Kontroversi Tap MPR No XI/1998
Sejak mantan Presiden Soeharto masuk rumah sakit pada awal Januari lalu, beberapa gagasan kontroversial menyeruak ke permukaan. Salah satunya adalah mencabut Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Tap MPR No XI).
Patut diduga, gagasan pencabutan itu terkait ketentuan dalam salah pasal dalam Tap MPR No XI yang secara eksplisit menyebut mantan Presiden Soeharto. Tanpa mencabut Tap MPR No XI, sulit menghentikan kasus hukum mantan orang kuat Orde Baru ini.
Masalahnya, begitu sederhanakah mencabut Tap MPR No XI? Pertanyaan itu menjadi penting di tengah pergeseran sistem ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen UUD 1945. Pertanyaan yang lebih elementer, adakah gagasan pencabutan Tap MPR No XI hanya karena Soeharto atau menyelinap agenda lain di tengah keprihatinan banyak kalangan dengan kondisi kesehatan Soeharto.
Tidak bisa dicabut
Setelah amandemen UUD 1945, MPR tidak bisa lagi membuat produk hukum dalam bentuk peraturan (regeling) berupa ketetapan MPR. Dengan perubahan sistem ketatanegaraan, MPR hanya dapat mengeluarkan ketetapan yang bersifat penetapan (beschikking) dalam hal (1) menetapkan wakil presiden menjadi presiden; (2) memilih wakil presiden jika terjadi kekosongan jabatan wakil presiden; dan (3) memilih presiden dan wakil presiden jika presiden dan wakil presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.
Selain itu, dalam UU No 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No 10/2004) ketetapan MPR tidak lagi termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Pasal 7 Ayat 1 UU No 10/2004 secara eksplisit menentukan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu UUD 1945, undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan daerah.
Mengingat tidak ada lagi produk hukum berupa ketetapan MPR, tidak mungkin lagi melakukan tindakan pencabutan. Artinya, MPR tidak mungkin lagi menggelar rapat paripurna untuk membahas pencabutan Tap MPR No XI. Artinya, mengadakan sidang paripurna untuk membahas pencabutan Tap MPR No XI merupakan tindakan inkonstitusional.
Hal lain yang tidak memungkinkan Tap MPR No XI dicabut adalah kehadiran Tap MPR No I/MPR/2003 tentang Peninjauan atas Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS/MPR Tahun 1960-2002. Dalam Tap MPR No I/2003 ada enam status Tap MPR sepanjang 1960-2002, yaitu (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; (2) tetap berlaku dengan ketentuan masing-masing; (3) tetap berlaku sampai terbentuknya pemerintahan hasil Pemilu 2004; (4) tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang; (5) tetap berlaku sampai ditetapkan peraturan tata tertib yang baru oleh MPR hasil Pemilu 2004; dan (6) tidak memerlukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.
Dari semua status hukum itu, Tap MPR No XI tidak masuk kategori dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, tetapi masuk kategori tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Dalam buku Materi Sosialisasi Putusan MPR RI (2005), setidaknya ada tiga perkembangan aktual memasukkan Tap MPR No XI dalam kategori tetap berlaku, yaitu praktik KKN masih menjadi keprihatinan nasional, perlu tindakan tegas memberantas KKN, dan pemberantasan KKN belum dilaksanakan sungguh-sungguh.
Atas perkembangan aktual itu, hasil kajian yang dikemukakan dalam buku Materi Sosialisasi MPR RI menyimpulkan, TAP MPR No XI masih memiliki daya laku (validity) dan daya guna (efficacy), meski telah terbentuk berbagai UU. Hasil kajian ini sekaligus mematahkan pendapat yang mengatakan Tap MPR No XI tidak berlaku lagi (setidaknya bisa dicabut) karena sudah ada sejumlah undang-undang yang terkait pemberantasan KKN.
Agenda lain?
Sepanjang perdebatan yang ada, semua gagasan yang muncul terkait kasus hukum Soeharto adalah gagasan berulang yang mengiringi hampir sepuluh tahun usia Tap MPR No XI. Namun, ketika gagasan bergerak ke arah pencabutan Tap MPR No XI, sejumlah kalangan merasakan, amat mungkin gagasan itu disusupi agenda lain sehingga kontraproduktif dengan agenda pemberantasan korupsi.
Sebagai sebuah produk hukum yang lahir dari semangat reformasi, Tap MPR No XI menyimpan amanat pemberantasan korupsi yang luar biasa dahsyat. Mari simak secara lengkap bunyi Pasal 4 Tap MPR No XI yang menyatakan, upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia.
Pasal 4 Tap MPR No XI memang eksplisit menyebut mantan Presiden Soeharto. Namun, di situ masih tersimpan amanat lain melakukan proses hukum secara tegas kepada pejabat negara, mantan pejabat, keluarga dan kroninya serta pihak swasta/konglomerat. Bisa jadi, gagasan pencabutan itu merupakan agenda tersembunyi berbagai kelompok lain (selain Soeharto) yang terancam dengan Tap MPR No XI.
Dalam konteks itu, saya sepakat dengan ungkapan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, mencabut Tap MPR No XI sama dengan mencabut komitmen pemerintah untuk memberantas KKN (Kompas, 17/1). Karena itu, semua pihak harus hati-hati menanggapi usulan pencabutan Tap MPR No XI. Bisa jadi, banyak pihak sedang menangguk keuntungan dari kondisi mantan Presiden Soeharto saat ini.
Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fak Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 18 Januari 2008