DPR juga dapat memproses pelanggaran persyaratan untuk menjadi anggota DPR.(77)

Ibrahim Fahmy Badoh, adalah Koordinator Divisi Korupsi Politik, Indonesia Corruption Watch

Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 17 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan